Salah satu keberatan yang sering diajukan untuk menyanggah penetapan Allah yang all-inclusive, tidak mungkin gagal dan didasarkan pada kedaualatan-Nya adalah kebebasan manusia. Ajaran Alkitab yang sudah dijelaskan sebelumnya dianggap membuat manusia tidak memiliki kehendak bebas. Manusia hanya melakukan apa yang sudah direncanakan Allah sebelumnya. Hal ini dilihat sebagai pelanggaran terhadap hakekat manusia yang bebas memilih.
Apakah kedaulatan Allah meniadakan kebebasan manusia? Dalam pengakuan iman Reformed tidak pernah diajarkan bahwa ketetapan Allah yang berdaulat sejak kekekalan merampas kebebasan manusia. Allah tetap berdaulat dan manusia tetap bebas. Mengapa bisa seperti ini? Karena Allah “tidak memaksakan kehendak pada ciptaan maupun kebebasan atau kemungkinan penyebab-penyebab kedua [1] ditiadakan, sebaliknya malah diteguhkan” (WCF III.1).
Para teolog Reformed memberikan pernyataan yang lebih lengkap tentang hal ini. Boettner menulis, “Allah sungguh-sungguh mengatur ciptaan-ciptaan-Nya dan penguasaan-Nya atas mereka adalah sedemikian rupa sehingga tidak ada pemaksaan yang dilakukan terhadap natur mereka...manusia bertindak menurut naturnya sendiri tetapi melakukan secara tepat apa yang Allah telah rencanakan bagi dia untuk lakukan”.[2] Allah tidak menghancurkan, sebaliknya menciptakan dan mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan dari ciptaan-Nya.[3] Hal ini dapat dilakukan oleh Allah karena Dia dapat merealisasikan ketetapan-Nya secara langsung maupun melalui perantaraan penyebab kedua.[4] Kita harus memahami bahwa ketetapan Allah tidak hanya mencakup beragam isu kehidupan manusia, tetapi tetai juga tindakan-tindakan manusia yang bebas yang secara logis ada sebelum dan ditentukan untuk menyatakan hasil-hasil tertentu.[5]
Alkitab tidak pernah berusaha mengharmoniskan antara kedaulatan mutlak Allah dan kebebasan manusia. Alkitab juga tidak pernah menyebut dua hal ini sebagai kontradiksi yang harus diharmoniskan (kontradiksi sebenarnya tidak mungkin diharmoniskan). Fenomena ini menunjukkan bahwa memang tidak ada kontradiksi.[6] Sebagian orang berusaha menolak hal ini dan menganggap keduanya ibarat rel kereta api yang sejajar dan tidak pernah bertemu, namun di surga nanti ujung keduanya akan bertemu. Seperti disinggung oleh Sproul, ilustrasi seperti ini tidak logis, karena kalau ujung dua rel itu dapat bertemu di surga, maka kedua rel itu sebenarnya tidak sejajar.[7] Akan lebih konsisten dengan Alkitab dan rasio apabila kita menganggap keduanya memang tidak kontradiktif, sehingga tidak perlu diharmonisasikan.
Mari kita lihat beberapa contoh eksplisit tentang kedaulatan Allah dan kebebasan manusia yang berjalan beriringan. Contoh yang paling populer adalah kisah Yusuf. Alkitab mencatat bahwa Yusuf sampai ke Mesir adalah karena iri hati dan kekejaman saudara-saudaranya, tetapi Alkitab yang sama juga menandaskan bahwa yang mengirim Yusuf ke Mesir adalah Allah (Kej 45:5, 7-8; 50:20). Kisah Rasul 2:23 mengajarkan bahwa Allah memang menyerahkan Yesus untuk disalib, tetapi yang melakukan penyaliban itu adalah orang-orang durhaka (band. 4:27-28). Manusia berhak untuk memikirkan jalannya, tetapi apapun keputusan yang dia ambil adalah berasal dari Allah (Ams 16:1).
Jika kita memahami lebih dalam, maka kita akan menemukan bahwa kebebasan manusia memang tidak bertentangan dengan kedaulatan Allah. Untuk memahami ini kita perlu memperjelas lebih dahulu tentang batasan “bebas”. Ada banyak definisi “kebebasan manusia” tetapi untuk mempermudah kita hanya akan membagi menjadi dua macam: kebebasan mutlak dan terbatas.[8] Kebebasan mutlak berarti bahwa manusia dapat melakukan apapun yang dia inginkan tanpa paksaan atau keterbatasan. Kebebasan terbatas menunjuk pada kebebasan manusia dalam mengambil keputusan dan melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dia anggap baik.
Kebebasan mutlak jelas tidak dapat diterima secara biblikal maupun logis. Semua manusia bergantung pada Allah, bahkan dalam hal yang paling sepele sekalipun. Untuk bertahan hidup dalam satu hari, manusia perlu berkata, “jika Tuhan menghendaki, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu” (Yak 4:15). Untuk makan setiap hari Alkitab mengajar kita untuk berdoa, “berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Mat 6:11). Singkat kata, kita bisa hidup, ada dan bergerak karena kita ada di dalam Allah (Kis 17:28).
Secara logis kebebasan mutlak adalah tidak rasional. Pilihan kita selalu ditentukan oleh faktor-faktor tertentu yang mendorong kita untuk mengambil keputusan tersebut. Fakta bahwa dalam beberapa hal kita harus membuat pilihan saja sudah menunjukkan bahwa kita tidak bebas memilih. Bukankah seharusnya kita bebas untuk memilih atau tidak memilih? Dalam banyak kasus kita memilih di antara sekian banyak alternatif. Jumah dari aternatif pilihan pasti bukan di tangan kita. Kita hanya memilih salah satu di antara pilihan yang ada. Jumlah pilihan yang tersedia sudah membatasi kebebasan kita dalam memilih.
Mari kita mengambil ilustrasi sederhana tentang hal ini. Ketika kita memilih untuk pergi ke sekolah dan duduk di bangku kita, semua tindakan ini sebenarnya tidak bebas secara mutlak. Keinginan kita untuk berhasil di masa depan, ketakutan kita untuk membolos, kekuatiran kita untuk tidak naik kelas, atau kerinduan kita pada orang tertentu di sekolah telah memaksa kita untuk pergi ke sekolah. Pada waktu sampai di kelas, kita diharuskan untuk duduk di sebuah bangku tertentu. Fakta bahwa kita harus duduk selama guru menerangkan membuktikan bahwa kita tidak bebas secara mutlak. Pilihan bangku yang ada juga terbatas. Kita tidak dapat duduk di meja atau di bangku milik guru kita. Bagaimanapun kita tidak bebas seperti tergambar dalam penjelasan ini, tetapi kita tetap merasa bahwa kita memiliki kebebasan, walaupun itu tidak mutlak.
Secara praktis kebebasan yang mutlak juga tidak dapat dibenarkan: (1) Banyak hal dalam hidup kita bukanlah hasil pilihan kita, misalnya kita tidak bisa memilih siapa yang menjadi orang tua kita, kita tidak dapat memilih untuk dilahirkan di mana maupun dari suku apa, dsb; (2) kebebasan mutlak akan membuat kita melanggar kebebasan orang lain dan menjadikan orang itu tidak bebas. Kebebasan mutlak berarti kita bebas melakukan apapun kepada siapapun. Dengan demikian kita pasti membuat orang lain tidak bebas; (3) dalam banyak hal kita tidak dapat melakukan apa yang kita inginkan, dan faktor penyebabnya seringkali berada di luar diri kita. Semua ini seharusnya cukup untuk menyadarkan kita bahwa kebebasan manusia yang mutlak adalah sebuah hal yang tidak biblikal dan rasional.
Jika kita menolak ide bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak, maka kita harus menerima fakta bahwa kebebasan manusia adalah terbatas. Jika kita kebebasan kita memang terbatas, kita perlu merenungkan, “apa atau siapa yang paling berhak untuk membatasi kebebasan manusia?” Sesuai dengan ajaran Alkitab dan kebenaran akal budi Kristiani, kita harus mengakui bahwa Allahlah yang paling pantas membatasi kebebasan kita. Dia berhak untuk melakukan hal itu. Jangankan untuk membatasi kebebasan kita, untuk menciptakan manusia yang tanpa kehendak bebas pun Dia berhak. Hak Allah untuk membatasi kebebasan manusia ini seharusnya bisa diterima dengan mudah karena Alkitab memberikan begitu banyak contoh tentang tindakan Allah yang mempengaruhi keputusan manusia, misalnya menggerakkan hati (1Taw 5:26; 2Taw 21:16; 36:22; Ez 1:1; 7:27), mengeraskan hati (Kel 7:3; 9:12; 10:20, 27; 11:10; 14:4, 8, 17; Rat 3:65; Yeh 13:22), membuka hati (Kis 16:14).[9]
Jadi, inti dari semua penjelasan adalah natur Allah sebagai Pencipta yang tidak terbatas dan natur manusia sebagai ciptaan yang sangat terbatas.[10] Tidak akan ada kontradiksi apabila kita menyatakan bahwa suatu tindakan sudah pasti di mata Pencipta, namun belum pasti di mata ciptaan. Tidak akan ada kontradiksi jika kita menegaskan bahwa semua peristiwa di mata Pencipta sejak kekekalan sudah genap, namun di mata ciptaan semua itu terjadi dalam sebuah proses yang saling bergantung. Tidak akan ada kontradiksi jika kita percaya bahwa dalam hikmat, kuasa dan kedaulatan-Nya yang sempurna Allah mampu menaruh setiap pilihan bebas manusia ke dalam rencana-Nya tanpa harus memberi paksaan kepada manusia.
Jika semua sudah jelas seperti dipaparkan di atas, problem yang masih tersisa adalah bagaimana menjelaskan detil cara kerja Allah yang tetap merealisasikan setiap ketetapan-Nya secara berdaulat tetapi dalam banyak hal Dia melakukan hal itu melalui kebebasan manusia dalam memilih. Problem lain yang masih berkaitan adalah tanggung-jawab manusia. Jika semua ketetapan Allah pasti terlaksana dan kebebasan manusia termasuk dalam ketetapan itu, apakah manusia perlu bertanggung-jawab kepada Allah atas segala kesalahan yang mereka lakukan? Dari dua problem ini, kita hanya akan membahas yang pertama, sedangkan problem kedua akan dibahas secara khusus pada waktu kita membicarakan tentang ketetapan Allah mengenai dosa.
Saya akan memberi sebuah ilustrasi dari suatu kejadian yang pernah saya alami, walaupun kita sama-sama mengetahui bahwa ilustrasi apapun tidak pernah dengan sempurna menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan Allah. Bagaimanapun, ilustrasi ini dapat memberikan sedikit pencerahan tentang problem yang kita sedang diskusikan. Sewaktu saya masih melayani di sebah kampus teologi, ada satu mahasiswa yang berencana untuk membohongi dewan dosen. Dia telah meminta ijin untuk ke kota A, padahal dia sebenarnya mau pergi ke kota B. Celakanya lagi, pelanggaran ini bukanlah yang pertama. Waktu itu dia bahkan sedang menjalani masa skorsing. Tambahan pelanggaran pasti akan membuat dia dikeluarkan. Beberapa dosen memilih untuk mengambil tindakan ini, sedangkan yang lain mengusulkan untuk memberikan kesempatan kepada dia. Saya condong pada yang terakhir ini. Akhirnya saya memutuskan bahwa salah satu dosen harus memanggil mahasiswa itu dan menanyakan secara pribadi apakah benar dia akan pergi ke kota A. Saya sudah memberitahu dosen itu tentang urutan pertanyaan yang harus diberikan sesuai dengan kemungkinan jawaban yang akan dikemukakan oleh mahasiswa itu. Saya juga memberitahu reaksi spontan apa yang akan ditunjukkan oleh mahasiswa itu, termasuk ketika dia diberitahu bahwa dia masih diberi kesempatan terakhir. Menariknya, semua yang sudah saya rencanakan ternyata berjalan persis seperti yang saya duga. Mengapa tebakan saya benar-benar terjadi? Jawabannya adalah karena saya cukup mengenal mahasiswa itu dengan dekat. Saya tahu karakter dan kebiasaan dia. Dari cerita ini kita dapat melihat bahwa saya sudah menyiapkan sebuah “skenario” tetapi mahasiswa tersebut tetap dengan bebas memberikan respon yang sudah saya ketahui sebelumnya.
Contoh lain adalah dari dunia sepak bola. Seorang pemain dapat mengelabui lawannya melalui gerakan-gerakan tertentu. Dia mungkin memberi sinyal akan bergerak ke kiri, tetapi dia sebenarnya akan ke kanan. Lawannya biasanya akan menghadang dia di sebelah kiri sesuai dengan sinyal yang dia berikan, dengan demikian dia bisa melewati hadangan lawan itu. Apakah dalam hal ini lawannya bebas memilih? Tentu saja iya. Lawannya bebas memutuskan untuk ke kanan, menunggu dengan diam atau ke kiri. Kenyataannya dia tetap mengambil keputusan untuk menghadang di sebelah kiri pemain tersebut. Dia telah tertipu, persis seperti yang direncanakan oleh pemain itu.
Dua ilustrasi ini memberi kita sedikit pencerahan bahwa dalam keterbatasan kita pun kita masih bisa merencanakan sesuatu secara pasti tanpa mengorbankan kebebasan orang lain. Kalau kita yang terbatas saja kadangkala mampu melakukan itu kepada orang lain yang juga terbatas, apalagi Tuhan yang tidak terbatas hikmat dan kuasa-Nya. Dia pasti mampu merencanakan segala sesuatu secara berdaulat dan pasti, tanpa mengambil keseluruhan kebebasan manusia.
Pada titik yang paling dasar kita tetap harus mengakui bahwa mekanisme yang dipakai Allah masih menjadi misteri bagi kita. Variabel yang terkait dalam masalah ini jauh lebih kompleks daripada yang ada dalam dua ilustrasi sebelumnya. Kita sebaiknya dengan rendah hati dan penuh iman menerima kebenaran tersebut, sekalipun kita sulit untuk menjelaskannya. Kebenaran ini termasuk yang dinyatakan kepada kita, tetapi penjelasan detilnya adalah bagi Allah (Ul 29:29). Sama seperti Daud yang mengagumi kedaulatan TUHAN dalam hidupnya dan berkata, “terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya” (Mzm 139:6), kita juga harus menundukkan pikiran kita dan mengaku, “Oh, alangkah dalamnya, kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah; sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan tak terselami jalan-jalan-Nya” (Rom 11:33). Di tempat lain Daud mengajari kita untuk bersikap, “aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku” (Mzm 131:1). Kita harus percaya bahwa dalam hikmat dan kuasa-Nya yang tidak terbatas, Allah mampu melakukan hal itu. Jika kita mencoba menolak atau mencari penjelasan lebih lanjut, maka kita akan ditundukan oleh Allah dan dipaksa mengaku seperti Ayub, “tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.” (42:3).
Apakah manusia sekedar robot atau pemain sandiwara?
Pihak non-Reformed umumnya menolak doktrin ketetapan Allah yang all-inclusive dengan alasan bahwa doktrin ini membuat manusia menjadi seperti robot atau pemain sandiwara. Manusia hanya mengikuti secara persis apa yang sudah ditetapkan Allah.
Terhadap pandangan ini kita dengan tegas menolaknya. Kita bukan robot. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, Allah merealisasikan ketetapan-Nya melalui kehendak bebas manusia. Lebih tepat lagi, kebebasan manusia termasuk dalam rencana Allah. Manusia tetap bebas memilih suatu keputusan, namun hal itu pasti akan sesuai dengan ketetapan Allah.
Manusia juga bukan pemain sandiwara. Manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi atau apa yang harus dilakukan supaya sesuai dengan ketetapan Allah. Kita tidak pernah tahu ketetapan kekal Allah sampai hal itu benar-benar terjadi. Di pihak lain, pemain sandiwara sudah mengetahui skenario yang harus dia mainkan. Dia tidak memiliki kebebasan untuk bertindak yang tidak sesuai dengan skenario itu.
Tujuan ketetapan Allah
Topik ini merupakan hal yang sangat mendasar dan umum, tetapi tanpa disadari seringkali dilupakan. Untuk apakah Allah merencanakan segala sesuatu seperti yang kita lihat sekarang? Berbagai pengakuan iman Reformed dengan suara bulat menjawab bahwa Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi “untuk kemuliaan-Nya sendiri” (WSC 7, WLC 12). WLC 1 mengajarkan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya. Begitu pula dalam hal ketetapan keselamatan orang pilihan, hal ini dilakukan Allah untuk “manifestasi dari kemuliaan-Nya“ (WCF III.3) atau “pujian terhadap anugerah-Nya yang mulia” (WCF III.5).
Para teolog Reformed sangat menekankan tujuan hidup yang teosentris (berpusat pada Allah) ini. Kemuliaan Allah adalah yang tertinggi atas segala nilai dan satu faktor pendorong yang besar bagi semua yang Allah telah pilih dan lakukan.[11] Dorongan yang menggerakkan Allah dan hal yang Ia inginkan dalam segala sesuatu yang Ia lakukan adalah kemuliaan-Nya sendiri! [12] Walaupun kebaikan manusia memang salah satu tujuan dari penciptaan, namun hal ini bukan yang terutama maupun satu-satunya.
Alkitab secara tegas menyatakan bahwa “segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia” (Rom 11:36). Segala sesuatu melayani Dia (Mzm 119:91). Ciptaan menyatakan kemuliaan Allah (Mzm 19:2; Rom 1:20). Manusia diciptakan untuk kemuliaan-Nya (Yes 43:7). Bahkan hukuman yang menimpa manusia pun dipakai untuk menyatakan kemuliaan-Nya (Rom 9:17). Fakta bahwa Dia yang menciptakan segala sesuatu membuat semua penghuni surga dengan sukacita bernyanyi, “Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan” (Why 4:11).
Jika kita menerima kebenaran di atas, maka hal itu akan menolong kita untuk menjawab beberapa keberatan yang sering ditujukan pada kedaulatan Allah yang mutlak atas manusia. Sebagian orang yang cenderung menempatkan kebaikan (baca: kenyaman hidup) manusia sebagai tujan utama dalam penciptaan akan menemui banyak kesulitan untuk menerima kedaualatan Allah atas hal-hal yang di pandangan manusia tampak buruk. Jika kita meyakini bahwa segala sesuatu memang untuk kemuliaan Tuhan, maka Dia dapat melakukan apapun dalam hidup kita, sejauh hal itu tidak melanggar natur-Nya sendiri. Dia berhak menentukan apapun dalam hidup kita yang Dia pandang baik dan membawa kemuliaan bagi nama-Nya. Kita tidak boleh mempertanyakan hal ini. Kita hanya bisa mengimani bahwa Allah yang kita sembah adalah “yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia” (Ul 32:4).
Manfaat praktis dari doktrin ini
Sebagian orang Kristen menghindari diskusi doktrinal seperti ini karena dianggap terlalu teoritis dan tidak terlalu bersentuhan dengan kehidupan praktis. Topik ini dilihat sebagai bahan diskusi filosofis yang kurang bermanfaat. Sebenarnya jika kita mau serius dengan ajaran Alkitab ini - bukan hanya memikirkan tetapi juga menghidupi - maka seluruh kehidupan kita akan terkait dengan doktrin ini. HC 28 mengajarkan bahwa kedaulatan Allah yang mutlak akan membawa beberapa keuntungan: kita dapat bersabar dalam kesukaran, bersyukur dalam kelimpahan, dalam segala sesuatu meletakkan persandaran kita pada Allah dan Bapa yang setia.
Boettner mengatakan bahwa jika doktrin ini dipahami dengan semestinya, doktrin ini merupakan sesuatu yang sangat menghibur dan membuat kita yakin.[13] Culver menulis, “dalam dunia yang berbahaya di mana pengharapan duniawi pasti akan berlalu, tidak ada yang lebih meyakinkan bagi orang percaya daripada kepastian bahwa kehendak Allah yang menentukan sedang direalisasikan”. [14] BC 13 berbunyi “doktrin ini memberikan penghiburan yang tidak terkatakan karena kita diajar bahwa tidak ada satu pun yang menimpa kita sebagai kecelakaan, sebaliknya sebagai arahan dari Bapa surgawi dan yang penuh anugerah”. Adakah alasan lain untuk tetap bersukacita dan optimis di tengah dunia yang diwarnai dengan ketidakpastian dan kejahatan selain keyakinan bahwa Allah tetap mengontrol segala sesuatu? Adakah yang lebih menghibur kita dalam segala kerumitan masalah yang kita hadapi selain percaya bahwa semua yang tampaknya kacau di mata kita sebenarnya adalah begitu teratur di mata Tuhan?
Berikut ini adalah beberapa contoh praktis yang dicatat dalam Alkitab tentang bagaimana konsep kedaulatan Allah yang mutlak merupakan sumber penghiburan dan kekuatan yang luar biasa. Yang paling terkenal adalah kisah Yusuf. Sejak awal dia sudah meyakini dua mimpi yang dia terima bahwa saudara-saudaranya akan menyembah dia (Kej 37:5-10). Dalam kisah selanjutnya mimpi ini kelihatannya tidak mungkin terjadi karena berbagai masalah: usaha saudara-saudara Yusuf untuk menyingkirkan dia (37:18-36), pemenjaraan Yusuf karena difitnah istri Potifar (Kej 39), juru minuman Firaun yang sengaja melupakan dia (40:23; band. 41:9) selama dua tahun (40:1). Bagaimanapun hidup Yusuf tampak kacau (bahkan Yusuf pun beberapa kali menegaskan ketidakbersalahannya dalam segala yang terjadi, band. 40:15), kita tidak boleh melupakan faktor lain: Allah sedang aktif dalam setiap babak kehidupan Yusuf. Penyertaan Allah inilah yang menjadi kunci sukses Yusuf (40:2-3, 5, 21, 23). Di akhir cerita Yusuf pun mengakui hal ini. Beberapa kali dia menghibur saudara-saudaranya bahwa TUHANlah yang menyuruh dia ke Mesir untuk memelihara hidup bangsa Israel (45:5, 7-8) dan dengan demikian menepati janji-Nya kepada para patriakh (12:1-3; 22:17-18; 26:4). Di Kejadian 50:20a Yusuf mengatakan sebuah kalimat yang sungguh indah, “memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan”.
Contoh kedua adalah gereja mula-mula. Ketika mereka menghadapi tekanan dari para pemimpin Yahudi (4:16-21), mereka membawa permasalahan itu kepada Allah dalam doa. Mereka menyebut Allah dengan sebutan despoths (LAI:TB “Tuhan”, ayat 24), yang menyiratkan kedaulatan-Nya yang mutlak (NIV/RSV “Sovereign Lord” = “Tuhan yang berdaulat”). Selanjutnya mereka menjelaskan bentuk konkrit dari kedaulatan ini. Allah adalah Pencipta segala sesuatu (ayat 24b). Dia mengetahui dan memberitahukan apa yang akan terjadi melalui hamba-hamba-Nya (ayat 25-26). Allah bukan hanya mengetahui apa yang akan terjadi. Dia bahkan menentukan segala sesuatu dari semula oleh kuasa dan kehendak-Nya (ayat 28). Dengan keyakinan seperti ini mereka mampu terus bertahan dalam situasi yang rumit dan mampu memahami semua penderitaan yang dihadapi dari perspektif Allah. Betapa bahagianya orang yang mengenal kedaulatan Allah-Nya.
Situasi konkrit kita sekarang mungkin berbeda dengan Yusuf atau gereja mula-mula, tetapi Allah yang kita percaya tetap sama, yaitu Allah yang berdaulat merencanakan segala sesuatu dalam hidup kita. Rencana-Nya selalu sempurna dan baik. Kebaikan dalam rencana-Nya kadangkala – oleh anugerah Alah – dapat kita pahami. Pada kasus-kasus lain kita seringkali tidak mampu memahami kebaikan di dalamnya. Bagaimanapun kita tetap dengan mata iman mengakui kebaikan-Nya. Kita belajar untuk mengatakan, “ketika saya sulit melihat kebaikan Allah, hal itu tidak berarti bahwa Allah tidak baik”.
Renungkanlah beberapa kisah nyata berikut ini dan bertanyalah pada diri kita masing-masing: penghiburan apakah yang dapat memberi manfaat kepada kita dalam situasi seperti ini kecuali jika kita percaya bahwa segala sesuatu tidak ada yang kebetulan dan semua hal berjalan sesuai dengan rencana-Nya yang teratur?
· Seorang anak kecil berusia 3 tahun dan adiknya yang hanya berusia 3 bulan kehilangan ayah dan ibu mereka dalam sebuah kecelakaan tragis. Seorang sopir bis yang sembrono telah merenggut nyawa kedua orang tua mereka. Ketika ada sebuah keluarga mengadopsi dua anak itu, si sulung ternyata tidak disayangi oleh keluarga baru ini. Lama setelah itu ayah angkatnya baru bisa menerima dia dan mulai menyayangi dia. Sayangnya, ayah angkat itu meninggal dunia karena gagal ginjal. Selanjutnya si sulung diadopsi oleh keluarga lain yang sangat mengasihi dia karena keluarga ini baru saja kehilangan anak perempuan mereka. Tiba-tiba ayah angkat yang baru ini meninggal dunia karena ditembak mati perampok. Penghiburan apa yang bisa kita berikan selain meyakinkan dia bahwa Allah tetap mengontrol hidupnya dan sedang mengarahkannya pada tujuan yang luar biasa?
· Seorang pemuda dari Afrika dikirim untuk menempuh pendidikan teologi di suatu seminari terkenal di Amerika. Dia sangat rohani, pandai, bertalenta dan memiliki kasih yang mendalam terhadap orang-orang sebangsanya. Dia bersekolah dengan sebaik-baiknya. Setelah sekolahnya usia, dia bersiap-siap kembali ke negaranya untuk menjangkau ribuan orang yang belum mengenal Tuhan. Selama masa persiapan ini dia sedang mengadakan rekreasi bersama keluarga. Di tengah acara santai dia berenang di sebuah kolam. Tidak lama kemudian dia ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan mengapa hal itu dapat terjadi. Tidak ada yang membunuh dia. Dia pun bisa berenang dengan baik. Apakah dia mengalami kram kaki atau penyakit jantung? Tidak seorang pun tahu. Mungkin kita bertanya-tanya mengapa orang seperti dia dipanggil Tuhan dengan cara yang sepele? Kalau dia mati karena dianiaya mungkin kita masih bisa memahami hal itu. Mengapa ini terjadi? Mengapa orang yang paling pantas dan siap melayani ribuan orang lain yang belum kenal Tuhan harus mengalami ini? Buat apa semua persiapan dan kerja keras yang dia sudah lakukan? Kita tidak akan pernah tahu jawabannya. Kita hanya bisa berkata, “aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku” (Mzm 131:1b) atau “ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya, aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku” (Mzm 73:21-23).
· Seorang misionaris dari Barat memutuskan untuk melayani di sebuah suku di pedalaman Afrika. Dia membawa seluruh keluarganya ke sana. Beberapa tahun berlalu tidak ada seorang pun yang percaya kepada injil. Hanya ada seorang anak kecil yang dengan rajin pergi ke rumah mereka. Selama bertahun-tahun melayani di sana sang misionaris berturut-turut kehilangan istri dan anak-anaknya karena penyakit malaria. Dengan putus asa dia akhirnya meninggalkan tempat itu dan pulang ke negaranya bersama anak perempuannya yang masih bertahan hidup. Bertahun-tahun dia kecewa dengan Tuhan dan tidak dapat memahami mengapa perjalanan hidupnya begitu menyedihkan. Bukankah Tuhan dengan jelas memanggil dia untuk melayani di suku itu? Bukankah dia sudah melayani Tuhan dengan penuh pengorbanan, dedikasi dan komitmen? Mengapa tidak ada buah apapun dari pelayanan ini? Mengapa Tuhan tega mengambil nyawa orang-orang yang dia kasihi? Walaupun pertanyaan ini akhirnya terjawab puluhan tahun sesudahnya ketika anak perempuannya memberitahu dia bahwa anak kecil yang dia layani dulu ternyata kini menjadi seorang pengkhotbah terkenal, namun pergumulan teologis seperti ini tetap akan terus ada. Bagaimana jika sampai misisonaris itu mati dia tetap tidak melihat “buah pelayanannya”?
Dalam hidup kita sehari-hari pun kita akan banyak tertolong apabila kita mempercayai doktrin ini. Bukankah ada banyak “kecelakaan” yang mungkin menimpa kita? Bukankah ada banyak kekuatan alam yang di luar kapasitas kita untuk mengatasinya? Bukankah ada banyak proses kimia-fisika-bilogis dalam tubuh kita yang dokter sekalipun tidak mampu jelaskan sepenuhnya? Bukankah kita dapat mati kapanpun, di manapun, melalui apapun dan oleh siapapun? Bagaimana jika kita sebagai orang tua mati ketika anak-anak kita yang kecil masih membutuhkan pemeliharaan kita? Bagaimana seandainya kita yang sudah berusia lanjut dan meletakkan masa tua pada anak-anak kita ternyata mendapati bahwa mereka dipanggil Tuhan lebih dahulu? Bagaimana seandainya kita mengalami kecacatan tubuh yang permanen yang membuat kita tidak dapat melakukan apapun?
Pertanyaan seperti ini masih bisa diperpanjang tanpa batas. Ya, apapun dapat menimpa kita tanpa kita mampu mengatasinya, karena kita sangat rapuh. Kita hanyalah debu dan hidup kita seperti bunga rumput (Mzm 103:14-16). Kita bahkan tidak berhak atas hidup yang kita nikmati setiap hari (Yak 4:15; band. Mzm 104:29). Terlepas dari semua keterbatasan ini, kita memiliki dasar kehidupan yang teguh, yaitu segala sesuatu dalam hidup ini telah direncanakan dengan sempurna oleh Allah yang mahabijaksana, mahakasih dan mahakuasa.
Beberapa orang bertindak gegabah dan bodoh ketika mereka menganggap Allah tidak becus mengatur hidup mereka, Mereka berpikir bahwa mereka dapat memilih jalan hidup yang lebih baik daripada yang sudah direncanakan Allah. Apakah mereka lebih bijaksana, lebih baik dan lebih berkuasa daripada Allah? Seandainya Allah memberi kesempatan saya untuk merencanakan hidup saya sendiri, saya tetap tidak akan mengambil kesempatan itu. Saya tidak tahu masa depan maupun segala sesuatu yang akan berpengaruh terhadap hidup saya. Saya tidak tahu apa yang terbaik untuk diri saya sendiri. Sekalipun saya mampu membuat rencana yang terbaik, saya belum tentu berkuasa merealisasikan rencana tersebut. Sebaliknya, bagaimanapun hidup kita sekarang sangat susah dan penuh penderitaan, kita harus berujar “biarlah kita jatuh ke dalam tangan Allah karena besar kasih sayang-Nya” (2Sam 24:14).
Saya akan menutup bagian ini dengan sebuah refleksi diri. Seandainya ada mesin waktu dan kita bisa kembali menjadi bayi lagi, apakah kita masih menginginkan orang tua yang sama, anggota keluarga yang sama, status ekonomi yang sama, kondisi fisik yang sama, masa lalu yang sama, dsb.? Jika kita mengatakan bahwa kita menginginkan ada sesuatu yang baru dalam hidup kita, maka kita sebenarnya tidak mengakui keindahan rencana-Nya bagi kita. Kita tidak perlu memasuki mesin waktu itu untuk menentukan hidup kita, sebab hidup kita sudah sempurna. Roma 8:28 “kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”.
Mengapa Allah menetapkan kejatuhan Adam?
Sejauh ini kita sudah menyelidiki bahwa semua dosa di dunia berada dalam rencana Allah. Allah secara aktif menetapkan hal itu. Dalam realisasinya pun Allah tidak sekedar sebagai penonton. Dia pada taraf tertentu terlibat sedemikian rupa tanpa melanggar kekudusan, keadilan maupun kebaikan-Nya, walaupun penjelasan untuk hal ini seringkali tidak memuaskan pikiran kita dan menuntut kita untuk memakai mata iman. Sekarang kita akan mencoba menyelidiki mengapa Allah menetapkan kejatuhan Adam.
Isu ini menurut saya merupakan masalah yang lebih pelik daripada predestinasi. Seperti akan dijelaskan secara mendetil dalam bab tentang “Pemilihan Tanpa Syarat”, doktrin predestinasi dibangun di atas doktrin kerusakan total manusia. Kita mungkin akan lebih mudah menerima fakta bahwa setelah semua manusia berdosa di dalam Adam mereka secara mutlak membutuhkan anugerah Allah dan Allah berhak memilih siapa yang Dia selamatkan dan siapa yang Dia biarkan dalam kebinasaan. Kebenaran ini relatif mudah dipahami dan diterima. Yang sulit adalah menjelaskan mengapa Allah menetapkan kejatuhan Adam yang pada gilirannya menyebabkan semua manusia. Bukankah seandainya Adam tidak ditetapkan untuk berdosa, maka tidak akan ada predestinasi? Apa maksud Allah menetapkan kejatuhan Adam?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menyinggung sedikit tentang keterlibatan Allah dalam kejatuhan dosa Adam. Seperti sudah kita lihat sebelumnya, Allah memang sejak kekekalan telah menetapkan agar kejatuhan ini berada dalam rencana-Nya (WCF VI.1). Walaupun demikian, Allah tidak dapat dipersalahkan dalam kejatuhan ini, karena Dia tidak memaksa Adam untuk berdosa. Allah menciptakan mereka “menurut gambar dan rupa-Nya, baik, benar, kudus dan dalam segala sesuatu mampu untuk berkehendak yang sesuai dengan kehendak Allah” (BC 14). Manusia bukan hanya diciptakan dalam keadaan netral, tetapi sangat baik (Kej 1:31). Allah juga sudah memberikan peringatan yang serius apabila mereka melanggar perintah-Nya (Kej 2:17). [15]
Lalu bagaimana keadaan yang sangat baik itu memungkinkan Adam untuk berdosa? Kejatuhan mereka terkait dengan natur mereka sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Allah meninggalkan Adam dan Hawa dalam kehendak bebas mereka (WCF IV.2; WSC 13; WLC 21), sehingga mereka akhirnya menggunakan kehendak itu secara salah. Apakah dengan memberikan kehendak bebas kepada manusia berarti Allah turut bersalah dalam kejatuhan mereka? Sebagian orang mungkin akan menjawab “iya”, tetapi mereka yang menjawab demikian kurang mampu membedakan antara “kemungkinan” dan “potensi”. “Kemungkinan” merujuk pada sesuatu yang ada di luar diri manusia yang dapat terjadi atau tidak. “Potensi” berarti sesuatu yang ada dalam diri manusia. Keadaan manusia yang sangat baik menunjukkan tidak adanya potensi dosa dalam diri mereka. Allah memang memberi kehendak bebas dan dengan demikian membuka kemungkinan pada ketaatan atau ketidaktaatan, namun pemberian kehendak bebas pada dirinya sendiri tidak dapat disebut sebagai dosa. Jika memberikan kemungkinan selalu dapat dipersalahkan, maka setiap pemberian peraturan pada dirinya sendiri sudah berdosa, karena pemberian itu pasti menyiratkan dua kemungkinan: ditaati atau dilanggar.
Sekarang kita akan membahas maksud Allah di balik kejatuhan Adam. Kita pertama-tama harus memahami bahwa Allah dapat mengerjakan kebaikan melalui segala sesuatu (Rom 8:28), termasuk melalui dosa. Banyak contoh Alkitab tentang hal ini. TUHAN mereka-rekakan semua kejahatan yang menimpa Yusuf untuk kebaikan (Kej 45:5-8; 50:20). Allah memakai kebesaran dan kekerasan hati Firaun untuk menunjukkan kemuliaan-Nya (Rom 9:17). Allah memakai iblis untuk menguji iman Ayub (Ay 1-2). Allah memakai perzinahan Yehuda dan Tamar untuk memberikan keturunan Mesias (Mat 1:3. band. Kej 38). Allah memakai penganiayaan dari orang-orang fasik terhadap Paulus supaya semua itu mengerjakan pertumbuhan rohani dan kemuliaan kekal (2Kor 4:16-17). Di tempat lain di surat yang sama disebutkan tentang tindakan Allah yang memberikan duri dalam daging kepada Paulus dalam bentuk seorang utusan iblis supaya Paulus belajar tentang kecukupan anugerah dan tidak meninggikan diri (2Kor 12:7, 9).
Jika dosa-dosa aktual dapat dipakai Allah untuk kebaikan, maka tidak ada alasan untuk tidak menerapkan kebenaran ini pada kasus kejatuhan Adam. Allah bisa saja menjadikan dunia yang lebih indah yang tidak mengandung penderitaan atau dosa, seperti langit dan bumi yang baru yang akan kita nikmati kelak (Why 21:4). Dengan demikian pandangan yang menyatakan bahwa dunia ini adalah dunia yang terbaik yang mungkin diciptakan oleh Allah (Dia tidak bisa menciptakan sesuatu yang lebih baik) tidak dapat kita terima. Allah bisa menciptakan yang lebih baik, tetapi memilih untuk menciptakan yang kurang daripada itu. Frame mengungkapkan hal ini sebagai berikut: [16]
Sesungguhnya Kitab Suci secara eksplisit memberitahu kita bahwa dunia yang sekarang ini inferior dibandingkan dunia yang akan datang. Jika Allah mampu membuat sebuah dunia yang untuk sementara waktu kurang dari sempurna, mengapa Ia tidak dapat menciptakan sebuah dunia yang paling baik dalam arti mutlak? Apakah tidak mungkin bahwa Allah ingin menampilkan anugerah-Nya dengan menciptakan makhluk-makhluk yang kurang dari keistimewaan yang sempurna?
Ya, jika Dia bisa menciptakan dunia yang sempurna tetapi Dia memilih untuk menciptakan yang kurang sempurna, maka pasti ada alasan di balik ketetapan ini. Allah ingin mengerjakan kebaikan dalam melalui dosa (ini biasa disebut “greater good theory” = teori kebaikan yang lebih besar).
Sebelum kita membahas kebaikan konkrit apa yang dihasilkan melalui kejatuhan Adam, kita perlu memahami beberapa prinsip terlebih dahulu: [17]
· Kebaikan yang lebih besar bukanlah kenyamanan atau kesenangan yang lebih besar bagi manusia, melainkan kemuliaan yang lebih besar dari Allah. Kita cenderung menilai sesuatu sebagai kebaikan apabila hal itu bermanfaat bagi kita, tetapi sikap ini salah. WCF VI.1 menjelaskan bahwa maksud penetapan Allah atas dosa Adam adalah “untuk kemuliaan-Nya sendiri”.
· Kecuali standar Allah mengatur konsep kita tentang kebaikan, tidak mungkin ada pembicaraan tentang baik-jahat sama sekali. Allah yang berhak menentukan apakah sesuatu itu baik atau tidak, bukan kita. [18]
· Jika kita ingin menilai tindakan Allah dengan benar, maka kita harus mengevaluasi hal itu dalam terang keseluruhan sejarah. Kita cenderung menilai kebaikan sesuatu secara instan dan sementara (baik atau tidaknya sesuatu didasarkan pada hasil langsung dari suatu peristiwa). Ketika menilai kebaikan dari tindakan Allah kita harus mencakup kemuliaaan kekal yang Dia akan kerjakan di akhir jaman (Rom 8:18; 2Kor 4:17).
· Allah sering mengagetkan kita dengan cara-cara-Nya mengeluarkan kebaikan dari suatu dosa/kejahatan. Cara ini seringkali di luar kemampuan kita untuk berpikir. Sebagai contoh, Allah menubuatkan penghukuman sekaligus pembebasan bagi bangsa Yahudi. Bagaimana Dia bisa melakukan dua hal yang tampaknya sulit diharmonisasikan ini? Ia melakukan-Nya melalui salib yang mendemonstrasikan keadilan (Rom 3:25-26) maupun kasih-Nya (1Yoh 4:10)!
· Karena kebaikan harus dilihat dari perspektif keseluruhan sejarah sampai kekekalan, maka untuk sekarang ini kita harus menghadapi persoalan ini dengan iman. Hidup kita adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat (2Kor 5:7). Sebagian orang yang menolak ketetaan Allah atas dosa biasanya menuntut kita yang menerima doktrin ini untuk memberi bukti-bukti yang meyakinkan tentang kebaikan konkrit yang dihasilkan melalui suatu dosa. Jika kita “gagal” memberikan bukti, maka pandangan kita dianggap salah. Tuntutan ini jelas tidak adil. Merekalah yang seharusnya membuktikan bahwa Allah tidak mampu mengerjakan kebaikan dari suatu kejahatan. Ajaran Alkitab tentang bagaimana Allah mengerjakan kebaikan dari suatu kejahatan sudah cukup kuat. Kita hanya perlu mengimani hal ini dan tidak harus bisa menunjukkan setiap kebaikan konkrit yang dihasilkan Allah. Banyak di antaranya harus kita tunggu sampai kekekalan nanti.[19]
· Teori kebaikan yang lebih besar tidak mengajarkan bahwa tujuan yang baik menghalalkan cara yang berdosa. Penggunaan suatu kejahatan untuk menyatakan kemuliaan Allah tidak boleh dipandang sebagai kesalahan. Pengalaman hidup sehari-hari mengajarkan bahwa kita pun seringkali bisa menerima suatu kejahatan yang akhirnya menimbulkan kebaikan bagi kita. Contoh: kita memukul anak kita supaya dia menjadi anak yang baik. Pukulan ini jelas dapat dibenarkan (asalkan dengan alasan dan tujuan yang benar), karena kapasitas kita sebagai orang tua (Ams 23:13-14). Jika itu dilakukan orang lain, maka penilaian kita akan berbeda. Begitu pula ketika kita menilai kebaikan dari tindakan Allah. Satu hal penting yang perlu kita ketahui adalah perbedaan ontologis (berkaitan dengan hakekat) antara Pencipta dan ciptaan. Allah seringkali berhak untuk melakukan sesuatu yang apabila dilakukan oleh kita akan menjadi salah, misalnya Allah berhak mengambil nyawa orang kapanpun Dia mau, sedangkan kita tidak boleh membunuh orang lain (Kej 9:6; Kel 20:13).
Lalu apakah kebaikan yang dimunculkan Allah melalui kejatuhan Adam? Yang paling utama adalah Allah memakai kejatuhan itu untuk menyatakan sifat-sifat-Nya secara lebih kentara. Contoh: Adam baru menyadari kekudusan Allah secara lebih baik ketika dia jatuh ke dalam dosa dan takut berjumpa dengan Allah yang kudus (Kej 3:10). Sebelumnya mereka memang berada dalam kekudusan, tetapi mereka tidak memiliki gambaran yang penuh tentang kualitas kekudusan itu. Dosa memberi kesempatan bagi mereka untuk lebih menghargai kekudusan Allah.
Kejatuhan juga telah mengajar manusia tentang kebaikan Allah. Jika tidak ada kejatuhan, maka kita hanya akan memahami kebaikan Allah dalam konteks penciptaan dunia yang indah bagi manusia dan pemberian otoritas atas segala ciptaan. Penciptaan manusia memang anugerah (manusia tidak berhak menuntut untuk diciptakan, apalagi dalam keadaan yang begitu baik, Kej 1:31), namun anugerah yang sempurna terlihat ketika Allah mau menebus kita yang sudah tidak ada kebaikan sama sekali di mata Dia. Melalui kejatuhan kita mengetahui bahwa kasih Allah yang tertinggi dibuktikan ketika Dia rela memberikan Anak-Nya yang tunggal bagi kita yang berdosa (Yoh 3:16; 1Yoh 4:10-11). Melalui kejatuhan kita belajar tentang anugerah. Ketika Yohanes membicarakan tentang kasih Allah, ia menyatakannya sebagai berikut: “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1Yoh 4:10).
Apakah tujuan ini dapat membenarkan tindakan Allah dalam menetapkan keberdosaan Adam? Dengan kata lain, apakah Allah berhak memakai dosa untuk menyatakan sifat-sifat-Nya? Tentang hal ini Alkitab secara eksplisit memberikan dukungan penuh, walaupun semua contoh berikut ini bukan berkaitan secara langsung dengan kejatuhan Adam. Kebesaran dan kekerasan hati Firaun dipakai untuk menyatakan kemuliaan Allah (Rom 9:17). Peristiwa alam dapat dipakai untuk menyatakan penghukuman maupun kasih karunia (Ay 37:13). Semua penderitaan yang dialami Ayub dimaksudkan supaya dia pada akhirnya dapat berkata, “hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ay 42:5). Keberdosaan Daud dipakai untuk menyatakan kebenaran Allah (Rom 3:4; band. Mzm 51:6). Penghukuman terhadap umat-Nya dimaksudkan untuk menyatakan kekudusan Allah (Am 4:2). TUHAN memakai wabah dan perang untuk menghukum orang Sidon dan dengan demikian menyatakan kekudusan-Nya (Yeh 28:22-23). Petrus akan mati dengan cara yang menyedihkan untuk memuliakan Allah (Yoh 21:19). Paulus diberi duri dalam daging supaya dia belajar tentang kasih karunia Allah (2Kor 12:9). Contoh paling agung – sekali lagi - adalah kematian Kristus. Di salib itulah kita melihat keadilan, kekudusan, kekuasaan dan kasih Allah dinyatakan secara sempurna. Kalau untuk menyatakan semua ini Dia rela memberikan Anak-Nya yang tunggal, masakan Dia tidak berhak memakai kejatuhan Adam untuk menyatakan semua sifat-Nya yang sempurna itu?
Ilustrasi berikut ini mungkin akan memperjelas poin yang sedang kita diskusikan. Banyak di antara kita memerintahkan anak-anak kita untuk belajar mengendarai sepeda. Kita semua tahu bahwa ketika berlatih bersepeda seorang anak pasti – atau paling tidak sangat mungkin – pernah jatuh. Kejatuhan ini dapat menimbulkan luka dan penderitaan bagi anak. Pertanyaannya, apakah kita tetap memerintahkan anak kita untuk belajar bersepeda dengan resiko seperti ini? Mayoritas dari kita pasti tidak keberatan dengan resiko yang pasti muncul ini, karena kita memiliki tujuan lain yang lebih indah dan kita juga telah mengantisipasi semua akibat buruk yang akan terjadi (menyediakan obat-obatan, memastikan tempat yang aman untuk berlatih, dsb).
Ilustrasi di atas memang terbatas dalam menggambarkan tindakan Alah. Semua ilustrasi pasti seperti itu, apalagi yang mau digambarkan adalah tindakan ilahi yang seringkali memang di luar kemampuan pikiran kita. Dalam kasus anak berlatih sepeda, kita tahu hasil buruk yang akan terjadi tidak akan parah (kematian), sedangkan dalam kasus kejatuhan Adam hukumannya sangat parah (kematian jasmani, rohani dan kekal). Bagaimanapun, ilustrasi ini tetap berguna untuk menunjukkan bahwa tindakan menetapkan sesuatu yang tampaknya buruk tetapi untuk tujuan yang baik tidak serta-merta adalah salah, apalagi dalam kasus Adam ini Allah tidak secara aktif membuat Adam jatuh. Ia hanya menyerahkan mereka pada pilihan bebas mereka yang Dia ketahui (dan tetapkan) pasti akan berujung pada ketidaktaatan. Jika dalam ilustrasi di atas kita sebagai orang tua tidak dapat dipermasalahkan, adakah alasan untuk mempermasalahkan Allah dalam hal kejatuhan Adam, padahal Dia langsung mengantisipasi akibat dari kejatuhan ini (band. Kej 3:16)? Siapakah kita di hadapan Allah? Dapatkah tanah liat memprotes penjunan (Rom 9:20)?
Tanggung-jawab manusia
Jika Allah sejak kekekalan memang sudah menetapkan dosa, mengapa manusia tetap harus bertanggung-jawab atas dosa-dosa mereka? Manusia tetap harus bertanggung-jawab atas semua dosa mereka, karena ketika mereka berdosa, mereka tidak tahu kalau mereka sedang menggenapi rencana Allah. Mereka juga berdosa secara bebas. Allah tidak pernah memberikan pengaruh apapun dalam diri mereka yang membuat mereka melakukan suatu kejahatan.
Lebih penting lagi, manusia tetap harus bertanggung-jawab atas dosa-dosa mereka karena Alkitab memang mengajarkan demikian. Allah membangkitkan bangsa Babel yang kejam untuk menghukum umat-Nya (Hab 1:5-11), tetapi Ia juga akan menghukum bangsa Babel atas kesombongan dan kekejaman mereka (Hab 2:4-5; Yer 50:18). Anak Manusia pasti akan disalibkan sesuai dengan yang telah ditetapkan Allah, tetapi orang yang menyerahkan Anak Manusia tetap akan dihukum (Luk 22:22). Penyesatan memang harus ada, tetapi orang yang menyesatkan pasti tidak lepas dari hukuman (Mat 18:7).
Kita hanya bisa menerima dan menegaskan kebenaran firman Tuhan: dosa berada dalam ketetapan kekal Allah; Allah tidak membuat orang berdosa; manusia berdosa dengan kehendak bebasnya sendiri; manusia harus bertanggung-jawab. Di luar ini Alkitab tidak memberitahu kita apa-apa. Alkitab tidak menjelaskan bagaimana mekanisme kerja yang dipakai Allah sehingga Dia tidak terlibat secara langsung tetapi semua ketetapan-Nya pasti tergenapi tanpa merampas kehendak bebas manusia. Mekanisme seperti ini tetap akan menjadi misteri bagi kita. [20]
Keadilan Allah
Jikalau dosa-dosa manusia mengerjakan kebaikan yang lebih besar (terutama bagi kemuliaan Allah), apakah Allah adil ketika Dia menghukum manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami dahulu apa yang dimaksud dengan “keadilan”. Keadilan bukan berarti sama rata untuk semua pribadi. Seorang buruh tidak dapat menuntut gaji yang sama besarnya dengan seorang direktur, karena keduanya memiliki jabatan, latar belakang pendidikan, kemampuan dan kontribusi bagi perusahaan yang berbeda. Dengan cara yang sama, kita tidak dapat menuntut agar tujuan penciptaan alam semesta akan menyenangkan Allah dan kita dengan tingkat kepuasan yang sama. Kita perlu ingat bahwa kita ini “daging dan angin yang berlalu” (Mzm 78:39) serta “debu” (Mzm 103:14).
Lalu apakah “keadilan” itu jika tidak dipahami sebagai “sama rata”? Secara sederhana keadilan dapat dipahami sebagai terpenuhinya hak seseorang. [21] Dalam konteks ketetapan Allah atas segala sesuatu, kita tidak boleh melupakan apa yang menjadi hak Allah sebagai Pencipta. Kita terlalu sering membicarakan tentang keadilan Allah tanpa memberi Dia apa yang menjadi hak-Nya. Kita cenderung terlalu sibuk dengan hak manusia. Apakah sebagai Pencipta Allah berhak menciptakan segala sesuatu untuk kepentingan-Nya sendiri saja? (Rom 11:36) Apakah sebagai Penjunan Allah berhak menciptakan bejana apa saja untuk kepentingan yang berbeda-beda? (Rom 9:21-23). Apakah Allah berhak menggunakan dosa manusia untuk kepentingan-Nya, misalnya menyatakan kebenaran dan kekudusan-Nya? (Rom 3:4-5). Tidak diragukan lagi, Allah berhak melakukan apapun yang Dia anggap baik dan menyenangkan hati-Nya.
Dari sisi manusia, mereka telah melakukan dosa seturut kehendak bebas mereka. Mereka tidak pernah dipaksa untuk menggenapi rencana kekal Alah (mereka bahkan tidak tahu rencana tersebut). Jika demikian, apakah manusia berhak untuk dihukum? Ya! Mereka berdosa, mereka pantas dihukum.
Jadi, baik Allah maupun manusia telah mendapatkan keadilan (hak mereka) dalam kasus Allah menetapkan dosa sejak kekekalan dan manusia tetap harus dihukum karena melakukan semua kejahatan seturut pilihan mereka sendiri. Tidak ada yang diperlakukan tidak adil. Jika kita menolak kebenaran ini, maka salah satu justru akan diperlakukan secara tidak adil. Jika ini yang terjadi, seringkali, sayangnya, yang sering menjadi korban ketidakadilan adalah Allah. Kita tidak memberi Dia apa yang menjadi hak-Nya. Kita merampas kedaulatan-Nya dalam mengatur segala sesuatu yang Dia ciptakan.
Pada akhirnya kita semua, baik Reformed maupun non-Reformed, harus mengakui bahwa keadilan Allah terlalu tinggi untuk dipahami (Ay 37:23; Mzm 71:19; Yes 5:16a). Kita yang terbatas hanya bisa mengakui dengan iman bahwa Allah adalah satu-satunya Hakim (Mzm 50:6; Yak 4:12) dan sebagai Hakim Seluruh Bumi Allah pasti bertindak adil (Rom 3:5-6), sekalipun kita tidak mampu memahami keadilan tersebut. Kita tidak perlu memikirkan hal-hal yang terlalu tinggi bagi akal kita (Ay 42:3; Mzm 131:1). Sama seperti Asaf yang pernah bergumul dengan keadilan dan kebaikan Allah (Mzm 73:3-12), kita seharusnya berkata, “aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku” (Mzm 73:22-23).
Manfaat praktis dari doktrin ini
Tidak seperti yang mungkin dibayangkan sebagian orang, doktrin ini memberikan manfaat praktis yang luar biasa. Kita seringkali putus asa dan kecewa dengan suramnya hidup kita akibat kesalahan-kesalahan di masa lalu. Kita meyakinkan diri bahwa hidup ini tidak akan menjadi lebih baik. Penderitaan yang ada adalah pantas bagi kita. Dengan memahami ketetapan Allah atas dosa, kita memang tetap harus menyesali semua dosa kita dan menanggung akibat dosa, namun kita tidak perlu tenggelam dalam keputusasaan. Perjalanan hidup kita yang kelam akibat dosa kita sebenarnya adalah penggalan-penggalan puzzle yang belum selesai dipasang oleh Allah. Dia masih bisa memunculkan gambar yang indah melalui beberapa penggalan yang tampak kacau. Sama seperti Allah memakai pernizahan Yehuda-Tamar yang sangat memalukan untuk melahirkan keturunan Mesias (Mat 1:3), demikian pula Allah masih sanggup mengerjakan kebaikan dari keluarga kita yang sudah carut-marut. Sama seperti kekejaman dan kebodohan Saulus dalam menganiaya jemaat telah dipakai Allah untuk mengajar dia tentang anugerah (1Kor 15:9-10), demikian pula dosa kita akan dijadikan sarana untuk mengajarkan banyak hal yang indah tentang Allah.
Doktrin ini juga mengajarkan betapa pentingnya anugerah Allah yang memampukan kita untuk menang dalam setiap pencobaan. Kalau Adam yang naturnya belum tercemar oleh dosa saja ternyata tidak berdaya oleh tipu daya iblis, apalagi kita yang naturnya sudah rusak oleh dosa. Ketika kita mampu bertahan dalam suatu pencobaan, itu semua pasti karena Allah yang memberi kita kekuatan.
Doktrin ini memberi ketenangan dalam dunia yang penuh dosa. Kita mungkin sering kuatir dengan berbagai kejahatan yang akan menimpa kita. Ya, semua itu bisa saja terjadi: di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Satu hal yang menghibur kita adalah tidak ada satu pun dari kejahatan itu yang akan menimpa kita tanpa Tuhan menetapkan untuk mengijinkan hal itu terjadi. Amos 3:6b “Adakah terjadi malapetaka di suatu kota, dan TUHAN tidak melakukannya?”. Yesaya 45:6-7 “...Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain, yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang”. Kalau Dia memang mengijinkan itu, maka Dia pasti memiliki rencana yang indah bagi kita (Rom 8:28). Sama seperti semua kejahatan yang menimpa Ayub telah dipakai untuk mengerjakan kebaikan, demikian pula semua kejahatan yang diijinkan menimpa kita adalah untuk kebaikan kita dan kemuliaan-Nya.
Catatan Akhir:
[1] Istilah “penyebab kedua” (second/secondary cause) dipakai dalam dunia teologi untuk merujuk pada hal-hal di luar diri Allah yang secara langsung menyebabkan terjadinya sesuatu, walaupun dalam hal ini Allah tetap sebagai enyebab pertama (first/ultimate/primary cause).
[2] Reformed Doctrine of Predestination, 38.
[3] Bavinck, Reformed Dogmatics Volume Two, 377.
[4] Berkhof, Systematic Theology, 103.
[5] Ibid, 107.
[6] Shedd, Dogmatic Theology, 316.
[7] Chosen By God, 40.
[8] Sproul menyebut yang pertama sebagai autonomy, sedangkan yang terakhir sebagai freedom. Chosen By God, 41-42.
[9] Menurut pengamatan saya, orang-orang non-Reformed seharusnya bisa menerima kedaulatan Allah yang membatasi (bukan menghilangkan) kebebasan manusia. Paling tidak mereka harus percaya bahwa untuk hal-hal yang baik Allah kadangkala mengubah hati seseorang sedemikian rupa sehingga orang itu bagaimanapun juga akan mengikuti kehendak-Nya. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa Allah berhak membatasi kebebasan manusia?
[10] Shedd, Dogmatic Theology, 316.
[11] Christian Theology, 379.
[12] Reymond, A New Systematic Theology, 343.
[13] Reformed Doctrine of Predestination, 32.
[14] Robert Duncan Culver, Systematic Theology, 123.
[15] Jika kita teliti kejatuhan Adam ke dalam dosa, mka kita akan menemukan keadaan yang sangat ironis yang menunjukkan betapa salahnya tindakan Adam dan Hawa. Mereka diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26), tetapi mereka masih tergoda untuk menjadi sama seperti Allah (Kej 3:5). Mereka boleh memakan semua pohon (Kej 2:16) dan hanya dilarang makan buah dari satu pohon (Kej 2:17), ternyata mereka justru menginginkan satu buah yang dilarang (Kej 3:6). Mereka diciptakan dalam keadaan semua baik (Kej 1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31) sehingga mereka tidak perlu mengetahui “yang baik dan yang jahat”, tetapi mereka justru ingin mengetahui “yang jahat” (Kej 3:5-6). Mereka diberi kuasa atas segala binatang, termasuk atas binatang melata (Kej 1:26, 28), tetapi mereka justru yang dikuasai oleh salah satu dari binatang itu. Penyebutan ular sebagai binatang “yang cerdik” sangat mungkin merupakan sebuah ironi untuk menyatakan kebodohan manusia.
[16] The Doctrine of God, 171.
[17] Frame, The Doctrine of God, 171-173.
[18] Kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa sangat berkaitan dengan usaha Hawa untuk melihat dan menilai sesuatu (Kej 3:6 “perempuan itu melihat bahwa pohon itu baik untuk….”), padahal di Kejadian 1-2 Allahlah yang berhak untuk melihat sesuatu dan menyatakan apakah sesuatu itu baik (1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31; 2:18). John Sailhamer, “Genesis”, EBC Vol. II, _____.
[19] Di surga nanti ada sebagian hal yang sekarang samar-samar akan terlihat lebih jelas (1Kor 13:12). Beberapa misteri di dunia ini akan dibukakan Allah di surga. Sekalipun demikian kita tidak dapat berharap bahwa segala sesuatu akan dibuka bagi kita. Ingat, di surga nanti kita tetaplah ciptaaan. Kita tidak akan menjadi mahatahu. Kita tetap akan terbatas dalam memahami pikiran Allah. Allah pun tidak harus memberikan penjelasan kepada kita untuk setiap tindakan yang Dia lakukan.
[20] Berkhof, Systematic Theology, 175; Grudem, Systematic Theology, 330.
[21] Lewis B. Smedes, Mere Morality: What God Expects from Ordinary People (Grand Rapids: Wm B. Eerdmans Publishing Company, 1983), 24. Dalam buku ini Smedes memang tidak menyinggung ketetapan Allah atas dosa sama sekali, namun pemikirannya tentang keadilan sangat sederhana dan menolong, karena itu dikutip dalam bagian ini.
Dikutip dari Yakub Tri Handoko
Diktat Doktrin Allah
Catatan:
Saya rasa isu ini pasti menarik bagi kita semua. Kemarin malam, (17/2/2011) sewaktu KTB, saya dan beberapa rekan pemuda mendiskusikannya dengan hangat, kalau tidak bisa dibilang panas hehehe ... Tulisan ini merupakan ringkasan dari beberapa bagian dikt...at yang ditulis oleh Ev (atau mungkin lebih tepat calon Pendeta). Yakub Tri Handoko, Th.M, Ph. D (c), seorang hamba Tuhan yang penuh potensi dan, bagi saya, seorang yang jenius dalam teologi.
Walau mungkin tulisan ini tidak akan menjawab tuntas setiap hal yang kita ingin tahu, tetapi saya ingin membagikan tulisan ini dengan teman-teman semua: sebuah tulisan yang menarik, dalam, dan mudah dimengerti, walau sedikit agak panjang. Semoga tulisan ini membantu teman-teman untuk semakin mempertebal iman dan keyakinan kita kepada Allah. Dalam keterbatasan pengetahuan kita, kiranya seruan Paulus selalu menjadi ungkapan kerendahhatian kita, "O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!" (Rm. 11:36). Selamat Membaca. GBU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar