ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Rabu, 30 Maret 2011

Transfigurasi Yesus (Mrk. 9:1-10): Beberapa Refleksi Biblikal-Teologis


Oleh:  Prof. Daniel B. Wallace, Ph. D


Cranfield menyimpulkan bab pembahasannya soal peristiwa ini dengan mencatat tiga pertanyaan utama: (1) apakah peristiwa ini merupakan sebuah legenda atau sebuah serpihan tulisan simbolis-teologis ataukah peristiwa ini merupakan peristiwa historis? … (2) Maka, jika Mrk. 9:2-8 dalam beberapa pengertian merupakan narasi historis, apa yang sebenarnya terjadi? … (3) Apa signifikansi teologis dari apa yang dicatat dalam Mrk. 9:2-8 tersebut? Kita akan mulai dengan jawabannya, dan menambahkan beberapa modifikasi di sepanjang pembahasan.

1. Apakah kisah ini legenda atau historis? Bultmann, Nineham, Perin, dan yang lainnya, menolak kisah ini sebagai kisah yang benar, menyebutnya sebuah perkembangan dari legenda kebangkitan. Bagaimanapun, hal ini tidak sama dengan laporan kebangkitan dalam beberapa hal: (a) Semua penampakan kebangkitan (the resurrection appearances) dimulai dengan absennya Yesus, sementara dalam kisah ini Ia hadir; (b) Dia berbicara dalam penampakan kebangkitan dan apa yang Dia katakan signifikansinya besar, sementara dalam kisah ini Dia diam; (c) Jika kisah ini merupakan penampakan kebangkitan Yesus kepada Petrus, seseorang mungkin mengharapkan kemunculan beberapa cirri khusus seperti dalam Yohanes 21; semua cirri khusus kurang ditampilkan di sini; (c) Musa dan Elia tidak pernah muncul dengan Yesus dalam kisah kebangkitan; hanya malaikat-malaikat yang nampak dalam perikop tersebut dan tidak pernah bersama Yesus; dan (e) Usulan Bultmann tidak memperhitungkan usulan Petrus tentang tenda. Di sisi lain, ada beberapa ciri dalam kisah ini yang memberikan stempel otentisistas: (a) Penyebutan “setelah enam hari” yang tidak memiliki makna simbolis dan dengan demikian, sederhananya, merupakan catatan sejarah; (b) Penggunaan istilah Rabbi oleh Petrus, yang tidak pernah digunakan untuk Yesus di luar Injil, dan di dalam Injil hanya untuk narasi pra-penyaliban; dan (c) Markus tidak memberikan petunjuk sama sekali bahwa dia sedang memberikan kita sesuatu yang lain daripada sebuah kisah sejarah. (d) 2Pet. 1:16-18 adalah kesaksian Petrus sendiri mengenai historisitas peristiwa ini (lihat catatan NET Bible di sana) (namun, karena otentisitas 2 Petrus diragukan oleh banyak sarjana – termasuk Cranfield – maka nas itu jarang disebut sebagai bukti di samping historisitas peristiwa ini)

2. Jika peristwa ini dianggap sebagai peristiwa sejarah actual, apa yang sebenarnya terjadi? Ada tiga pilihan: (a) sebuah penglihatan, (b) peristiwa yang factual, atau (c) kombinasi antara keduanya. Dua faktor perlu dipertimbangkan dalam menjawab pertanyaan ini: Pertama, kita diingatkan pernyataan Paulus mengenai seorang pria yang dia tahu (meski ini kemungkinan otobiografi) yang mengunjungi surge ketiga: “Aku tahu seseorang di dalam Kristus yang empat belas tahun lalu – apakah di dalam tubuh ataukah di luar tubuh, aku tidak tahu, Allahlah yang tahu – orang itu diangkat ke surga yang ketiga” (2Kor. 12:2). Ketidakmampuan Paulus untuk membedakan penglihatan dari peristiwa faktual dalam hidupnya ketika kemuliaan sorga datang mungkin bisa diparalelkan dengan transfigurasi. Kedua, meski Cranfield mengatakan bahwa tranfigurasi bermakna untuk para murid, jika itu juga bermakna untuk Yesus, ini mungkin akan mewarnai penilaian kita terhadap catatan peristiwa. Dalam terang pewahyuan diri, Yesus telah menubuatkan enam hari sebelumnya tentang penderitaan dan kematian-Nya, dan dalam terang parallel dengan suara surgawi saat pembaptisan-Nya yang diikuti dengan pencobaan, ini mungkin terlihat bahwa transfigurasi menjadi dorongan yang sama untuk Yesus. Kehadiran Elia dan Musa dengan Dia dalam awan akan menegaskan langkah-Nya kepada salib dan mengingatkan Dia tentang perlunya salib, sebagaimana Paulus katakan: ”Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi, yaitu kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya … untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya” (Rm. 3:21-22, 25)

Dengan dua faktor ini di pikiran kita, apa yang bisa kita katakana? Di satu sisi, jika transfigurasi memiliki makna hanya untuk para murid, maka apakah itu sebuah visi atau sebuah fakta, kejadian sensorik hanya berdampak kecil, karena pertanyaan yang sama tetap tidak dijawab oleh Paulus mengenai surga ketiga tetapi peristiwa tersebut menjadi sumber dorongan besar baginya untuk terus (bnd. 2Kor. 12:4-5). Di saat yang sama, jika 2 Petrus otentik (dan saya percaya demikian), maka pernyataan Petrus sendiri tentang transfigurasi adalah bahwa itu merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar penglihatan; dia menganggapnya sebagai peristiwa factual yang asli, pengalaman inderawi (bnd. 2pet. 1:16-18). Di sisi lain, jika peristiwa ini memiliki makna untuk Yesus sebagaimana untuk para murid, yakni, itu berarti menjadi sebuah dorongan untuk-Nya juga – maka itu pasti sebuah peristiwa factual, karena sebaliknya, bagaimana kita menjelaskan keberadaan-nya yang menjadi bagian dari penglihatan dan penerima penglihatan tersebut?

3. Kita menyimpulkan dengan catatan mengenai beberapa signifikansi teologis dari transfigurasi. Komentar berikut hanyalah pembukaan; sebenarnya, itu akan memakan waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin sepanjang hidup, untuk menyelidiki kedalaman makna tranfigurasi. (a) Itu menyimbolkan dan membayangkan (foreshadow) baik kebangkitan dan kedatangan Kristus (parousia). (b) Itu adalah sebuah penyingkapan sementara dari kemuliaan kekal Anak Allah. (c) bahwa kemuliaan ini terlihat dan tidak dirinci adalah supaya “murid-murid bisa mengecap bagian yang tidak bisa diahami seutuhnya (Calvin). Yakni, sebagaimana amsal Tiongkok kuno, “sebuah gambar yang layak untuk ribuan kata.” (d) Musa dan Elia adalah bagian dari gambar tersebut untuk menunjukkan kesinambungan dengan Perjanjian Lama dalam pelayanan Yesus dan keunikan-Nya dan otoritasnya yang mutlak (karena itu Dia saja yang mengenakan pakaian yang luar biasa, dan hanya Dia saja yang diidentifikasi dari sorga sebagai Satu-satunya yang harus ditaati). (e) Awan merupakan sambungan Shekinah Glory: kehadiran Allah telah kembali secara utuh dalam diri Yesus Kristus. Dan Musa dan Elia ada di sana, dengan senyap menyokong Dia sebagai Pribadi dimana manusia bertemu Allah.

Dua poin terkahir kita lebih banyak diambil dari 2 Petrus daripada Markus; mereka merepresentasikan refleksi Petrus sendiri tentang signifikansi transfigurasi. (f) Keyakinan tentang kemuliaan Kristus ditransferkan kepada orang percaya: mereka juga akan dimuliakan dan fakta ini seharusnya memberi mereka keyakinan saat mengahadapi kematian (bnd. 2Pet. 1:16-18; 1Yoh. 3:2). (g) Keyakinan tentang kemuliaan Kristus juga memberi orang-orang percaya keyakinan dalam Dia sebagai seorang nabi dan mereka yang Ia berikan kuasa untuk menjadi nabi (2Pet. 1:16-21). Kesimpulannya, transfigurasi merupakan sebuah bagian dari kemuliaan sorgawi yang bahkan Rasul Paulus singgung ketika dia menulis: “logidzomai gar hoti ouk axia ta pathermata tou nun kairou pros ten mellousan doxan apokaluphthenai eis hemas” (Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita; Rm. 8:18)


Tentang Penulis:
Prof. Daniel Wallace (Ph.D, Dallas Theological Seminary) adalah seorang pakar Perjanjian Baru dari Dallas Theological Seminary. Beliau telah menulis banyak buku dan artikel yang sangat baik mengenai Kekristenan dan Perjanjian Baru. Bukunya Greek Grammar Beyond the Basics: An Exegetical Syntax of the New Testament (Zondervan, 1996) telah menjadi buku standar di banyak seminari. Beliau juga editor Perjanjian Baru senior di NET Bible, dan direktur eksekutif dari Center for the Study of New Testament Manuscripts. Artikel ini merupakan terjemahan dari tulisannya yang berjudul “The Transfiguration of Jesus (Mark 9.1-10): Some Biblico-Theological Reflections,” yang bisa diunduh di http://bible.org/article/transfiguration-jesus-mark-91-10-some-biblico-theological-reflections

Rabu, 09 Maret 2011

2 Timotius 3:15-17 dan Pengilhaman

Salah satu bagian dalam Surat 2 Timotius yang sangat terkenal ialah pasal 3:15-17. Ayat ini merupakan ayat utama yang sering dipakai untuk menerangkan konsep pengilhaman (inspirasi) yang alkitabiah. Berbicara mengenai konsep pengilhaman, ada beberapa konsep pengilhaman yang muncul dalam ranah teologi Kristen, di antaranya adalah:
a.       Pengilhaman Natural: Allah tidak mengilhamkan apa-apa. Karya sastra yang termaktub dalam Alkitab, hanya merupakan sebuah karya manusia belaka. Semua kelebihan yang ada merupakan hasil kejeniusan mereka, sementara segala kekurangan yang timbul adalah konsekuensi dari keterbatasan mereka sebagai manusia.
b.      Pengilhaman Parsial: Dalam pandangan ini, Allah tidak mengilhamkan seluruh bagian firman Allah (cf. Alkitab berisi firman Allah). Jadi, ada bagian-bagian yang merupakan firman dan ada bagian-bagian yang bukan firman Allah. Pandangan ini sendiri masih mempunyai beberapa cabang lagi:
  • Allah mengilhamkan bagian-bagian yang sulit (nubuatan, penglihatan, dsb), sedangkan bagian-bagian yang mudah (manusiawi) merupakan karya manusiawi penulis.
  • Sebaliknya, beberapa orang meyakini bahwa justru bagian yang mudah lah yang diilhamkan Allah, sementara bagian-bagian yang sulit merupakan hasil imajinasi penulis yang berlebihan.
  • Bagian-bagian Alkitab yang berkaitan dengan iman dan praktek hidup Kristen ialah yang diilhami Allah, sedangkan bagian lainnya seperti sejarah, ilmu pengetahuan, dll tidak diilhami sehingga bisa salah
c.       Pengilhaman Konseptual: Allah hanya mengilhamkan konsep kepada seseorang, bukan isinya. Sehingga isi, tulisan atau pemilihan kata penulis Alkitab bisa saja salah, tetapi konsepnya lah yang tidak bisa salah.
d.      Pengilhaman Mekanis: Allah mendiktekan wahyu-Nya kepada para penulis dengan tujuan menjamin akurasi makna dan tujuan, sehingga kata-kata yang disampaikan merupakan kata-kata yang dikehendaki-Nya. Para penulis bersikap pasif dan hanya menjadi sekretaris untuk menuliskan kata-kata yang diperintahkan Allah.
e.       Pengilhaman Bertingkat: Allah memang mengihamkan seluruh isi Kitab Suci, tetapi tidak semuanya sama atau setara dalam kepentingan atau derajatnya.
f.       Pengilhaman Neo-Ortodoks: Alkitab merupakan karya manusia yang menyaksikan Kristus. Pada diri-Nya sendiri, Alkitab bukanlah firman Allah yang diilhamkan. Namun, Alkitab akan menjadi firman Allah ketika “berbicara” kepada kita. Alkitab adalah sebuah karya yang bisa salah; pasti benar hanya ketika dia berbicara kepada kita.
Telaah yang tepat terhadap 2 Timotius 3:15-17 akan menyingkapkan bagaimanakah konsep yang tepat mengenai pengilhaman.
Menurut konteks umumnya, kata “segala tulisan” di sini merujuk pada keseluruhan kitab suci, sedangkan konteks sempitnya, kitab suci yang ada pada masa Paulus dan Timotius, yakni Perjanjian Lama. Akan tetapi, ternyata tulisan Perjanjian Baru juga disebut sebagai Kitab Suci, baik Injil (1 Tim. 5:18; cf. Luke 10:7) maupun surat-surat (2 Pet. 3:15–16). Sehingga, kesimpulannya, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru merupakan Kitab Suci. Lantas, apakah yang dikatakan Paulus mengenai Kitab Suci dalam bagian ini?
Pertama, Paulus menyebut bahwa yang diilhamkan ialah tulisannya. Artinya, yang tidak bisa salah ialah tulisannya (bukan sekedar konsepnya; kontra Pengilhaman Konsep), termasuk penggunaan dan pemilihan kata, serta sintaksisnya. Beberapa bukti nyata di antaranya:
Ø  Ada beberapa kasus Yesus mendasarkan argumentasinya pada satu kata. Misalnya Mat. 22:43-45 cf. Maz. 110:2 = seluruh argumentasi didasarkan pada kata  ku,rioj (Tuhan); Yoh. 10:34-35 cf. Maz. 82:5 = seluruh argumentasi didasarkan pada kata  qe,oj (Allah).
Ø  Ada satu contoh Yesus mendasarkan seluruh argumentasi pada tense suatu kata. Mat. 22:32 = “I am (present tense) the God of Abraham, the God of Isaac, and the God of Jacob” untuk membuktikan bahwa Allah adalah Allah orang hidup, bukan orang mati (baca: Abaraham, Isak dan Yakub pada saat Allah mengatakan ini masih hidup [di surga], sekalipun secara fisik mereka sudah mati).
Ø  Ada satu contoh Paulus mendasarkan seluruh argumentasi pada jumlah (tunggal atau jamak) suatu kata. (Gal. 3:16 = keturunanmu (tunggal) yang merujuk pada Yesus Kristus).
Ini berarti pula bahwa penekanannya ada pada isi dan tulisannya bukan pengarangnya. Pengarang atau penulis Alkitab tentu bisa salah, akan tetapi mereka pasti benar ketika mereka menulis firman Allah yang tertulis (Kitab Suci).
Kedua, yang diilhamkan adalah semua tulisan. Frase “segala tulisan yang diilhamkan” (TB-LAI) merupakan terjemahan yang kurang tepat. Frase ini mengesankan bahwa ada bagian-bagian yang diilhamkan dan ada yang tidak (seperti Pengilhaman Parsial). Bentuk kata bendanya bukanlah kata benda atributif (yang) tetapi predikatif (adalah). Sehingga frase ini lebih tepat diterjemahkan “segala tulisan adalah diilhamkan Allah.” Seperti sudah disebut, segala tulisan di sini merujuk pada Kitab Suci yang ada, sehingga ini berarti “seluruh Kitab suci (segala tulisan) adalah diilhamkan Allah” (kontra Pengilhaman Parsial), baik itu bagian yang sulit maupun yang mudah, yang praktis maupun doktrinal-teoritis, semuanya diilhamkan Allah.
Ketiga, kata diilhamkan di sini bukan berarti bahwa Allah menghembuskan ke dalam, tetapi dihembuskan keluar. Jadi idenya, Allah menghembuskan Alkitab keluar. Alkitab merupakan hembusan dari dalam diri Allah. Ini berarti keseluruhan isi Alkitab merupakan isi hati Allah (kontra Pengilhaman Natural), sehingga tentunya setara dalam derajatnya (kontra Pengilhaman Bertingkat). Tidak ada bagian yang lebih bernilai dan kurang bernilai. Semuanya setara dalam nilainya sebab semuanya merupakan isi hati Allah, dan semuanya menyaksikan Kristus (kontra Pengilhaman Neo-Ortodoks).
Keempat, karena segala tulisan ini merupakan isi hati Allah atau wahyu Allah, maka nilai atau otoritas dari tulisan ini merupakan sesuatu yang inheren dan bukan berasal dari luar. Tidak ada pribadi atau institusi apapun, termasuk gereja, yang berhak menjadi pemberi otoritas terhadap sebuah kitab, melainkan kitab itu berotoritas dengan sendirinya sebab ditulis oleh orang-orang yang diberi Allah otoritas untuk menyampaikan firman-Nya.
Kelima, segala tulisan ini bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran. Kata “bermanfaat” di sini menyiratkan kecukupan (sufficiency) Kitab Suci, sedangkan ungkapan mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran, menurut konteksnya, terkait dengan frase di ayat 15, “memberi hikmat kepada keselamatan oleh iman di dalam Kristus Yesus.”1 Bahkan, ayat 17 juga mempertegas bahwa dengan demikian (dengan adanya Kitab Suci), seseorang “diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” Kata “diperlengkapi” ini memiliki makna komplit atau utuh. Sehingga, dari sana, bisa disimpulkan bahwa Kitab Suci merupakan perangkat yang cukup (bukan sempurna) untuk menuntun kepada keselamatan. Kitab Suci merupakan landasan yang pantas bagi pengajaran dan doktrin sebab Kitab Suci ialah hembusan nafas (isi hati) Allah; sebuah perangkat dimana kita bisa mengenal isi hati Allah.2 Konsep ini sering disebut sebagai doktrin Sufficiency of the Bible atau Sola Scriptura
Lalu bagaimana dengan Pengilhaman Mekanis? 2Pet. 1:21 memberi jawaban bahwa ketika Allah mengilhami seseorang, Ia tidak memperkosa kreatifitas mereka ataupun mematikan kebebasan mereka. Ungkapan “dirorong” memiliki makna seperti sebuah kapal yang digerakkan oleh angin. Sang nahkoda bisa saja bergerak ke kanan atau ke kiri tetapi untuk majunya kapal tersebut, angin tetap memiliki peranan utama. Sehingga, ide yang dikemukakan oleh Petrus di sini, bukanlah Pengilhaman Mekanis melainkan Pengilhaman Organik: penulis menulis dengan kreasi mereka tetapi Roh Kudus menuntun mereka sehingga arahnya sesuai dengan apa yang diinginkan Roh Kudus, termasuk tidak bisa salah (Yoh. 14:16-17, 26; 16:13).
Fakta-fakta ini seharusnya membuat umat Tuhan makin memaknai dan menghargai Kitab Suci dengan sungguh-sungguh, sebab Kitab Suci merupakan ungkapan isi hati Allah yang di dalam-Nya kita menemukan kehendak-Nya bagi kita. Alkitab memang adalah karya manusia, sehingga dalam taraf tertentu harus diperlakukan dengan azas-azas yang logis, tetapi di saat yang sama ia juga karya Allah, sehingga seseorang harus menyadari keterbatasannya dalam menjelaskan keunikan dan isi Alkitab.


Endnotes:
1 Terjemahan LAI, “memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” bukanlah terjemahan yang tepat. Terjemahan ini mengesankan adanya dua tujuan, yakni “memberi hikmat” dan “menuntun kepada keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus.” Dalam teks Yunaninya tidak ada kata sambung kai yang menunjukkan bahwa dua hal ini tidak terpisah tetapi terkait. Karena itu, frase ini akan lebih tepat diterjemahakan “memberi hikmat kepada keselamatan oleh iman di dalam Kristus Yesus.”
2 Beberapa kelompok, yang memegang erat tradisi, biasanya berargumen bahwa cukup di sini bukan berarti tidak membutuhkan tambahan. Mereka merasa bahwa Kitab Suci memerlukan suplemen yang setara, yakni tradisi bapa-bapa gereja. Akan tetapi, konsepsi demikian jelas tidak bisa diterima karena:
1.      Tulisan bapa gereja tidak memiliki wibawa apostolik dan tentunya tidak diilhamkan sehingga pasti bisa salah. Agustinus pun mengakui bahwa yang tidak bisa salah hanyalah Kitab Suci (Letters 82.3). Lagipula, tidak ada bapa gereja yang mengklaim tulisannya sebagai firman Allah. Tulisan bapa gereja, mayoritas, merupakan refleksi terhadap tulisan para rasul. Ini terlihat dari bagaimana seringnya mereka mengutip tulisan para rasul (Perjanjian Baru).
2.      Paulus memang mementingkan tradisi lisan (2Tes. 2:15) tetapi ia tidak menyebut tradisi sebagai diilhamkan. Lagipula, tradisi itu sendiri seharusnya bersumber dari penelaahan Kitab Suci (Kis. 17:2; 18:28; Rm. 4:3; 15:4; 1Kor. 15:3-4; Gal. 3:8, dsb).
3.      Tradisi atau ajaran yang diajarkan para rasul tentu bisa salah. Ajaran mereka pasti benar saat mereka menuliskannya sebagai Kitab Suci. Ingat bahwa yang diilhamkan ialah tulisannya, bukan penulisnya.
4.      Para murid dikuduskan bukan dengan tradisi tetapi dengan firman Allah (Yoh. 17:17).
5.      Tuhan Yesus menentang tradisi yang diletakkan di atas Kitab Suci atau bertentangan dengan Kitab Suci (lihat Mat. 15:1-9).