ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Jumat, 03 Desember 2010

Haruskah Aku Belajar Menafsirkan Alkitab? (Donald A. Carson, Ph.D)

Oleh: Donald A. Carson

Hermeneutik (metode menafsirkan Alkitab) merupakan sebuah senin dan ilmu penafsiran; hermeneutik Alkitab merupakan seni dan ilmu untuk menafsirkan Alkitab. pada masa Reformasi, perdebatan mengenai penafsiran memainkan peran yang begitu besar dan penting. Ini merupakan debat mengenai penafsiran (interpretations) bukan hanya tentang penafsiran-penafsiran (interpretations). Dengan kata lain, para Reformator tidak setuju dengan penentang mereka tidak hanya mengenai apa arti bacaan ini dan itu, tpi juga tentang natur (sifat) penafsiran, letak otoritas dalam penafsiran, peran gereja dan Roh Kudus dalam penafsiran, dan masih banyak hal lagi.
Selama paruh terakhir abad itu, banyak perkembangan terjadi dalam dunia hermeneutik sehingga akan butuh artikel yang sangat panjang bahkan untuk membuat ringkasannya secara sederhana. Sedih untuk dikatakan, hari ini banyak sarjana lebih tertarik pada tantangan hermeneutik itu sendiri, daripada kepada Alkitab, yang mana hermeneutik seharusnya membantu kita membacanya dengan lebih bertanggung jawab. Ironisnya, masih ada beberapa orang yang berpikir bahwa ada sesuatu yang agak terbengkalai mengenai penafsiran. Tanpa terlihat cukup bodoh untuk mengatakan demikian, mereka secara rahasia mempunyai opini bahwa apa yang mereka tawarkan ialah apa yang Alkitab katakan.
Carl F.H. Henry tercinta mengatakan bahwa ada dua jenis presupposisionalis: mereka yang mengakuinya dan mereka yang tidak. Kita akan mengadaptasi analisisnya untuk topik kita: bahwa ada dua jenis praktisi heremeneutik: mereka yang mengakuinya dan mereka yang tidak.
Fakta persoalannya ialah bahwa setiap waktu kita menemukan sesuatu di dalam Alkitab (apakah itu ada atau tidak), kita telah menafsirkan Alkitab. ada penafsiran yang baik dan ada juga penafsiran yang buruk, tetapi tidak ada yang luput dari penafsiran.
Ini bukanlah tempat untuk meletakkan prinsip-prinsip dasar, atau untuk bergumul dengan “heremenutik baru” dan dengan “hermeneutik radikal.” [untuk informasi lebih lanjut dan bibliografi untuk topik ini, dan khususnya relasinya dengan posmodernisme dan bagaimana meresponinya, lihat buku D.A. Carson, The Gagging of God: Christianity Confronts Pluralism, khususnya bab 2-3 (Grand Rapids: Zondervan, 1996).]. Sebaliknya, saya akan berfokus pada satu masalah “sederhana,” sesuatu yang setiap pembaca Alkitab yang serius sering hadapi. Apa bagian-bagian Alkitab yang merupakan kesatuan pesan, dan bagian mana yang bukan?
“Bersalam-salamanlah dengan cium kudus”: orang Prancis melakukan hal itu, orang percaya di Arab melakukannya, tetapi sebagian besar dari kita tidak. Karena itu apakah kita tidak alkitabiah? Yesus mengatakan pada murid-murid-Nya bahwa mereka seharusnya membasuh kaki merea seorang terhadap yang lain (Yoh. 13:14), tetapi hampir kebanyakn dari kita tidak pernah melakukan demikian. Mengapa kita “tidak taat” perintah yang jelas itu, tetapi menaati perintah-Nya mengenai Perjamuan Tuhan? Jika kita menemukan alasan untuk menjadi lunak tentang “cium kudus,” bagaimana kita bisa lunak di area lain? Mungkinkah kita menggantikan roti dan anggur pada Perjamuan Suci dengan ubi dan susu kambing jika kita ada di sebuah desa di Papua, atau Papua Nugini? Jika tidak, mengapa tidak? Dan bagaimana tentang pertanyaan yang lebih luas yang beredar di antara para teonomis mengenai kelanjutan hukum yang sudah diatur pada zaman Musa? Akankah kita sebagai sebuah bangsa, dengaan asumsi bahwa Allah secara bermurah-hati menganugerahi reformasi dan kebangunan yang luas, meninggalkan hukum untuk melempari pezinah dengan batu? Jika tidak, mengapa tidak? Apakah perintah supaya wanita berdiam diri di gereja bersifat mutlak (1Kor. 14:33-36)? Jika tidak, mengapa tidak? Yesus mengatakan kepada Nikodemus bahwa dia harus dilahirkan kembali jika dia akan masuk ke dalam kerajaan Allah; Dia berkata kepada seorang muda yang kaya bahwa dia harus menjual semua yang dia punya dan memberikannya pada orang-orang miskin. Mengapa kita mengapa kita membuat tuntutan yang pertama bersifat mutlak untuk semua orang dan sedikit agak lunak pada yang kedua?
Sungguh, saya telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan untuk satu atau dua disertasi. Kelanjutan artikel ini ialah bukanlah sebuah kunci yang menyeluruh untuk menjawab semua pertanyaan penafsiran yang sulit, tetapi beberapa tuntunan pendahuluan akan menunjukkan hal tersebut. Penempatan urutan ini tidak terkait dengan tingkat pentingnya masalah.

