1. Kenapa harus suku Lewi yang dijadikan Tuhan sebagai pelayan Tuhan? Kenapa bukan suku-suku yang lain. Apa karena suku Lewi tidak bisa berperang seperti suku-suku lain di bangsa Israel?
Jawab:
Bila menilik dari Ulangan 33:9-11, nampaknya suku Lewi menerima status khusus ini karena kesetiaan mereka terhadap Tuhan dan firman-Nya. Dikatakan bahwa: “Biarlah Tumim dan Urim-Mu (dalam artian jabatan imam/pelayan Tuhan) menjadi kepunyaan orang yang Kaukasihi (konteksnya jelas merujuk pada Lewi)” (ay. 8a), alasannya “Sebab orang-orang Lewi itu berpegang pada firman-Mu dan menjaga perjanjian-Mu” (ay. 9b). Di sepanjang perjalanan bangsa Israel menuju Kanaan, kita akan menemukan bahwa hal ini memang benar. Satu contoh yang sangat jelas, misalnya, ketika bangsa Israel membuat patung Anak Lembu Emas (Keluaran 32), dicatat bahwa satu-satunya suku yang memihak kepada Tuhan ialah Lewi (ay. 26-28). Bahkan Musa memberikan penekanan bahwa saat itu “berkumpullah kepadanya seluruh bani Lewi” (ay. 26b).
2. Apakah sewaktu Israel ditindas di Mesir itu mereka sudah tinggal berkelompok menurut suku-sukunya?
Jawab:
Tidak ada indikasi bahwa orang Israel sudah tinggal berkelompok menurut sukunya pada saat mereka masih hdiup di Mesir. Catatan paling jelas bahwa mereka mulai hidup berkelompok menurut sukunya ada di dalam Bilangan 2, saat mereka sedang ada di padang gurun, dalam perjalanan menuju tanah perjanjian.
3. Apa itu persembahan sulung? Apakah persembahan sulung itu wajib?
Jawab:
Persembahan sulung: persembahan seluruh hasil pertama (ternak, hasil tanah, dsb) dari penghasilan untuk Tuhan (Bil. 18: 8-20; Im. 2:2; 23:10; Ul. 26:1-10; Ams. 3:9; .bnd. Yeh. 44:30). Dalam PL persembahan ini bersifat wajib. Dalam Perjanjian Baru tidak disinggung sebab kemungkinan orang Yahudi waktu itu melakukan dengan setia. Lalu apakah persembahan ini wajib untuk kita hari ini? Dalam artian wajib sebenarnya tidak, sebab hari ini kita memang tidak lagi hidup dalam masa legalitas hukum, kita hidup dalam masa anugerah! Akan tetapi anugerah ini tentu tidak membuat kita lantas hidup secara sembarangan. Persembahan sulung memang tidak lagi diwajibkan seketat dalam Perjanjian Lama, namun bukan berarti hari ini kita melalaikannya. Kita memang tidak dipaksa untuk memberikannya, namun tidak bisa tidak, sebagai orang yang telah menerima kemurahan yang begitu besar dari Allah, kita pasti rindu untuk melakukannya. Dengan persembahan ini kita belajar mensyukuri berkat Tuhan dan menyandarkan hidup dan keperluan kita pada-Nya. Persembahan ini bukan sebuah kewajiban namun sebuah konsekuensi logis dari berkat Tuhan yang besar bagi kita.
4. Dalam Alkitab ada beberapa kali dicatat Allah 'berdiskusi' dengan beberapa tokoh (misalnya dengan Abraham soal Sodom-Gomora, dengan Amos soal Israel). Yang saya ingin tanyakan yang kasus 'diskusi' Allah dengan Amos tentang hukuman utk Israel. Dicatat beberapa kali Allah memberitahukan 'rencana-Nya' lewat penglihatan pd Amos, tapi setelah Amos bilang Yakub tidak bisa bertahan, Alkitab mencatat Allah menyesal dan tidak akan melakukan hal itu. Pertanyaannya:
1. Apakah dalam kasus ini berarti rencana jangka pendek Allah (untuk hal penghukuman, misalnya) bisa diubah melalui doa orang percaya?
2. Alkitab mencatat Allah membatalkan cara-cara awal penghukuman pada Israel karena Amos bilang Yakub kecil dan tidak bisa bertahan, apakah berarti semua bencana alam atau peperangan yang makan banyak korban (yang Allah ijinkan) itu sebenarnya bisa dibilang 'skala kecil' yang bisa ditanggung bangsa2 yg mengalami?
1. Apakah dalam kasus ini berarti rencana jangka pendek Allah (untuk hal penghukuman, misalnya) bisa diubah melalui doa orang percaya?
2. Alkitab mencatat Allah membatalkan cara-cara awal penghukuman pada Israel karena Amos bilang Yakub kecil dan tidak bisa bertahan, apakah berarti semua bencana alam atau peperangan yang makan banyak korban (yang Allah ijinkan) itu sebenarnya bisa dibilang 'skala kecil' yang bisa ditanggung bangsa2 yg mengalami?
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan pertama, ada dua hal yang perlu kita ingat di sini. Pertama, doa sebenarnya tidak merubah kehendak ataupun rencana Allah. Doa sebenarnya justru sebuah sarana dimana keinginan dan kehendak kita yang diubahkan agar sesuai dengan kehendak Allah. Doa merupakan cara kita menyandarkan diri pada kedaulatan Allah dan meyakini bahwa rencana-Nya adalah yang terbaik. Allah mengubah kehendak-Nya bukan karena doa tapi karena kedaulatan-Nya. Kedua, kita harus memahami kisah Amos tersebut dalam kerangka kedauluatan dan rencana besar Allah. Allah adalah Allah yang Mahatahu, tentunya Ia lebih mengetahui dengan baik daripada Amos bahwa hukuman yang akan Ia berikan tidak akan bisa ditanggung oleh bangsa Israel. Lantas mengapa Ia terlihat akan memberikan hukuman tersebut? Penting diingat bahwa tujuan di balik penghukuman yang diberitakan para nabi, termasuk Amos, adalah pertobatan Israel. Allah memakai ancaman hukuman tersebut untuk mengingatkan bangsa Israel bahwa dosa dan kesalahan mereka sudah terlampau banyak. Akan tetapi, Allah juga memakai permintaan Amos untuk menunjukkan bahwa Allah terus mengasihi mereka dan mengharapkan mereka bertobat dan berbalik kepada-Nya. Sehingga melalui momen dialogis antara Allah dan Amos, Allah ingin menunjukkan kebobrokan Israel sekaligus kasih Allah yang terus mengajak mereka untuk kembali pada-Nya.
Mengenai apakah tiap kesulitan yang terjadi adalah kesulitan dalam ‘skala kecil’? Paulus dalam 1Kor. 10:13 menjelaskan bahwa tiap pencobaan yang dialami seseorang ataupun suatu kelompok, seberat apapun pencobaan tersebut, ialah pencobaan yang bisa ditanggung oleh orang ataupun kelompok tersebut. Meskipun konteks ayat ini ditujukan bagi orang-orang yang merasa dirinya rohani, namun kebenaran yang disampaikan Paulus tetap jelas, bahwa “Alah setia dan Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melebihi kekuatanmu.” Jadi, bukan soal skalanya tetapi soal apakah kesulitan dan bencana itu bisa ditanggung. Seberapapun besarnya skala masalah, tapi ketika Tuhan ijinkan itu terjadi dan Tuhan masih ijinkan kita hidup, itu artinya Ia percaya bahwa kita bisa menanggung dan menyelesaikan kesulitan tersebut.
5. Kalau TUHAN itu Maha Tahu, mengapa TUHAN marah pada kita kalau kita berbuat dosa? Bukankah seharusnya TUHAN sudah tahu terlebih dahulu sebelum kita berbuat dosa?
Jawab:
Dosa membuat Tuhan marah karena dosa merupakan pengingkaran terhadap sifat-Nya yang kudus. Kita adalah anak-anak-Nya yang seharusnya hidup dalam kekudusan (1Pet. 1:16), bila kita berdosa itu berarti kita tidak hidup sesuai standar yang Ia berikan pada kita. Marahnya Allah sebenarnya tidak usah dipandang sebagai kemarahan dalam arti negatif. Kemarahan Allah merupakan kemarahan yang kudus dan penuh kasih. Kemarahan-Nya menunjukkan bahwa Ia mengasihi kita (Ibr. 12:5-8). Ia memang marah ketika kita berdosa, namun Ia juga selalu mengampuni kita. Penebusan Kristus telah menyucikan seluruh dosa kita, baik yang dahulu, sekarang ataupun yang akan datang. Sehingga meski Ia marah ketika berdosa, namun penebusan Kristus melalukan kita dari murka-Nya yang terbesar.
6. Saya tidak mengerti tentang kehendak bebas. Bukankah TUHAN sudah tahu segala yang akan terjadi, dan semua yg terjadi itu sudah menurut kehendaknya, maka seharusnya istilah "kehendak bebas" ataupun "kehendak bebas yg tdk benar-benar bebas" itu tidak ada, karena segala sesuatu sudah ditetapkan oleh TUHAN.
Jawab:
Manusia memang tidak benar-benar bebas dalam arti bebas secara mutlak. Tiap manusia memiliki ketergantungan pada sesuatu sebab atau peristiwa. Alkitab juga menyatakan bahwa kehendak bebas manusia merupakan kehendak yang terbatas. Namun Alkitab menyatakan bahwa manusia tetap memiliki kehendak bebas. Akan tetapi, di sisi lain, Alkitab juga mengajarakan bahwa dalam kebebasan itu Allah berdaulat mengatur segala sesuatu, termasuk kebebasan manusia. Hal ini nampak sebagai sebuah paradoks, walaupun sebenarnya bukan. Dua hal ini tidak harus diharmoniskan sebab keduanya memang tidak bertentangan, bahkan sebenarnya sejalan. Alkitab memang tidak merinci secara jelas bagaimana bentuk keterkaitan kedua hal ini. Apakah karena Allah sudah menetapkan segala sesuatu maka kita tidak bertanggungjawab kepada-Nya? Tentu tidak. Sebab kita tetap memiliki kehendak bebas. Bagaimanapun, satu hal yang perlu selalu kita ingat, patokan kita bukanlah penetapan Allah atas keadaan manusia melainkan melainkan firman Allah yang mengatur bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Untuk penjelasan lebih rinci, baca artikel Kedaulatan Allah dan Kebebasan Manusia
7. Dulu seingat saya laoshi pernah bilang kalau laoshi percaya bayi yang meninggal saat masih belum mengerti apa-apa (entah dalam kandungan atau udah dilahirkan meninggalnya) akan masuk surga. Terus apakah orang-orang dari suku pedalaman yang tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal Tuhan ( belum diinjili) juga masuk surga?
*) Jika tidak , apakah ini mrupakan bagian dari predestinasi?
*) Jika tidak , apakah ini mrupakan bagian dari predestinasi?
*) Jika iya, tolong dijelaskan tentang predestinasi kembali, sebab menurut saya bayi dan suku pedalaman yang tidak mempunyai kesempatan untuk mendengar Injil itu seharusnya masuk neraka oleh karena predestinasi (kalau menurut bahasaku, mereka emang diciptakan untuk dibinasakan).
Jawab:
Keselamatan bayi berbeda dengan keselamatan orang-orang suku pedalaman. Orang-orang suku pedalaman memang tidak terpanggil untuk mengenal Tuhan. Ingat bahwa dalam Rm. 8:29-30, orang yang terpilih adalah orang yang terpanggil. Apakah tindakan ini adil? Bukankah mereka tidak punya kesempatan untuk mengenal Injil? Paulus dalam Rm. 1:18-20 menjelaskan bahwa masalahnya bukan apa mereka bisa mengenal kebenaran atau tidak tetapi kecenderungan manusia justru cenderung menindas kebenaran. Itulah mengapa Paulus mengatakan bahwa tidak seorang pun bisa berdalih (ay. 20).
Sedangkan keselamatan bayi sedikit berbeda. Beberapa sarjana Reformed menganggap bahwa bayi dari anak Tuhan pasti diselamatkan (lihat 1Kor. 7:14). Sedang bayi dari orang yang bukan anak Tuhan, mereka cenderung bersikap tidak tahu. Saya sendiri mengikuti pandangan teolog Reformed yang lain, bahwa semua bayi yang mati pasti masuk sorga. Mereka adalah orang-orang yang mendapat anugerah keselamatan dari Allah. Mengapa demikian? Ada beberapa hal yang membuat saya berpikir demikian. (1) Bayi tidak memiliki tanggung jawab moral. Mereka memang memiliki dosa asal namun mereka tidak memiliki dosa aktual. Mereka tidak bisa memilik untuk percaya Yesus atau tidak sebab untuk hidup pun mereka tidak punya kesempatan. (2) Dalam Mat. 19:14 (dan paralelnya), Yesus mengatakan bahwa “sebab orang-orang yang seperti itulah (seperti anak kecil) yang empunya Kerajaan Sorga.” Pernyataan ini cukup jelas untuk mengindikasikan bahwa anak-anak kecil, termasuk bayi, memiliki status yang spesial di mata Allah karena kepolosan dan ketulusan mereka.
8. Saya pernah mendengar ada bermacam teori yang menolak kebangkitan Yesus. Bagaimana kita menanggapinya?
Jawab:
Ada beberapa teori yang memang dimunculkan untuk menolak kebangkitan Yesus. Akan tetapi teori-teori tersebut tidak memiliki argumen yang baik bahkan memiliki banyak kelemahan. Teori pertama ialah teori yang dipopulerkan oleh Charle A. Guignebert. Ia mengatakan bahwa tubuh Yesus dikuburkan di pemakaman umum yang tidak diketahui murid-murid-Nya. Karena itu, cerita kebangkitan muncul karena ketidakmengertian mereka dimana tubuh Yesus.
Kelemahan:
- Pandangan ini ini melupakan bahwa pada masa itu tidak semua kriminal dikuburkan dalam pemakaman umum.
- Penulis Injil mempunyai saksi Yusuf Arimatea bahwa Yesus tidak dikuburkan dalam pemakaman umum (Mat. 27:57-60; Mrk.15: 43-46; Luk. 23:51-53; Yoh. 19:38).
- Markus bahkan secara jelas mencatat bahwa Maria Magdalena dan Maria ibu Yoses melihat di mana Yesus dibaringkan (Mrk 15:47).
- Selain itu para pasukan Roma tentu mengetahui dimana kubur itu sebab mereka tetap berjaga-jaga di sana.
Teori kedua ialah teori yang dicetuskan oleh Kirsopp Lake. Ia mengatakan bahwa para wanita datang ke makam yang salah karena ada banyak makam yang mirip di Yerusalem. Mereka menemukan sebuah makam yang terbuka dan seorang muda yang menolak bahwa makam itu adalah makam Yesus. Wanita-wanita yang ketakutan itu secara salah menganggap bahwa orang muda tersebut ialah malaikat dan kemudian pergi.
Kelemahan:
- Teori ini melupakan bahwa wanita-wanita tersebut tidak mencari makam yang terbuka tapi makam yang dimeteraikan. Mereka tentunya akan melewati makam terbuka tersebut bila mereka tidak yakin akan lokasi yang tepat dari makam yang benar.
- Lagipula wanita-wanita tersebut telah mencatat lokasi makam itu 72 jam lebih awal.
- Demikianpun seorang pria yang mereka temui tidak hanya berkata “Dia tidak di sini” (salah makam) tetapi “Dia sudah bangkit.”
- Selain itu bila makam tersebut adalah makam yang salah, Yusuf Arimatea, para pasukan Romawi, dan orang-orang Yahudi yang mengetahui lokasi makam yang benar, dapat dengan mudah menentang berita kebangkitan dengan menunjukkan makam yang benar. Akan tetapi berita yang disiarkan bukanlah bahwa murid-murid datang ke makam yang salah, tapi bahwa mayat Yesus dicuri (Mat. 28:11-15).
Teori ketiga ialah teori yang berakar dari pemahaman sekte Gnostik bahwa kebangkitan Yesus bukanlah secara badani tapi secara rohani. Kisah kebangkitan Yesus tidak harus dimaknai harafiah tapi secara metaforis.
Kelemahan:
- Kelemahan teori ini ialah mengabaikan pemahaman orang Yahudi bahwa kebangkitan bukanlah bersifat rohani tapi badani dan catatan Injil bahwa Yesus dapat disentuh dan dipegang (Luk. 24:30, 39,-43; Yoh. 21:15).
- Lagipula, bila kebangkitan hanya bersifat rohani, bukankah orang-orang Yahudi dapat menunjukkan makam tempat tubuh Yesus yang masih terbaring?
Teori keempat ialah teori yang menganggap bahwa murid-murid Yesus yang secara emosional diliputi dengan pengaharapan mesianis dari Yesus berhalusinasi (menghayal) tentang Yesus yang bangkit.
Kelemahan:
- Keberatan terhadap teori ini ialah bahwa tidak mungkin ada lebih dari 500 orang yang berbeda, dengan situasi yang berbeda, dan dengan derajat komitmen dan derajat pengertian akan ajaran Yesus yang berbeda mengalami halusianasi secara bersama-sama.
- Selain itu, para murid sama sekali tidak mengharapkan kebangkitan Yesus (bnd. Thomas). Bagi mereka kematian Yesus nampak sebagai sebuah akhir dari perjuangan-Nya.
- Lagipula, bila mereka hanya berhalusianasi, bukankah otang-orang Yahudi dapat menyangkal dengan menunjukkan mayat Yesus?
Teori kelima merupakan Teori yang dipopulerkan oleh Hugh Scönfield. Scönfield berpendapat bahwa Yesus berencana untuk menggenapi nubuatan Perjanjian Lama tentang hamba yang menderita dan raja yang memerintah melalui kematian dan kebangkitan-Nya yang pura-pura. Yusuf Arimatea dan seorang pemuda yang misterius merupakan kaki tangan Yesus dalam rencana ini. Akan tetapi, skenario ini menjadi kacau ketika seorang tentara menombak lambung Yesus. Untuk menutupi kegagalan ini, pemuda misterius tersebut berperean menggantikan Yesus sebagai tuhan yang bangkit.
Kelemahan:
(1) Scönfield mengabaikan peran penjaga-penjaga yang berjaga-jaga di makam Yesus.
(2) Scönfield tidak memilki dasar yang kuat untuk mendukung argumennya tersebut.
(3) Kebangkitan yang demikian tentunya tidak akan membawa perubahan pada diri murid-murid yang jelas mengenal wajah Yesus.
(4) Sulit dimengerti mengapa Yesus harus menggenapi nubuatan tentang hamba yang menderita mengingat hal tersebut bertentangan dengan keyakinan mesianik pada waktu itu. Bila hanya bertujuan mendapat dukungan, harusnya Yesus cukup hanya menggenapi nubuatan tentang raja yang memerintah.
Dari semua ini terlihat bahwa penolakan terhadap kebangkitan Yesus merupakan penolakan yang tak beralasan, bahkan sejarah membuktikan bahwa peristiwa itu merupakan sebuah fakta sejarah yang tak terbantahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar