Richard Pratt Jr*
Teologi Reformed sering diasosiasikan dengan “teologi covenant”[1] (covenant theology). Jika Anda mendengarkan dengan seksama, Anda akan sering mendengar pendeta dan pengajar menggambarkan diri mereka sebagai “Reformed dan covenantal.” Istilah ‘”Reformed” dan “Covenant” digunakan bersama dengan begitu luas sehingga membuat kita memahami mengapa keduanya terkait.
Teologi Covenant merujuk kepada salah satu kepercayaan dasar yang Calvinis pegang mengenai Alkitab. Semua orang Protestan yang tetap setia kepada warisan menegaskan Sola Scriptura, kepercayaan bahwa Alkitab ialah otoritas yang tertinggi dan tidak terbantahkan. Bagaimanapun, teologi Covenant membedakan pandangan Reformed mengenai Kitab Suci dari pandangan kaum Protestan lain dengan menekankan bahwa covenant ilahi menyatukan pengajaran seluruh Alkitab.
Perkembangan awal dalam Reformed, pemahaman covenantal mengenai Kitab Suci mencapai puncaknya di Inggris pada abad ke tujuhbelas dengan Pengakuan Iman Westminster (1646), Deklarasi Savoy (1658), Pengakuan Baptis London di tahun 1689, dan setiap perwakilan kelompok yang berbeda dari Calvinis berbahasa Inggris. Dengan hanya sedikit sekali variasi di antara mereka, dokumen-dokumen ini masing-masing mencurahkan sebuah bab penuh tentang jalan covenant Allah dengan manusia, yang menyingkapkan kesatuan dari semua yang Alkitab ajarkan.
Sebagai contohnya, Pengakuan Iman Westminster berbicara mengenai kerendah hatian Allah untuk menyingkapkan diri-Nya kepada manusia dengan cara covenant. Ini kemudian membagi seluruh sejarah Alkitab hanya ke dalam dua covenant: “covenant kerja” (covenant of works) dalam Adam dan “covenant Anugerah” (covenant of grace) di dalam Kristus. Covenant kerja adalah rencana Allah dengan Adam dan Hawa sebelum mereka jatuh ke dalam dosa. Covenant anugerah mempengaruhi sisanya di dalam Alkitab. Dalam pandangan ini, semua tahap covenant anugerah adalah sama secara substansi. Mereka berbeda hanya karena Allah mengurs satu covenant anugerah-Nya di dalam Kristus dalam bermacam cara di sepanjang sejarah Alkitab.
Sepanjang garis yang sama ini sejumlah teolog Reformed yang lebih belakangan telah menegaskan kesatuan covenantal dari Kitab Suci dengan menghubungkan covenant biblikal tertentu dengan apa yang Perjanjian Baru sebut “Kerajaan Allah.” Yesus mengindikasikan kepentingan Kerajaan Allah dalam kata-kata pembuka Doa Bapa kami: “Bapa Kami yang ada di sorga, dikuduskanlah nama-Mu. Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Mat. 6:9-10). Kata-kata Yesus yang pertama menandakan bahwa yang tujuan terutama dari sejarah ialah kemuliaan dan hormat bagi Allah sendiri. Tetapi, kata-kata-Nya juga mengindikasikan bahwa Allah akan menerima kemuliaan ini melalui kedatangan Kerajaan-Nya di bumi sebagai terjadi di sorga. Tujuan Allah adalah selalu menerima pujian kekal dari setiap ciptaan dengan mendirikan Kerajaan-Nya yang mulia di bumi. Meminjam pujian yang sangat terkenal dalam Wahyu 11;15, di akhir sejarah “kerajaan dunia akan menjadi Kerajaan Allah kita dan Kristus-Nya (TB LAI: Dia yang diurap-Nya), dan Dia akan memerintah selama-lamanya.
Penemuan arkeologis belakangan telah menunjukkan bahwa bagaimana covenant Allah terkait dengan kerajaan-Nya di bumi. Dalam zaman Alkitab, banyak raja bangsa-bangsa mendukung Israel yang menjalankan ekspansi kerajaan mereka melalui persetujuan internasional. Sarjana Alkitab telah memperhatikan paralel yang luar biasa di antara persetujuan kuno ini dan covenant biblikal dengan Adam, Nuh, Abraham, Musa, Daud, dan Kristus. Kesamaan-kesamaan ini menandakan bahwa Kitab Suci menghadirkan covenant sebagai cara Allah mengatur ekspansi kerajaan-Nya di bumi.
Covenant alkitabiah menekankan apa yang diperlukan pada tahap khusus tentang Kerajaan Allah dengan melanjutkan prinsip-prinsip covenant sebelumnya. Allah mulai dengan Adam untuk menyingkapkan kerajanian-Nya sendiri, peran manusia, dan tujuan akhir yang Dia telah canangkan untuk dunia (Kej. 1-3). Prinsip-prinsip ini terus dibawa ke depan sebagaimana Allah menjanjikan kestabilan dalam alam untuk pelayanan manusia dalam covenant Nuh (Kej. 6, 9). Allah mempertinggi covenant-Nya sebelumnya dengan menjanjikan bahwa keturunan Abraham akan menjadi kerajaan yang besar dan menyebarkan berkat Allah kepada bangsa-bangsa lain (kej. 15, 17). Allah akan membangun di atas covenant ini dengan memberkati Israel dengan hukum-Nya di masa Musa (Kel. 19-24). Setiap covenant sebelumnya dibawa kepada ketinggian yang baru ketika Allah membangun dinasti Daud dan menjanjikan bahwa salah satu keturunannya akan memerintah dalam kebenaran atas Israel dan atas seluruh dunia (Mzm. 72; 89; 132). Semua covenant Perjanjian Lama kemudian dilanjutkan dan digenapi di dalam Kristus (Yer. 31:31; 2Kor. 1:19-20). Sebagai keturunan terbesar dari Daud, hidup, kematian, kebangkitan, kenaikan, dan kedatanganNya secara kekal menjamin perubahan seluruh dunia kepada Kerajaan Allah yang mulia.
Banyak orang Kristen Injili hari ini menemukan kesulitan untuk memercayai bahwa semua yang ada dalam Kitab Suci setelah Kejadian 3:15 mengenai Kerajaan Allah, dijalankan melalu penyingkapan sebuah covenant anugerah. Mayoritas orang Injili Amerika memandang Kitab Suci terbagi atas periode waktu yang dikuasai oleh prinsip-prinsip teologis yang berbeda secara substansial. Ketika orang Kristen mengikuti pendekatan populer ini, tidak lama sebelum mereka menjadi yakin bahwa covenant baru dari masa kita sebenarnya aneh dengan banyak aspek dari Perjanjian Lama.
Setidaknya tiga isu sering muncul ke depan: perbuatan (works) dan anugerah, iman kelompok (corporate) dan pribadi, dan perhatian spiritual dan duniawi. Pertama, banyak orang Injili memercayai bahwa penekanan Perjanjian Lama pada perbuatan baik tidak sesuai dengan keselamatan oleh anugerah melalui iman di dalam Kristus. Kedua, hubungan kelompok Israel dengan Allah sebagai sebuah komunitas nampak digantikan oleh sebuah fokus pada relasi pribadi seseorang dengan Allah. Ketiga, banyak orang Injili memercayai bahwa Perjanjian Lama ada untuk mendirikan kerajaan duniawi bagi Allah yang kontras dengan penekanan Perjanjian Baru pada kerajaan rohani di dalam Kristus.
Teologi Covenant telah memampukan teolog Reformed untuk melihat bahwa Perjanjian Baru sebenarnya cukup sama dengan Perjanjian Lama dalam tiga area ini. Pertama, dalam pandangan keselamatan oleh anugerah melalui iman di dalam Kristus adalah satu-satunya cara keselamatan alam kedua perjanjian. Seluruh Alkitab membicarakan perbuatan baik karena iman yang menyelamatkan selalu enghasilkan buah ketaatan kepada Allah. Kedua, teologi covenant menolong kita melihat bahwa kedua perjanjian berbicara tentang relasi pribadi dan kelompok dengan Allah. Semua covenant Allah berurusan dengan orang-orang pada kedua level tersebut. Ketiga, teologi covenant telah menunjukkan bahwa Kerajaan Allah selalu duniawi dan rohani. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berfokus pada pelayanan kita dalam dua dunia tersebut. Dalam satu dan lain cara, teologi covenant memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada komunitas Injili yang lebih luas. Di saat yang sama, ada keperluan yang bertumbuh untuk teologi covenant untuk dipertegas dengan kuat dalam lingkaran orang Reformed masa kini. Dalam dekade belakangan, banyak pembela teologi Reformed yang lebih baru telah mengabaikan teologi covenant.
Lagi dan lagi, kita menemukan bahwa teologi Reformed telah direduksi kepada apa yang kita sering sebut doktrin anugerah – kepercayaan familier seperti kerusakan total (total depravity), pemilihan tanpa syarat (unconditional election), penebusan terbatas (limited atonement), anugerah yang tidak bisa ditolak (irresistible grace), dan ketekunan orang-orang kudus (perseverance of the saints). Tentu saja, kita seharusnya menghargai kebenaran-kebenaran Kitab Suci ini, tetapi waktu kita gagal menekankan kerangka yang lebih luas yang teologi covenant berikan, pemahaman kita tentang Alkitab segera mulai kacau dalam tiga area yang sama.
Pertama, doktrin anugerah tanpa teologi covenant telah membawa beberapa orang memercayai bahwa teologi Reformed perhatian utamanya mengajarkan bahwa anugerah Allah menopang kehidupan orang Kristen dari permulaan hingga akhirnya. Tentu saja, ini benar. Tetapi, covenant kedua perjanjian secara konsisten mengajarkan bahwa Allah selalu memerlukan usaha penentuan dari umat-Nya sebagai respon kepada anugerah-Nya dan Dia akan membalas ketaatan dan menghukum ketidaktaatan.
Kedua, terpisah dari teologi covenant, banyak orang dalam lingkup kita terlihat berpikir bahwa teologi kita semuanya tentang menemukan keunikan cara Reformed bagi individu-individu untuk mengembangkan relasi mereka dengan Tuhan. Dalam zaman kita, sejumlah langkah menuju kesucian prbadi dan kesalehan telah diperlakukan sebagai ciri sentral dari teologi Reformed. Sepenting individu dalam Alkitab, teologi covenant menyoroti relasi bersama kita dengan Allah juga. Tidak ada covenant alkitabiah yang dibuat hanya dengan satu orang. Mereka juga meliputi relasi yang Allah bangun dengan sekelompok orang. Karena alasan ini, kedua perjanjian mengajarkan kita bahwa keluarga orang percaya ialah komunitas covenant dimana dalamnya kemurahan Allah disalurkan dari generasi ke generasi lain. Lebih lagi, gereja yang kelihatan di dalam kedua perjanjian ialah komunitas covenant dimana dalamnya kita menerima Injil dan perangkat umum dari anugerah.
Ketiga, doktrin anugerah dapat denga mudah memberi kesan bahwa teologi Reformed hanya terkait soal spiritual. Banyak orang dalam lingkup kita sangat memperhatikan perubahan batiniah melalui pemahaman Kitab Suci yang benar. Tetapi, kita sering mengabaikan efek sosial dan fisikal dari dosa dan keselamatan. Teologi covenant memberi kita sebuah visi yang lebih besar dan lebih memaksa tentang pengharapan kita sebagai orang Kristen. Dalam kedua perjanjian, orang-orang percaya memperluas Kerajaan Allah baik secara rohani maupun duniawi. Kita harus mengajarkan Injil Kristus kepada semua bangsa supaya orang-orang mungkin diubahkan secara rohani, tetapi pembaharuan spiritual ini demi perluasan ketuhanan Kristus dalam semua faset budaya di seluruh dunia.
Kesimpulan mengatakan bahwa teologi covenant memiliki lebih banyak hal untuk ditawarkan kepada setiap orang Kristen. Sehingga ketika kita bertanya pada diri kita sendiri, “apa itu teologi Reformed?” akan sangat berguna jika kita merespon, “teologi Reformed ialah teologi covenant.”
Catatan Akhir:
[*] Dr. Richard L. Pratt, Jr (Th.D, Harvard University) ialah salah seorang teolog Perjanjian Lama yang sangat brilian pada masa ini. Dia adalah salah satu anugerah Tuhan bagi kekristenan Injili masa kini. Ketelitan, logis, komprehensif, dan aplikatif adalah ciri-ciri pembahasannya. Dia telah menulis banyak buku yang sangat baik, beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Momentum maupun SAAT (Dirancang bagi Kemuliaan, judul asli Designed for Dignity; Menaklukkan Segala Pikiran kepada Kristus, judul asli Every Thought Captive; Dia Berikan Kisah-Nya, judul asli He Gave Us Stories). Artikel ini merupakan terjemahan dari tulisannya yang berjudul, “Reformed Theology is Covenant Theology,” yang dibaca di sini
Trans. Dr. Richard L. Pratt Jr (Th. D, Harvard University) is a one of the most briliant Old Testament theologians today. He is one of God’s gifts for Evangelical Christianity this day. Thorough, logic, comprehensive, and applicable are his main styles in writing. He has authored many very good books which some of them has been translated into Indonesian either by Momentum or SAAT (SEABS; South East Asia Bible Seminary: Dirancang bagi Kemuliaan for Designed for Dignity; Menaklukkan Segala Pikiran kepada Kristus for Every Thought Captive; Dia Berikan Kisah-Nya, for He Gave Us Stories). This article is translated from his writing entitled “Reformed Theology is Covenant Theology,” that could be read at here
[1] Secara umum, kata “covenant” biasanya diterjemahkan menjadi ‘perjanjian.” Akan tetapi, penerjemahan tersebut sebenarnya tidak terlalu tepat sebab kata “perjanjian” terlalu sempit untuk memuat makna yang dikandung kata “covenant.” Beberapa orang berusaha menransliterasikan kata “covenant” menjadi “kovenan,” namun tindakan ini sendiri tidak terlalu tepat karena kata tersebut bukan kata yang baku dalam bahasa Indonesia. Maka dari itu, mengingat tidak adanya padanan kata, saya tetap mempertahankan kata ini dalam bahasa Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar