1. Apa arti kata ”sela” pada Kitab Mazmur?
Jawab:
Para sarjana memang berbeda arti mengenai apa makna dari kata “sela.” Kata ini muncul tujuh puluh satu kali dalam Kitab Mazmur dan tiga kali dalam Habakuk. Secara umum, para sarjana menganggap kata ini sebagai sebuah tanda musik yang merujuk pada sebuah jeda (pause) panjang dalam lagu, dimana penyanyi berhenti untuk bernyanyi namun musik tetap berjalan. Septuaginta menerjemahkannya “diapsalma,” sebuah jeda dalam mazmur yang mengajak kita melakukan refleksi yang tenang. Sela mengingatkan kita bahwa ketika menyanyikan mazmur, kita membutuhkan jiwa yang tenang dan penuh perenungan yang bisa memahami apa yang Roh Kudus kemukakan. Walaupun tidak semua sarjana setuju dengan pemikiran di atas, bagaimanapun hampir semua sarjana setuju bahwa kata ini lebih baik tetap dibaca ketika kita membaca sebuah nomor mazmur.
2. Mengapa dalam Kitab Mazmur banyak ungkapan-ungkapan yang bernada kutukan? Bukankah kita harus saling mengasihi? Bila memang seluruh Alkitab bermanfaat, lalu apa manfaat dari ungkapan-ungkapan yang demikian?
Jawab:
Memang beberapa nomor Mazmur yang lazim disebut sebagai “Mazmur Kutukan” atau “Mazmur Balas Dendam” (the Imprecatory Psalms) acapkali membingungkan orang Kristen yang sungguh-sungguh dan sering terasa sebagai kemelut moral. Mazmur-Mazmur ini sesungguhnya telah menjadi sumber kesulitan bagi pemahaman iman Kristen. Pokok masalah dengan Mazmur-Mazmur Kutukan adalah masalah etis. Kutukan-kutukan ini terutama dianggap bertentangan dengan ajaran kasih yang Yesus sendiri ajarkan. memang harus kita akui bahwa pasti timbul kebingungan dan ketidaknyamanan ketika membaca bagian-bagian seperti, “Ya Allah, hancurkanlah gigi mereka dalam mulutnya, patahkanlah gigi geligi singa-singa muda, Ya Tuhan!” (Mzm. 58:7) atau “Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu!” (Mzm. 137:9), mengingat Kristus sendiri mengajarkan: kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi yang menganiaya kamu (Mat. 5:44). Paradoksi ini tentunya membuat orang Kristen yang meyakini bahwa seluruh Alkitab adalah firman Allah bertanya-tanya bagaimana bisa Roh Kudus menyebabkan para penulis Mazmur menulis sentimen dan kata-kata yang tidak Kristiani seperti demikian?
Akibat kesulitan ini, dalam pelayanan masyarakat gereja, mazmur-mazmur ini dilewatkan begitu saja oleh para pengkotbah seperti tak memiliki sesuatu di dalamnya yang layak diperhitungkan untuk mendidik dan membangun karakter moral dari orang-orang. Memang tak dapat disangkal bahwa kita pasti amat jarang mendengar hamba-hamba Tuhan berkotbah ataupun mengajar dari Mazmur-Mazmur Kutukan. Bahkan bisa jadi mereka cenderung menghindari pembahasan dari bagian-bagian ini. lalu bagaimanakah seharusnya memahami mazmur-mazmur yang demikian?
Untuk bisa memahaminya, kita perlu merujuk pada perjanjian (covenant) Allah dengan umat-Nya. Bila dipahami dengan dasar tersebut, kutukan-kutukan itu bisa dipahami sebagai ungkapan memohon janji pembelaan Allah. Sebagaimana Yahweh berjanji akan menjaga dan melindungi umat pilihan-Nya selama mereka menjadikan Yahweh sebagai Allah mereka, maka Daud, yang setia menjadikan Yahweh sebagai Allahnya, berhak untuk menuntut realisasi janji itu ketika ia sedang terancam ataupun teraniaya oleh musuh-musuhnya. Demikianpun dengan pemazmur anonim (Mzm. 71:1) dan Asaf yang berbicara atas nama umat pilihan (Mzm. 79:1, 9; 83:2, 4, 17-19). Mzm. 137 memang tidak secara eksplisit menyebut bahwa umat pilihan menjadikan Yahweh sebagai Allah mereka, tetapi pengalamatan Mazmur tersebut kepada Yahweh (137:7), menjadi datum tak terbantahkan bahwa umat pilihan sedang menjadikan Yahweh sebagai Allah mereka, dan karenanya, mereka pun berhak menuntut janji itu.
Kutukan-kutukan tesebut juga bisa dipahami sebagai permohonan supaya Allah menegakkan kebenaran-Nya. Penting diingat bahwa kutukan-kutukan yang ada merupakan reaksi atas ketidakadilan yang musuh-musuh lakukan terhadap umat pilihan. Musuh-musuh itu memburu orang yang tertindas dan menjebaknya dalam tipu daya (10:2), berusaha untuk menjatuhkan umat pilihan (17:4), ingin mencabut nyawa orang yang dipilih (35:4), mengadakan permufakatan licik melawan umat pilihan Allah (83:4), dsb. Di sepanjang Mazmur Kutukan, nuansa bahwa umat pilihan telah dizalimi akan selalu terasa.
Namun ikatan yang ditimbulkan oleh covenant, membuat musuh-musuh tersebut bukan hanya musuh umat pilihan, melainkan juga musuh Allah. Sehingga ketika musuh-musuh tersebut berbuat tak adil terhadap umat pilihan, itu berarti mereka juga sedang berbuat ketidakadilan terhadap Yahweh. Maka dari itu, umat pilihan sangat pantas untuk memohon Yahweh menegakkan keadilan-Nya dengan cara menghukum orang-orang yang telah melakukan ketidakadilan tersebut. Namun, muara dari permohonan ini ialah reputasi Allah. seorang teolog bernama Broadhusrt menulis:” kutukan tersebut… tepatnya berpusat pada usaha mempertahankan keadilan Allah. Allah dalam keadilan-Nya telah menetapkan sebuah tatanan khusus di dunia, yang harus diikuti. Ketika orang-orang secara sengaja melawan tatanan ini, mereka layak untuk dihukum, supaya reputasi Allah tidak diragukan.”
Lalu bagaimana dengan ungkapan-ungkapan yang kasar ada? Hal tersebut ialah produk budaya yang cenderung puitis, blak-blakan dan hiperbolis (melebih-lebihkan sesuatu). Karena hal tersebut merupakan produk budaya, maka tidak seharusnya kita saat ini meniru cara tersebut, sebab kita hidup dalam konteks budaya yang sangat jauh berbeda.
Mazmur Kutukan setidaknya memiliki dua pelajaran rohani bagi kehidupan umat Tuhan. Pertama, Mazmur Kutukan mengajar bahwa umat Tuhan memiliki hak untuk menuntut keadilan Allah. Umat Tuhan berhak untuk menuntut keadilan Tuhan, terlebih mengingat ikatan covenant Allah dengan umat-Nya di dalam Kristus. Tidak ada yang salah dengan permintaan tersebut, karena permintaan tersebut pada dasarnya hanya meminta Allah segera melakukan hal yang memang akan Allah lakukan. Hanya saja, sebagaimana para pemazmur menyerahkan segalanya dalam tangan Tuhan, bahkan perasaan kebencian, maka tuntutan ini tidak boleh dilandaskan pada kebencian pribadi tapi pada kerinduan akan kemuliaan Allah. Dalam permohonan tersebut harusnya selalu terselip unsur pengampunan.
Ajaran ini juga bukanlah ajaran yang tidak alkitabiah. Ajaran ini juga tetap muncul dalam Perjanjian Baru, ketika Paulus memohon keadilan Allah atas Aleksander yang telah banyak menjahatinya (2 Tim. 4:14), dan juga saat jiwa-jiwa yang mati karena firman Allah menuntut pembalasan atas darah mereka (Why. 6:10). Bahkan secara implisit ajaran ini muncul dalam doa yang Tuhan Yesus sendiri ajarkan, yaitu doa Bapa Kami. Sebab ketika umat Tuhan berdoa, “Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga,” itu berarti umat Tuhan sedang memohon supaya Iblis dan para pengikutnya jatuh dan menerima hukuman yang mereka pantas terima. Kehendak Allah di bumi tidak akan sama seperti di sorga tanpa Allah menghancurkan Iblis dan orang-orang fasik.
Kedua, Mazmur kutukan mengajar umat Tuhan untuk selalu mengandalkan Tuhan saat mengalami penindasan, seperti seorang teolog bernama Zenger menulis, bahwa “mereka menyerahkan kepada Allah bukan hanya ratapan mereka atas situasi mereka yang menyedihkan, tapi juga hak untuk menghakimi penyebab dari situasi tersebut. Lebih lagi, Mazmur Kutukan mengajar bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang tak terkondisi. Sebagaimana bangsa Yehuda, yang tak berdaya di bawah penjajahan dan penindasan, ataupun Daud, yang sebenarnya memiliki kekuatan untuk menghancurkan sendiri musuh-musuhnya, mengandalkan Tuhan, demikianpun harusnya umat Tuhan. Entahkah umat Tuhan sama seperti bangsa Yehuda yang tak berdaya dalam menghadapi penindasnya, ataupun seperti Daud, memiliki kekuatan untuk melawan, umat Tuhan harus tetap mengandalkan Tuhan dalam penindasan tersebut.
3. Yesaya 27:1. Ular naga itu kiasan atau gambaran pada siapa?
Jawab:
Ungkapan ular naga dalam ayat ini paralel dengan Lewiatan dalam baris sebelumnya. Lewiatan ialah binatang laut (yang oleh beberapa orang dianggap mitos) pada zaman dulu yang sangat menakutkan dan dianggap tak terkalahkan. Bahkan dalam Ayub 41:15, ia disebut sebagai raja atas segala binatang yang ganas (Alkitab LAI menerjemahkannya sebagai “buaya” namun dalam teks Ibraninya kata yang tertulis “Lewiatan”). Ungkapan dalam Yesaya 27:1 ini berbicara mengenai jaminan kelepasan atau penyelamatan yang dari Tuhan. Bila Allah sanggup untuk menghancurkan binatang yang dianggap kuat dan tak terkalahkan itu, tentunya bukan hal yang sulit bagi Allah untuk memberi kelepasan dan keselamatan bagi Israel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar