1. Menyambung pertanyaan mengenai usia raja Ahazia yang berumur 22 tahun di 2Raj. 8:26 dan 42 tahun di 2Taw. 22:2, kira-kira dimana awal terjadinya kesalahannya? Mungkin dari penyalinan atau penerjemahan?
Jawab:
Naskah Ibrani kuno berbeda dengan naskah Ibrani Modern dalam hal mengungkapkan nilai. Naskah Ibrani Kuno memakai sistem gemmatria, yakni mengungkapkan angka atau nilai dengan menggunakan simbol abjad. Pembandingnya, seperti ketika kita, orang Indonesia yang menggunakan abjad Latin mengidentikan huruf “a” dengan 1, “b” dengan 2, “c” dengan 3, “d” dengan 4 dan seterusnya. Sedangkan naskah Ibrani Modern mengungkapkannya dengan kata. Pembandingnya seperti ketika kita menulis “empat” untuk mewakili 4, “lima” untuk mewakili 5, dan seterusnya.
Beberapa abjad Ibrani awal adalah alef, bet, gimel, dalet, he, waw, zayin, khet, tet, yof, kaf, lamed, mem, dan seterusnya. Sepuluh huruf pertama (alef sampai kaf) mewakili angka dari 1 sampai 10. Angka selanjutnya mewakili kelipatan sepuluh: kaf bernilai dua puluh, lamed bernilai tiga puluh, mem bernilai empat puluh dan seterusnya. Sehingga ketika naskah Ibrani Kuno Tawarikh ingin menyebut angka 22 tinggal menulis huruf kaf (bernilai 20) dan bet (bernilai 2).
Dalam kasus Tawarikh kemungkinan terjadi kesalahan penyalinan, sebab huruf kaf (bernilai 20) bentuknya mirip dengan huruf mem (bernilai 40). Kemungkinan terjadi salah salin dari kaf-bet (dua puluh dua) menjadi mem-bet (empat puluh dua). Akibatnya, beberapa naskah-naskah yang terkemudian juga menuliskannya mem-bet. Penyalin naskah Ibrani Modern hanya mengubahkannya dalam bentuk modern menjadi “arbaim usetayim” (empat puluh dua) tanpa mengoreksi apakah bacaan ini sesuai atau tidak. Akan tetapi, bacaan ini jelas tidak bisa diterima sebab, dukungan terhadap bacaan dua puluh dua tetap lebih kuat, baik deri segi logika maupun kesaksian naskah.
Apakah ini mempengaruhi kredibilitas Alkitab? Sebenarnya tidak sama sekali. Hal ini mungkin memang membuat sarjana Alkitab harus mengevaluasi naskah salinan Alkitab namun tidak mengurangi nilai kebenaran Alkitab. Naskah yang tidak bisa salah dari Alkitab ialah naskah aslinya, sedangkan salinan jelas memiliki potensi salah. Namun, walau naskah salinan bisa salah, namun kesalahan ini bisa segera dideteksi dengan sebuah disiplin ilmu sejarah yang namanya “Kritik Tekstual.” Sehingga walaupun ada kesalahan penyalinan di beberapa tempat, namun kita bisa segera menemukannya dan mengetahui bagaimana bacaan yang tepat.
2. Cukup banyak mazmur yang berasal dari Asaf. Siapakah Asaf itu? Juga Bani Korah, Etan/Heman orang Ezrahi?
Jawab:
Asaf bin Berekhya adalah keturunan Lewi yang menjadi barisan penyanyi yang dimiliki Daud (1Taw. 15:17) yang juga menjadi penyanyi di rumah Tuhan (1Taw. 6:39; 16:4-5), bahkan secara khusus, dia juga termasuk orang yang bertugas mengatur ibadat di rumah Tuhan (1Taw. 16:37). Nantinya, anak-anak dan keturunan Asaf akan melanjutkan tugas ini (1Taw. 25:1ff; 2Taw. 20:14; 29:13; dsb).
Demikianpun, Korah adalah keturunan Lewi (dari bani Kehat) yang keturunannya juga menjadi kelompok pelayan di bait Allah, yang beberapa di antaranya juga menjadi pemuji (2Taw. 20:19). Sedangkan Etan dan Heman adalah orang-orang yang disebut sangat berhikmat (bandingkan 1Raj. 4:31), namun mereka juga memiliki kemampuan bernyanyi sehingga dimasukkan sebagai penyanyi oleh Daud (1Taw. 15:19).
Kemunculan nama-nama ini dalam Kitab Mazmur, mengingatkan kita bahwa Kitab Mazmur bukanlah sebuah kitab yang ditulis oleh seorang pengarang tunggal, melainkan sebuah bunga rampai, yakni kumpulan karya beberapa orang yang disatukan menjadi sebuah kitab. Kitab ini memperkaya kita untuk melihat bagaimana kejujuran dan pergumulan hidup, batin dan kerohanian dari banyak orang (Daud, Musa, Bani Korah, Etan, Heman, pengarang tanpa nama, dsb) terhadap dan bersama dengan Tuhan.
3. Bagaimana dengan ungkapan sia-sia dalam Pengkotbah? Jika semua adalah sia-sia, bagaimana dengan motivator hari-hari ini yang mengajarkan untuk mengejar sukses?
Jawab:
Ungkapan kesia-siaan yang dipakai pengkotbah memang sangat keras. Ia memakai istilah kesia-siaan dari segala kesia-siaan, yang menunjukkan kesia-siaan yang sangat mendalam. Tetapi, penting diingat bahwa kesia-siaan ini ia ungkapkan terjadi ketika kita menjalani semua tanpa Tuhan. Semua harta kekayaan, nama besar bahkan kesusahan pun akan menjadi amat sia-sia bila dilalui tanpa bersama dengan Tuhan atau tanpa membawa kita semakin mendekat kepada Tuhan. Itulah mengapa di akhir kitabnya, penulis Pengkotbah mengajak kita untuk mengingat Allah (12:1) dan hidup takut akan Allah (12:13-14). Mengejar kesuksesan, sebagimana disarankan para motivator, bukan hal yang salah, namun bila kesuksesan itu tidak dijalani bersama dengan Tuhan, atau malah membuat kita menjauh dari Tuhan, di situlah kita sedang mengalami kesia-siaan.
Kitab ini juga mengimbangi optimisme Mazmur dan, terutama, Amsal. Kedua kitab tersebut menggunakan hikmat kuno dengan cara berpikirnya yang sangat sederhana: taat akan diberkati, tidak taat akan beroleh kesulitan. Kitab Pengkotbah memberikan sebuah penyeimbang bahwa silogisme (aturan berpikir) tersebut tidak selalu tepat ketika diterapkan dalam kehidupan. Kitab ini menyadarkan kita bahwa di balik kerumitan hidup yang terkesan kacau ini ada Allah yang mengatur segala sesuatunya dengan baik, bahkan sebelum kita bisa memahami semuanya (Pkh. 3:11).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar