ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Senin, 03 Oktober 2011

Full Life or Long Life: A Reflection

Di gereja tempat saya melayani saat ini, GKT Hosana, bulan Oktober ini dicanangkan menjadi bulan misi gereja. Oleh sebab itu, gereja kami kini menjadi penuh dengan berbagai pernak-pernik soal misi. Ada bendera bermacam-macam negara, yang dipasang di dalam gedung gereja dan ruang serbaguna. Ada juga gambar beberapa tokoh misi Kristen populer, lengkap dengan kata-kata bijak mereka yang terkenal. Nah, terkait yang terakhir ini, jujur saya sedikit agak sedih, karena dari gambar tokoh-tokoh misi yang dipajang, semuanya merupakan tokoh misi bule.
Tidak ada tokoh misi Asia yang ditampilkan di sana. Beberapa tokoh mungkin masih bisa ditolerir sebab mereka merupakan misionaris yang bermisi ke kalangan Tionghoa, misalnya seperti Robert Morrison (1782-1834) yang merupakan misionaris Protestan pertama yang pergi ke RRT, George Leslie Mckay (1844-1901), misionaris Presbiterian pertama yang ke Taiwan, dan tak lupa, James Hudson Taylor (1860-1931), yang kecintaannya terhadap RRT tidak perlu diragukan lagi. Peran tokoh-tokoh ini masih sangat sesuai dengan latar belakang gereja kami yang merupakan gereja Tionghoa. Hanya saja, gambar sisanya sama sekali tidak terkait dengan misi Tionghoa, melainkan hanya dengan misi secara umum. Tapi it’s ok lah, toh pernak-pernik yang kami gunakan adalah barang pinjaman gereja rekan hehehe. Saya juga tidak tertarik untuk masuk dalam debat pragmatis soal gambar siapa yang harus dipasang, karena bagi saya tidak banyak faedahnya.
Saya kemudian mengamati tiap gambar tokoh yang dipajang dan membaca profil sekilas tentang mereka. Tiba-tiba mata saya tertuju pada seorang tokoh misi yang doanya membuat hati saya menyeruak kagum. Nama misionaris tersebut ialah Jim Elliot. Ia seorang misionaris Injili yang bermisi ke Ekuador untuk menginjili orang-orang Waodani bersama dengan empat orang lainnya. Akan tetapi, ia terbunuh dalam perjalanan misi tersebut, dalam sebuah usaha yang dikenal dengan nama Operation Auca. Sedikit ironis memang, sebab ia meninggal dalam usia yang masih sangat muda, yakni 29 tahun (1927-1956)! Akan tetapi doa yang ia ucapkan begitu dalam menyentuh hati saya. Doanya seperti demikian: God, I pray thee, light these idle sticks of my life that I may burn for Thee. Consume my life, my God for it is Thine. I seek not a long life, but a full one, like You, Lord Jesus (Allah, aku berdoa pada-Mu, terangi lilin yang mati dalam hidupku sehingga aku dapat menyala untuk-Mu. Habiskan hidupku karena ini milik-Mu. Aku tidak mencari panjang umur tetapi hidup yang utuh, seperti-Mu, Tuhan Yesus). Bagian yang begitu menarik hati saya adalah bagian akhir doa ini, I seek not a long life, but a full one, like You, Lord Jesus. Nilai hidup kita bukan ditentukan dari seberapa lama Anda hidup tetapi dengan bagaimana Anda mengisi dan menggunakan hidup Anda.
Dunia saat ini memang cenderung memberi nilai suatu kehidupan berdasarkan berapa lama kehidupan itu berjalan. Bila Anda pergi ke rumah duka dan Anda melihat seseorang meninggal dalam usia delapan puluh sembilan tahun dengan dikelilingi banyak anak dan cucu yang kesemuanya kaya, tentu Anda akan berpikir bahwa hidup orang tersebut jauh lebih beruntung tinimbang seseorang di sebelahnya, yang mati dalam usia dua puluh sembilan tahun, tanpa memiliki keturunan atau bahkan tanpa pernah sempat menikah. Sadar atau tidak, ini terjadi karena kita cenderung menilai hidup berdasarkan kesenangan, dan terutama durasi.
Musa, di dalam sebuah nomor Mazmur karangannya, menyebutkan bahwa usia manusia hanya tujuh puluh tahun saja, dan jika kuat delapan puluh tahun (Mzm. 90:10). Bila kita menggunakan durasi sebagai ukuran, dan kemudian menerapkan usia yang disebutkan Musa ini pada Tuhan Yesus, maka kita juga akan berpikir hidup-Nya merupakan hidup yang “mengenaskan”: Ia mati dalam usia yang relatif muda, tiga puluh tigaan tahun. Tetapi benarkah demikian? Jim Elliot menangkap apa yang seringkali kita abaikan. Ia menangkap inti ajaran Tuhan Yesus tentang kehidupan. Nilai hidup kita tidak didasarkan pada durasinya tetapi pada seberapa relasi kita dengan Allah dan seberapa berdampak hidup kita bagi orang lain. Yesus hidup hanya dalam waktu yang singkat, tetapi apa yang Ia lakukan selama hidupnya membuatnya menjadi manusia paling bernilai yang pernah ada. Seorang muridnya menyebut bahwa kegiatan hidup-Nya ialah “ … berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai iblis … ” (Kis. 10:38b). Dampak positif dari hidupnya dirasakan begitu banyak orang pada masa-Nya. Soal relasinya dengan Tuhan, murid tersebut menambahkan “ … sebab Allah menyertai Dia.” (ay. 38c). Kalimat ini memang pendek, tetapi begitu dalam mengungkapkan relasi-Nya yang intim dengan Allah, Bapa-Nya.
Hingga masa kini pun, orang-orang tetap mengakui sumbangsih-Nya yang begitu besar bagi dunia. Baik pemuja maupun pembencinya mengakui bahwa kehidupan-Nya memberikan dampak yang begitu besar bagi sejarah manusia hari ini. Dan luar biasanya, hidup yang mempengaruhi dunia itu hanya berdurasi tiga puluh tigaan tahun saja!
Bagaimana dengan nilai hidup kita? Bagaimana relasi kita dengan Allah? Apa yang terutama di dalam hidup kita? Allah? Materi? Pekerjaan? Prestasi? Atau yang lainnya? Hidup yang bernilai ialah hidup yang berfokus pada Allah, Sang Pemberi Hidup dan Sumber segala berkat. Hidup yang menomorduakan Allah adalah hidup yang sedang kehilangan maknanya. Hidup juga bernilai ketika relasi kasih dengan Allah kita salurkan kepada sesama kita. Kita rindu membuat orang lain mengenal Allah, Sang Kasih, itu atau setidaknya membuat mereka merasakan kasih Allah.
Mari mulai dengan mengintrospeksi hidup kita. Apakah yang kita pikirkan berguna untuk kebaikan orang banyak ataukah hanya untuk keegoisan kita semata? Apakah tindakan kita mendatangkan manfaat bagi orang lain atau justru hanya mudharat? Apakah perkataan kita bisa membuat orang lain lebih menghargai hidup dan usahanya atau justru hanya dipenuhi dengan omongan yang tidak berguna dan menjatuhkan? Relasi kasih dengan Allah yang besar akan membuat kita meluapkan kasih tersebut dengan orang lain.
Jim Elliot membutikan usaha yang demikian bukanlah usaha yang mustahil. Memiliki hidup yang bernilai bukanlah usaha yang tidak mungkin dicapai. Pencapaian itu begitu dekat dengan kita. Mulailah dengan menjalin relasi intim dengan Sang Sumber Kasih, niscaya kasih itu akan mengalir keluar. Kiranya doa Jim Elliot terus berdengung di dalam hati dan pikiran kita, dan juga selalu menjadi doa kita: I seek not a long life, but a full one, like You, Lord Jesus. Amin.