1.      Setelitilah mungkin, carilah keseimbangan Kitab Suci, dan hindari kecenderungan pemisahan historis dan teologis.
Para teolog liberal sering memberikan kita banyak pemisahan yang parah: Yesus atau Paulus, komunitas Karismatik atau gereja “Katolik Awal”, dan seterusnya. Kelompok Protestan kadang jatuh di antara iman menurut Paulus yang dipisahkan dari perbuatan (Rm. 3:28) dan iman menurut Yakobus dan perbuatan (Yak. 2:4); yang lain memutlakkan Galatia 3:28 sebagai bacaan pengendali untuk semua hal yang harus dilakukan terhadap wanita, dan membuang waktu sia-sia menjelaskannya dari 1Timotius 2:12 (atau sebaliknya).
Secara historis, banyak orang Reformed Baptis di Inggris di antara pertengahan abad delapan belas dan pertengahan abad dua puluh begitu menekankan kedaulatan Allah dalam pemilihan sehingga mereka menjadi tidak nyaman dengan pernyataan umum tentang Injil. Orang-orang yang tidak percaya seharusnya tidak perlu diajak bertobat dan percaya kepada Injil: bagaimana bisa, karena mereka mati dalam dosa dan kesalahan, dan tidak mungkin termasuk orang pilihan? Mereka seharusnya agak didorong untuk menguji diri mereka sendiri untuk melihat apakah mereka memiliki tanda pertama dari karya Roh Kudus di dalam diri mereka, keyakinan tentang dosa, dan rasa malu. Dalam pemandangan mereka, ini merupakan sebuah cara yang jauh dari Alkitab, tetapi ribuan gereja hari ini berpikir itu merupakan tanda kesetiaan. Kesalahan ini terjadi, tentu saja, karena keseimbangan Kitab Suci telah hilang. Salah satu elemen dari kebenaran Alkitab telah dinaikkan kepada sebuah posisi dimana seseorang diijinkan untuk merusak atau menjinakkan beberapa elemen kebenaran Alkitab.
Faktanya, “keseimbangan Kitab Suci” bukanlah hal yang mudah untuk dipertahankan, sebagian karena ada perbedaan jenis keseimbangan Kitab Suci. Contohnya, ada keseimbangan tentang tanggung jawab yang bermacam-macam yang diletakkan atas kita (misalnya, berdoa, menjadi bisa dipercaya dalam pekerjaan, menjadi pasangan dan orang tua yang setia secara alkitabiah, menginjili seorang tetangga, membantu yatim piatu atau janda, dan seterusnya): hal-hal ini untuk menyeimbangkan prioritas di dalam keterbatasan waktu dan tenaga. Ada keseimbangan penekanan Kitab Suci sebagaimana dibangun dengan mengamati relasi mereka pada garis plot pusat dari Alkitab; ada juga keseimbangan kebenaran yang, akhirnya, kita tidak bisa pada poin ini harmonisasikan, tapi yang kita dapat dengan mudah rusak jika kita tidak mendengarkan teks dengan hati-hati (contoh, Yesus ialah Allah dan Manusia; Allah ialah transenden yang berdaulat namun juga personal; hanya orang pilihan yang diselamatkan, tetapi dalam beberapa pengertian Allah mengasihi penjahat yang kejam sehingga Yesus menangisi Yerusalem dan Allah menangis, “Berbaliklah, berbaliklah, mengapa kamu harus mati? Karena TUHAN tidak menyukai kebinasaan orang fasik.”). Dalam tiap kasus, jenis yang agak berbeda tentang keseimbangan Alkitab memainkan peranan, tetapi tidak ada jalan keluar dari fakta bahwa keseimbangan Alkitab ialah apa yang kita perlu.

2.      Sadari bahwa sifat antitesis dari beberapa bagian Alkitab, termasuk beberapa kotbah Yesus, merupakan sebuah perangkat retorik, bukan sebuah hal yang mutlak. Kontekslah yang harus memutuskan ketika kasus ini muncul.
Tentu saja ada antitesis mutlak dalam Alkitab yang tidak harus dilarutkan dengan cara demikian. Sebagai contoh, pemisahan antara kutuk dan berkat dalam Ulangan 27-28 bukan saling membatasi: tingkah laku yang menyebabkan kutukan Allah dan tingkal laku yang mendapatkan perkenanan-Nya ada dalam kubu yang saling berlawanan, dan tidak harus dicampurbaur atau dicampurkan. Tapi di sisi lain, ketika delapan belas abad sebelum Kristus, Allah berkata, “Karena Aku menyukai belas kasihan, bukan persembahan, dan pengenalan akan Allah lebih daripada korban bakaran” (Hos. 6:6), sistem persembahan dari Perjanjian Musa tidak dengan begitu saja dimusnahkan. Melainkan, antitesis Ibraninya merupakan sebuah cara untuk mengatakan, “Jika diminta untuk memilih, belas kasihan lebih penting tinimbang persembahan. Apapun yang Anda lakukan, Anda tidak harus mengutamakan nilai agama formal, dalam kasus ini korban bakaran dan ritual pengorbanan yang diperintahkan lainnya, dibanding  dengan pengenalan mendasar akan Allah, atau membingungkan dalam taraf apa Allah menghargai perasaan kasihan dan pengampunan, dibanding dengan ketaatan yang teguh yang Dia tuntut terhadap sistem persembahan.”
Sama dengan itu, ketika Yesus menegaskan bahwa jika seseorang menjadi murid-Nya, Dia harus membenci orang tuanya (Luk. 14:26), kita tidak harus berpikir Yesus sedang mendukung kebencian terhadap anggota keluarga. Apa yang menjadi soal ialah tuntutan agar Yesus menjadi lebih penting dan mengikat bahkan dibanding hubungan manusia yang paling bernilai dan berharga (sebagaimana paralelnya dalam Mat. 10:37 yang membuatnya menjadi jelas).
Kadangkala antitesis yang nampak dibentuk dengan membandingkan dua ungkapan dari dua bacaan yang jauh. Di satu sisi, Yesus menegaskan bahwa doa pengikutnya seharusnya tidak bertele-tele seperti orang yang tidak mengenal Allah, yang berpikir bahwa mereka didengar sebab banyaknya kata-kata mereka (Mat. 6:7). Di sisi lain, Yesus bisa dimanapun mengatakan sebuah perumpamaan dengan pelajaran penting bahwa murid-murid-Nya seharusnya berdoa dengan tekun dan tidak menyerah (Luk. 18:1-8). Tetapi, jika kita mengira ada pertentangan formal di antara dua perintah itu tidak lebih dari pemahaman yang dangkal, kita akan mengabaikan bukan hanya ketidaktahuan kita tentang gaya berkotbah Yesus, tapi juga ketidaksensitifan kita terhadap tuntutan pastoral. Perintah pertama penting untuk melawan mereka yang berpikir mereka bisa memnacing sesuatu dari Allah dengan doa mereka yang tak berkesudahan; yang kedua penting untuk melawan mereka yang komitmen rohaninya begitu dangkal sehingga komat-kamit sebaris mereka merupakan seluruh kehidupan doa mereka.

3.      Hati-hatilah untuk memutlakkan apa yang dikatakan atau diperintahkan hanya sekali.
Alasannya bukan bahwa Allah harus mengatakan sesuatu lebih dari sekali supaya itu menjadi benar atau mengikat. Melainkan, alasannya ialah bahwa jika sesuatu dikatakan hanya sekali saja, hal itu akan dengan mudah disalahmengerti atau disalah terapkan. Ketika sesuatu diulang dalam beberapa kejadian dan dalam konteks yang agak berbeda, pembaca akan menikmati sebuah pemahaman yang lebih baik tentang apa artinya dan pendiriannya.
Ini mengapa bacaan “baptisan kematian” (1Kor. 15:29) tidak dibahas dengan panjang dan menjadi bagian penting, katakanlah, dalam Katekismus Heidelberg atau Pengakuan Iman Westminster. Lebih dari empat puluh penafsiran terhadap bacan itu telah ditawarkan dalam sejarah gereja. Kelompok Mormon cukup yakin tentang artinya, tentu saja, tetapi alasan mengapa mereka yakin ialah karena mereka membacanya dalam konteks kitab lain yang mereka klaim diinspirasikan dan berotoritas.
Prinsip ini juga mendasari salah satu alasan mengapa hampir semua orang Kristen tidak melihat perintah Kristus untuk saling membasuh kaki sebagai perintah atau sakramen ketiga. Baptisan dan Perjamuan Kudus tentu dituliskan lebih dari sekali, dan ada bukti yang luas bahwa gereja mula-mula menjalankan keduanya, tetapi tidak demikian mengenai pencucian kaki.

4.      Berhati-hati menilai dasar pemikiran Alkitab untuk sebuah perkataan atau perintah.
Tujuan dari nasihat ini bukan menyarankan bahwa jika Anda tidak bisa memahami alasannya Anda seharusnya menghina perintah tersebut. Ini untuk menegaskan bahwa Allah tidaklah semena-mena ataupun aneh, dan khususnya, Dia memberikan alasan dan struktur pemikiran di balik kebenaran yang Dia singkapkan dan perintah yang Dia buat. Mencoba untuk menyingkapkan dasar pemikiran ini bisa menjadi sebuah pertolongan dalam memahami apa inti dari firman Tuhan, dan apa ekspresi bahasa yang unik darinya.
Sebelum saya memberi beberapa contoh, penting untuk mengakui bahwa seluruh Kitab Suci memiliki ikatan budaya. Pada awalnya, firman itu diberikan dalam bahasa manusia (Ibrani, Aram, Yunani) dan bahasa merupakan sebuah fenomena budaya. Namun, firman yang dikatakan-Nya tidak harus dipikirkan sebagai bahasa Yunani yang umum. Melainkan, bahasa itu merupakan bagian dari periode Yunani Helenistik (jadi bukan Yunani Homeric atau Yunani Attic atau Yunani Modern). Malahan, Yunani ini agak berubah dari penulis ke penulis (Paulus tidak selalu menggunakan sebuah kata dengan cara yang sama dengan Matius) dan dari jenis literatur (genre) ke jenis literatur (apokaliptik tidak selalu bermakna literal seperti surat-surat kiriman). Tidak yang menakutkan di sini. Ini adalah bagian kemuliaan Allah kita yang agung yang mengakomodasi (menyesuaikan) diri-Nya dengan percakapan manusia yang tentunya terikat dengan waktu dan karena itu terus berubah. Meski beberapa flsuf posmodernisme berpikir sebaliknya, ini tidak membahayakan kapasitas Allah untuk mengatakan kebenaran. Ini berarti bahwa kita sebagai keberadaan manusia terbatas tidak akan pernah mengetahui kebenaran secara mendalam (yang akan membutuhkan kemahatahuan), tapi juga tidak ada alasan mengapa kita tidak bisa mengetahui beberapa kebenaran dengan benar. Meski begitu, semua kebenaran yang demikian, yang Allah singkapkan pada kita dalam firman-Nya, dibalut oleh jubah berbentuk budaya. Penafsiran yang teliti  dan saleh tidak berarti melepaskan bentuk itu untuk menemukan kebenaran mutlak di baliknya, karena mustahil kita bisa melarikan diri dari keterbatasan kita. Ini berarti pahami bentuk budaya itu dan dengan karunia Allah menemukan kebenaran yang Allah telah singkapkan melalui bahasa itu.
Jadi ketika Allah memerintahkan umat-Nya untuk mengoyakkan jubahnya dan menggunakan kain kabung dan abu, apa ini tindakan yang tepat untuk menunjukkan inti pertobatan sehingga tidak ada ada pertobatan sejati bila kita tidak melakukannya? Ketika Paulus mengatakan pada kita untuk memberi salam seorang pada yang lain dengan cium kudus, apakah dia bermaksud bahwa tidak ada orang Kristen sejati yang memberi salam tanpa ciuman yang demikian?
Ketika kita menilai dasar pemikiran untuk tindakan-tindakan ini, dan bertanya apakah abu dan ciuman sangat menyatu dengan wahyu Allah, kita melihat sebuah cara yang progresif. Tidak ada teologi tentang ciuman; namun ada teologi tentang saing mengasihi dan hubungan yang berkomitmen antar anggota gereja. Tidak ada teologi tentang kain kabung dan abu; tetapi ada teologi tentang pertobatan yang menuntut kesedihan yang radikal dan perubahan yang amat besar.
Jika alasan ini benar, maka tuntutan yang sama juga harus dikenakan pada mencuci kaki dan menutup kepala. Terpisah dari fakta bahwa mencuci kaki nampak hanya sekali di dalam Perjanjian Baru sebagai sesuatu yang diperintahkan oleh Tuhan, tindakan itu sendiri, dalam Yohanes 13, secara teologis terikat dengan kepentingan yang mendesak tentang kerendahan hati di antara umat Allah, dan kepada salib. Sama dengan itu, tidak ada teologi menutup kepala, tapi ada teologi yang dalam dan berulang tentang bahwa tutup kepala merupakan kespresi orang Korintus abad pertama mengenai: hubungan yang pantas antara pria dan wanita, antara para suami dengan para istri.

5.      Berhati-hatilah mengamati universalitas formal dari Kitab Amsal ataupun perkataan berbentuk amsal, yang jarang sekali merupakan sebuah universalitas yang mutlak. Jika Amsal diperlakukan sebagai undang-undang atau hukum kasus, mayoritas penafsir dan gembala akan mengakibatkan kesalahan yang terelakkan.
Bandingkan dua perkataan Yesus ini: (a) Dia yang tidak bersama-sama Aku berarti melawan Aku, dan dia yang tidak mengumpulkan bersama-sama Aku, berarti menceraiberaikan” (Mat. 12:30; terjemahan bebas oleh penerjemah). (b) “… karena siapapun yang tidak melawan kita ialah bersama-sama dengan kita” (Mrk. 9:40; terjemahan bebas oleh penerjemah; bnd. Luk. 9:50). Sebagaimana sering dicatat, perkataan–perkataan ini tidaklah bertentangan jika yang pertama diungkapkan pada orang-orang yang berbeda yang melawan mereka, dan yang kedua kepada murid-murid mengenai orang lain yang semangat mereka melampaui pengetahuan mereka. Tetapi dua pernyataan ini tentunya sangat sulit untuk diharmoniskan jika setiap pernyataan dimaknai mutlak, tanpa berpikir mengenai masalah tersebut.
Atau pertimbangkan dua amsal yang berdekatan dalam Amsal 26: (a) Jangan menjawab orang bodoh menurut kebodohannya …” (26:4) atau (b) “Jawablah orang bodoh menurut kebodohannya …” (26:5). Jika kedua hal ini merupakan undang-undang atau contoh hukum kasus, maka akan ada kontradiksi yang takterelakkan. Di sisi lain, baris kedua dari tiap amsal memberikan dasar pemikiran yang cukup bagaimana seharusnya kita melihat: amsal bukanlah undang-undang. Mereka adalah hikmat yang harus disaring, seringkali tajam, bentuk ungkapan yang menuntut refleksi, atau yang memaparkan efek dalam masyarakat secara keseluruhan (tapi tidak selalu dalam tiap individu), atau tuntutan itu perlu pertimbangan tentang bagaimana dan kapan harus diterapkan.
Mari kita ucapkan dua amsal itu lagi, kali ini dengan baris keduanya untuk tiap kasus: (a) “Jangan menjawab orang bodoh menurut kebodohannya, atau kamu sendiri akan menjadi sama seperti dia.” (b) “Jawablah orang bodoh menurut kebodohannya, atau dia akan terlihat bijak dalam pemandangannya.” Jika disejajarkan, amsal ini menuntut refleksi tentang kapan kita perlu bertindak bijaksana menghindari menjawab orang bodoh, karena kita akan ditarik turun ke tingkat mereka, dan ketika kita harus memberikan sesuatu yang tajam, balasan untuk “kebodohan” itu bisa berdampak menusuk keinginan orang bodoh. Teks tidak menunjukkan hal ini secara jelas, tapi jika dasar pemikiran tentang dua kasus ini diingat, kita akan memiliki prinsip yang solid tentang pembedaan.
Jadi, ketika sebuah organisasi para-church (organisasi Kristen di luar gereja) yang terkenal tetap mengutip “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak menyimpang dari padanya” sebagai hukum kasus, apa yang seharusnya kita pikirkan?
Ungkapan amsal ini tidak harus dilepaskan kekuatannya: ia merupakan perangsang yang penuh tenaga untuk bertanggung jawab, takut akan Tuhan, mendidik anak. Meski begitu, ia tetap merupakan sebuah amsal; ia bukan sebuah janji kovenantal. Tidak juga mengkhususkan pada poin apa anak-anak akan dibawa. Tentu saja, banyak anak dari keluarga Kristen menjadi tersesat karena orangtuanya benar-benar bodoh atau tidak alkitabiah atau mutlak penuh dosa; tetapi banyak dari kita telah menyaksikan beban rasa bersalah dan malu yang tidak perlu, yang terjadi ditanggung oleh orangtua yang saleh ketika anak-anak mereka yang sedang bertumbuh, katakanlah berusia 40 tahun, ternyata tidak bertobat.

6.      Penerapan beberapa tema dan subyek harus ditangani dengan perhatian khusus, bukan hanya karena kompleksitas intrinsiknya, tetapi juga karena pergeseran inti dalam struktur sosial di antara zaman Alkitab dan zaman kita hari ini.
“Setiap orang harus menundukkan dirinya pada kuasa pemerintahan, karena tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah. Pemerintahan yang ada didirikan oleh Allah. Konsekuensinya, dia yang memberontak terhadap melawan pemerintahan, memberontak melawan Allah yang mendirikannya, dan mereka membawa penghakiman bagi diri mereka” (Rm. 13:1-2). Beberapa orang Kristen beralasan dari bacaan ini bahwa kita harus selalu menundukkan diri pada pemerintahan yang ada, kecuali dalam soal kesadaran di hadapan Allah (Kis. 4:19). Kemudian bahkan, kita “tunduk” pada pemerintah dengan jalan sabar menanggung sanksi yang mereka jatuhkan pada kita di dalam dunia yang jatuh ini. Beberapa orang Kristen lainnya beralasan dari bacaan ini bahwa karena Paulus selanjutnya mengatakan bahwa tu7juan pemerintah ialah untuk menegakkan keadilan (Rm. 13:3-4), maka jika penguasanya tidak lagi menegakkan keadilan, mungkin itu waktunya orang-orang benar seharusnya melawan mereka, dan bahkan, jika perlu, menggulingkan mereka. Kompleksitas isu ini sangat luas dan dipikirkan lewat beberapa detil oleh para Reformator.
Tetapi tentu ada gagasan baru yang ditambahkan pada struktur debat ketika seseorang bergerak dari sebuah rezim yang totalitarian, atau dari sebuah Oligarkhi, atau dari sebuah pandangan tentang pemerintahan yang terikat dengan monarki warisan, kepada beberapa bentuk demokrasi. Ini bukan meninggikan demokrasi kepada tingkat yang tidak seharusnya. Melainkan, ini bertujuan mengatakan bahwa, setidaknya, dalam teori, demokrasi mengijinkan Anda untuk “menggulingkan” sebuah pemerintahan tanpa kekerasan atau pertumpahan darah. Dan jika pelaku keadilan tidak bisa melakukannya, itu karena negara tersebut secara keseluruhan, telah tergelincir ke dalam racun yang tidak memiliki keinginan, keberanian dan visi untuk melihat apa kekuatan yang bisa melakukannya. Apa tepatnya tanggung jawab Kristen dalam kasus itu (apapun pandangan Anda tentang makna Roma 13 dalam konteksnya)?
Dengan kata lain, struktur sosial yang baru yang melebihi apapun yang Paulus bisa bayangkan, meski mereka tidak bisa membalikkan apa yang dia katakan, kiranya mendorong kita untuk melihat bahwa penerapan yang sah menuntut supaya kita membawanya ke dalam diskusi tentang beberapa pertimbangan yang dia tidak bisa dia lihat sebelumnya. Ini merupakan sebuah penghiburan yang besar, dan secara epistemologis penting, untuk mengingat bahwa Allah melihat mereka lebih dulu tetapi itu tidak dengan sendirinya mengurangi tanggung jawab hermeneutik yang kita punyai.

Catatan:
Prof. D.A. Carson (Ph.D, Cambridge University) ialah seorang sarjana Perjanjian Baru yang sangat terkemuka. Dia merupakan salah satu teolog Perjanjian Baru yang terbaik yang dimiliki oleh  zaman ini. Beliau mendapat gelar B.Sc dalam bidang Kimia dan Matematika di McGill University, M.Div dari Central Baptist Seminary, dan Doctor of Philosopy dalam bidang Perjanjian Baru dari Cambidge University. Saat ini, beliau menjabat sebagi Research Profesor dalam bidang Perjanjian Baru di Trinity Evangelical Divinity Scholl, di Deerfield, Illinois, USA. Artikel ini diterjemahkan dari tulisannya berjudul “Must I Learn How to Interpret the Bible,” dan bisa didapatkan dalam bentuk pdf di

Selasa, 30 November 2010

Mengapa Penafsiran Kita Harus Trinitarian?

Hermeneutik (penafsiran kita) harus Trinitarian karena Allah, Pencipta, Penebus, dan Penggenap, adalah Trinitarian. Ketika kita menafsirkan baik kita menafsirkan firman Allah atau karya Allah, kita perlu untuk memperhitungkan siapakah Dia. Segala sesuatu yang kita tahu tentang Dia, termasuk karakter Trinitarian-Nya, secara potensial mempengaruhi pemahaman kita mengenai firman dan karya-Nya. Lebih lagi, ketika seseorang memperkenalkan konsep yang salah tentang Allah, entah itu deistik, penteistik, unitarian, atau modalistic, kesalahan-kesalahan tersebut tidak akan terhindarkan lagi dalam mempengaruhi penafsiran arti firman dan karya Allah, karena makna dipengaruhi oleh konsepsi seseorang tentang pengarang. Efeknya mungkin sering menjadi tidak kentara, namun terkadang juga dramatis.

Rasionalitas
Satu dari lebih banyak efek yang jelas muncul melalui perbedaan dalam ide orang-orang mengenai rasionalitas. Biasanya, orang-orang menolak Trinitas karena menuduhnya tidak rasional, dan menggantikannya dengan sebuah konsep yang rasional tentang Allah, menyesuaikan dengan perkiraan kejatuhan manusia. Alasan kejatuhan manusia menjadi ukuran tentang apa yang Allah bisa dan tidak bisa lakukan. Maka, tentu saja, seseorang bisa memperkirakan alasan manusiawi untuk memahaminya, melebihi penafsiran dari firman dan karya Allah juga.
Berbeda dengan itu, di dalam teologi Trinitarian kita mengakui bahwa Allah tidak bisa dipahami (incomprehensibilty), karena kettidakterbatasan-Nya, namun bahwa Ia dapat dikenal (knowability) karena wahyu mengenai diri-Nya di dalam Kitab Suci dan di dalam dunia (Roma 1:18-23). Sinyal ini, akses kepada kebenaran dan bahwa kebenaran total tidak bisa dipahami, mempersiapakan cara pendekatan penafsiran dalam sebuah cara yang rasional, bukan rasionalistik.

 

Penebusan

Pentingnya Trinitas secara khusus terkait dalam konteks penebusan. Allah Bapa berdaulat mengontrol peristiwa dalam sejarah dan peristiwa dalam kehidupan tiap individu yang membawa pada keselamatan pribadi dan kelompok. Allah Anak menggenapi keselamatan, rekonsiliasi, dan pemurnian dari dosa dalam peristiwa penyaliban dan kebangkitan. Allah Roh Kudus menerapkan penebusan kepada setiap individu dan kelompok melalui kedatangan-Nya untuk tinggal di dalam kita. Tentu saja ketiga Pribadi ini terlibat dalam ketiga area tersebut; tapi tiap Pribadi memiliki peran-Nya sendiri.

Tiap tindakan penebusan ini memiliki makna untuk penafsiran. Kontrol Bapa atas sejarah mencakup kendali-Nya atas semua firman yang Ia berikan pada manusia, baik melalui suara langsung seperti di Gunung Sinai, atau melalui nabi manusiawi seperti Musa dan Yesaya. Kontrol Allah penting untuk diingat dalam penerimaan kita terhadap Alkitab, karena bila sebaliknya, kita mungkin memperlakukan Alkitab, dalam praktiknya, hanya sebagai karya manusia, atau sebuah karya dimana Allah “sedang melakukan yang terbaik yang Dia bisa” dengan keberadaan manusia yang sebagian tidak bisa diajak bekerjasama. Pelaksana penulisan Kitab Suci yang adalah manusia sejati, tidak menyiratkan ketidakbergantungan pada Allah atau pengurangan kontrol Allah, lebih dari Anak menyiratkan ketidakbergantungan-Nya dari Bapa. Kedua, pertimbangkan peran Anak. Karena dosa manusia, kita terpisah dari Allah dan akan mati jika kita berdiri di hadirat-Nya (ingat Keluaran 33:20). Namun menerima firman Allah meliputi penerimaan kehadiran-Nya. Kita akan mati saat membaca Kitab Suci kecuali karena mediasi Anak. Melalui Anak, kita menerima pengenalan tentang Allah tanpa harus mati.

Ketiga, pertimbangkan peran Roh Kudus. Roh Kudus “akan menuntun kamu kepada segala kebenaran” (Yohanes 16:13). Janji dalam Yohanes 16 berfokus pada peran khusus Roh Kudus setelah Pentakosta, dan mungkin juga diterapkan dalam cara yang khusus kepada para rasul. Tetapi prinsipnya mengenai tuntutan Roh Kudus mencakup seluruh karya Roh Kudusdalam pencerahan (iluminasi). Hanya pribadi yang hatinya dibentuk oleh Roh Kudus dan digerakkan oleh ajaran Alkitab, dapat mengerti hal-hal tentang Roh Kudus (1Korintus 2:6-16). Kerohanian diperlukan untuk memahami ajaran Alkitab, seperti orang Kudus si sepanjang zaman yang dikenal. Dan kerohanian ini bukan hanya sensitivitas terhadap beberapa hal yang tidak jelas, namun sebuah pengetahuan rohani tentang hal yang ilahi yang hanya bisa Roh Kudus berikan. Sarjana modern di bawah tekanan rasionalisme cenderung melupakan peranan Roh Kudus ini.

 

Implikasi Lainnya

Ruangan ini terlalu sempit untuk lebih menyentuh lebih banyak hal dibanding dua area dalam penafsiran. Pertama, peran Bapa, Aanak dan Roh Kudus dalam penebusan Trinitarian mengesankan peran yang sejalan dalam komunikasi verbal Allah. Bapa tidak hanya mengontrol sejarah, namun juga mengontrol firman-Nya yang keluar dari mulut-Nya. Dialah pengarang Kitab suci. Anak, sebagai Firman Allah (Yoh. 1:1), bisa secara dekat diasosiasikan dengan isi perkataan Bapa, yang mana menuntun kepada isi makna dari teks Alkitab. dan Roh Kudus ada bersama dengan pembaca manusiawi dalam menafsirkan pesan teks (“apapun yang Dia dengar, Dia akan katakan,” Yohanes 16:13). Karena itu, Bapa bisa diasosiasikan dengan peran Pengarang, Anak dengan peran teks atau tulisan, dan Roh Kudus dengan peran pembaca. Itu tidak membuat pembaca manusia menjadi tidak bisa salah, tetapi untuk mereka yang bersatu dengan Kristus, Roh Kudus datang sebagai pembaca ilahi yang tidak bisa salah, yang menuntun pembaca manusiawi.

Pola pengarang, teks, dan pembaca bisa disamaratakan bahkan melebihi batasan Kitab Suci. Ketika kita menegaskan bahwa Kitab Suci, bukan tulisan lain, ialah firman Allah yang tidak bisa salah, kita juga bisa melihat bahwa keberadaan Allah yang Trinitarian , sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus, ialah pola dasar yang ultimat (pokok) di balik semua komunikasi manusia sebagai pengarang yang mengirimkan pesan kepada pembaca. Kesatuan dan perbedaan dalam Trinitas ialah pola dasar untuk memahami kesatuan dalam perbedaan dalam pengarang, pesan dan pembaca.

Karena itu, kita didorong untuk menghindari baik kesalahan unitarian, yang akan merobohkan semua kompleksitas dalam komunikasi manusia ke dalam sebuah blok makna tunggal, dengan tidak menginggalkan perbedaan; dan menghindari kesalahan politesitik yang menggandakan makna dengan semrawut, seperti apa yang terjadi ketika pembaca manusia dilihat sebagai penguasa (tuhan) dari sebuah makna.

Kedua, bahasa manusia mulanya merupakan sebuah pemberian Allah dalam penciptaan, tinimbang hanya sebuah produk yang merupakan kenaikan tingkatan alami manusia dari lumpur. Faktanya, penjelasan Pribadi Kedua dari Trinitarian sebagai Firman (Yohanes 1:1), sebagaimana percakapan di antara Bapa dan Anak dalam sebuah bacaan seperti Yohanes 17, mengindikasikan bahwa bahasa manusia memiliki latar belakang pada bahasa ilahi dalam misteri komunikasi intra-Trinitarian (antar Pribadi Trinitas). Karena itu, pendekatan reduksionistik kepada bahasa harus dievaluasi secara kritis. Dan kita diundang untuk melihat bahwa makna yang jelas yang bahkan pembaca yang sederhana dari Kitab Suci bisa memahaminya membuka pintyu kepada pikiran Allah yang tidak terbatas, dan makna yang tidak terbatas dalam intra-Trinitarian. Karena itu, kategori misteri merupakan milik makna dan dan miliki refleksi hermeneutik terhadap makna.



Bacaan Tambahan:

John M. Frame, The Doctrine of the Knowledge of God (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1987).
Vern S. Poythress, "God's Lordship in Interpretation," Westminster Theological Journal 50/1 (1988) 27-64. Available at <http://www.frame-poythress.org/poythress_articles/1988GodsLordship.htm>.
Vern S. Poythress, "Christ the Only Savior of Interpretation," Westminster Theological Journal 50/2 (1988) 305-321. Available at <http://www.frame-poythress.org/poythress_articles/1988Christ.htm>.
Vern S. Poythress, God-Centered Biblical Interpretation (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1999).

Catatan:
Artikel ini merupakan artikel dari Vern Sheridan Poythress (B.S. and Ph.D in Mathematics, M.Div, Th.M in Apologetics, M.Litt and Th.D in New Testament) yang aslinya berjudul “Why Must Our Hermeneutics Be Trinitarian?,” yang diterbitkan pertama kali dalam jurnal The Southern Baptist Journal of Theology 10/1 (spring 2006), 96-98. Sejak tahun 1976, beliau mengajar di Westminster Theological Seminary, Philadephia, dan kini beliau menjabat sebagai Profesor Penafsiran Perjanjian Baru. Artikel ini sedikit bersifat teknis, karena itu bagi pembaca yang mengalami kesulitan dalam mengerti, bisa meninggalkan pertanyaan lewat post-comment di bawah. Artikel orisinil (dalam bahasa Inggris) bisa juga dilihat di  http://www.frame-poythress.org/poythress_articles/2006Why.htm

Jumat, 26 November 2010

ABBA 18

1.       Dalam Perjanjian Lama (1Taw. 23:28-29), ibadah di rumah Tuhan harus menyediakan sajian tepung roti tidak beragi, korban panggangan, dll. Apakah arti khusus dari barang-barang tersebut, dan mengapa sekarang barang-barang tersebut tidak diperlukan lagi dalam ibadah?
Jawab:
Hal tersebut merupakan bagian dari tata cara ibadah yang khas dari bangsa Israel, yang membedakannya dari bangsa-bangsa kafir lainnya. Hal itu mengajarkan bangsa Israel mengenai cara mengucap syukur hadapan Allah. Bagian ini jelas terkait dengan budaya pada masa itu, sehingga kini kita tidak lagi melakukannya sebab kita hidup dalam zaman dan budaya yang berbeda. Namun esensinya, soal mengucap syukur, harus tetap kita laksanakan sampai kapan pun dengan bermacam cara yang baik dan benar serta sesuai dengan budaya dimana kita ada.

2.       2Taw. 24:1. Bagaimana Yosa yang masih berumur 7 tahun bisa diangkat menjadi raja Yehuda? Apakah ini merupakan janji Tuhan terhadap Daud bahwa keturunannya akan menjadi raja?
Jawab:
Hal tersebut terjadi sebab tidak ada yang bisa menjadi raja pada waktu itu. Ingat bahwa sebelumnya setelah kematian Ahazia, Atalya, nenek Yoas, membunuh semua keturunan raja agar dia bisa menjadi penguasa. Yoas ialah satu-satunya yang selamat. Karena Yoas ialah anak raja, maka dialah yang berhak meneruskan tahta ayahnya meskipun saat itu dia masih sangat kecil. Oleh sebab itulah Yoyada mengasuh dan mengajar dia agar bisa hidup benar. Dan yang terjadi ialah bahwa “Yoas melakukan apa yang benar di mata TUHAN selama hidup imam Yoyada.”
Apakah hal ini terkait dengan janji Tuhan? Tentu saja. Bahkan kisah ini membuktikan kesetiaan Tuhan terhadap janji-Nya. Banyak orang mungkin melihat keturunan Daud yang bisa meneruskan tahtanya kini telah musnah ketika Atalya membunuh semua keturunan raja, namun tidak demikian dengan Tuhan. Ketika semua keturunan Daud seolah lenyap karena dibunuh Atalya, ternyata Tuhan masih menyisakan seorang keturunan Daud yang nantinya akan meneruskan tahta Daud, yakni Yoas.

3.       Mengapa kitab Tawarikh hanya menceritakan raja-raja Yehuda, dan tidak menceritakan raja-raja Israel?
Jawab:
Kitab Tawarikh merupakan kitab yang ditulis oleh seorang Yahudi setelah bangsa Yehuda pulang dari pembuangan, yang tujuannya untuk memberikan banyak pedoman kepada bangsa Yehuda mengenai pemulihan kerajaan Yehuda setelah pembuangan dan bagaimana seharusnya raja yang harus memerintah kerajaan tersebut. Kerajaan Israel Utara tidak disebutkan karena pada masa itu kerajaan tersebut sudah tidak lagi ada (ingat bahwa kerajaan Utara telah “hilang” oleh strategi kawin campur bangsa  Asyur) dan juga yang menjadi perhatian penulis Tawarikh ialah kerajaan Yehuda dan pemulihannya.

4.       Mengapa banyak raja Yehuda yang memulai pemerintahannya dengan baik, dengan mengikut/taat pada perintah Tuhan, lalu pada akhir pemerintahannya tidak taat lagi?
Jawab:
Hal tersebut karena mereka tidak sepenuhnya mengandalkan Tuhan. Ada yang hidup benar hanya separuh-separuh (Amazia), ada yang taat hanya sebatas ketika pembimbingnya masih hidup (Yoas). Oleh sebab itulah Tawarikh ingin menunjukkan bahwa raja baik ialah raja yang seperti Daud, yang sepenuhnya berharap dan bersandar pada Tuhan sepanjang hidupnya. Ini terlihat jelas saat membaca Tawarikh, kita sama sekali tidak akan menemukan catatan negatif tentang Daud. Hanya catatan positif saja. Seolah penulis Tawarikh ingin mengatakan pada pembacanya bahwa raja yang nantinya seharusnya memerintah kerajaan Yehuda setelah pembuangan ialah yang seperti Daud, yang bertaut penuh kepada Tuhan sepanjang hidupnya.

5.       Apa yang tercantum dalam Alkitab adalah penting bagi kita semua. Dalam Ezra 1 dan 2 tercantum daftar orang-orang yang kembali dari pembuangan, rasanya pasti setiap orang akan melewatinya begitu saja. Mohon penjelasan pentingnya isi dari pasal tersebut untuk para pembacanya?
Jawab:
Silsilah ini secara literal tentu tidak relevan bagi kita, namun sangat berarti bagi bangsa Yehuda saat itu. Silsilah ini membantu mereka menelusuri garis keturunan mereka yang sempat carut marut karena terpisah saat pembuangan. Saya sendiri mempelajari dua hal dari silsilah ini: pertama, saya diingatkan tentang kedaulatan Allah dan janji-Nya dalam mengatur perjalanan hidup umat-Nya. Meski sempat terpencar jauh dan mungkin beberapa di antaranya jadi saling tidak mengenal, namun Allah menggenapi janji-Nya bahwa Ia akan mengumpulkan mereka dari tempat dimana mereka dicerai-beraikan dengan cara yang unik. Kedua, saya juga mempelajari tekad mereka untuk bertobat dan menjaga status mereka sebagai umat pilihan. Mereka mulai kembali menata hidup dan ibadah mereka. misalnya, ketika ada seorang yang mengaku keturunan iman namun tidak bisa membuktikan kaitannya dengan silsilahnya, maka orang tersebut tidak berhak untuk memangku jabatan imam (Ez. 2:62-63).