Beberapa waktu lalu, kita orang Kristen baru saja merayakan salah satu hari besar kita, yakni hari Pentakosta. Meskipun gempitanya tidak semeriah Paskah apalagi Natal, tetapi bagi beberapa kalangan Kristen, terutama kalangan dimana saya lahir dan bertumbuh, hari Pentakosta merupakan hari raya yang sangat penting karena biasanya dalam masa-masa ini, meniru yang terjadi dalam Kisah Rasul, adalah waktu dimana mereka berpeluang besar menerima kepenuhan “Roh Kudus.” Ketika saya masih kecil, saya diajarkan bahwa dalam masa sepuluh hari sejak peringatan kenaikan Yesus sampai dengan hari Pentakosta, seorang Kristen yang saleh dan sungguh-sungguh akan memiliki kesempatan besar untuk menerima kepenuhan Roh Kudus, yang tanda utamanya ialah berbahasa lidah. Bukan hanya itu, masa itu juga merupakan masa potensial untuk merasakan anugerah, “jamahan,” dan mujizat Tuhan. Maka tidak heran bahwa pada masa sepuluh hari itu, dalam gereja kalangan tersebut, akan diadakan banyak KKR dan ibadah doa yang fokusnya mengejar hal-hal tersebut.
Benak saya kemudian mencoba beralih ke masa lalu, mengingat mengapa dulu saya diajarkan untuk mengejar hal-hal tersebut. Akhirnya, saya tersadar bahwa hal-hal tersebut merupakan standar utama bagi kalangan itu untuk menilai hidup kerohanian seseorang atau bahkan kehidupan gereja. Semakin banyak jemaat berbahasa lidah atau merasakan jamahan mujizat, wow, maka semakin sehatlah gereja itu. Hal ini nampaknya sudah menjadi sebuah konsensus di kalangan tersebut, sehingga tidak terelakkan lagi, bahwa gereja-gereja non aliran mereka, yang jemaatnya tidak berbahasa lidah atau dianggap “jarang” merasakan mujizat Tuhan (tentunya termasuk gereja yang saya layani saat ini, yang afiliasinya merupakan gereja Reformed-Tionghoa), maka gereja itu bukan gereja yang sehat. Gereja itu bukan gereja yang dijamah Roh Kudus, atau lebih buruk lagi, gereja itu bukan gereja yang punya Roh Kudus. Saya ingat bahwa stigma ini pun merupakan konsensus dalam kalangan tersebut, yang sewaktu kecil juga turut memenuhi konsep saya.
Tepat lima hari sebelum peringatan hari Pentakosta lalu, seorang pemuda saya menceritakan pengalamannya ketika bertemu dan berdiskusi dengan beberapa orang pemuda dari sebuah gereja dari kalangan tersebut (gereja yang terkenal suka memakai minyak, yang pendetanya sering pergi pulang ke sorga). Intinya, dia menceritakan bahwa orang-orang tersebut mengeluarkan sebuah statemen yang sinis bahwa gereja kami bukanlah gereja yang punya Roh Kudus. Bahkan gereja yang tidak percaya Allah Tritunggal, sebab tidak percaya Roh Kudus. Jadi, karena gereja kami tidak menerima berbahasa lidah dalam ibadah dan tidak mengutamakan mujizat, maka munculllah stempel atas gereja kami (dan tentunya juga gereja-gereja yang seazas dengan kami) bahwa kami adalah gereja yang salah. Pertanyaannya apakah memang benar hal-hal itu yang menjadi tanda gereja yang benar atau gereja yang memiliki Roh Kudus?
Menarik disimak, dalam nas tadi Tuhan Yesus memberitahu kita mengenai karya-karya yang dilakukan Roh Kudus di dalam dunia. Ada dua jenis karya yang dilakukan Roh Kudus yang dipaparkan Tuhan di sini, dimana salah satunya berguna untuk menguji apakah kita atau gereja kita merupakan gereja yang berjalan menurut pimpinan Roh Kudus. Dalam ayat 8-11, karya pertama yang dilakukan Roh Kudus adalah karya yang terkait dengan dunia secara umum. Dikatakan di sana bahwa Roh Kudus akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman. Kata “menginsafkan” di sini sebenarnya berarti meyakinkan tentang kesalahan mereka, dan ini terkait dengan 3 hal, yakni dosa, kebenaran dan penghakiman. Lalu apa maksudnya?
Menginsafkan akan dosa merujuk pada penolakan mereka terhadap Yesus: Roh Kudus lah yang akan menyatakan bahwa penolakan dunia terhadap Yesus sebagai utusan Allah ialah penolakan terhadap Allah yang mengutus-Nya, dan itu adalah dosa. Akan kebenaran sebab standar mereka mengenai kebenaran merupakan hal yang salah: mereka menganggap bahwa penolakan mereka terhadap Yesus adalah hal yang benar, padahal sebenarnya hal itu merupakan kesalahan. Dan mengenai penghakiman, sebab dosa dan standar yang salah itu akan membawa penghakiman terhadap mereka. Pernyataan Roh Kudus ini sendiri memang tidak selalu membawa pertobatan sebab dalam beberapa bagian lain karya Roh Kudus tidak selalu menyiratkan adanya pertobatan, malah pengerasan hati dan penghukuan (mis. Kis. 2:22-41; 7:51-57; 9:1-6; 1Kor. 14:24; 2Kor. 2:15, 16; Tt. 1:13). Makna yang diungkapkan nas ini ialah bahwa dalam karya pertama-Nya, Roh Kudus meyakinkan seseorang mengenai keberdosaannya dan konsekuensi yang harus mereka terima atas keberdosaan tersebut. Ide yang dikemukakan ialah pemisahan yang dilakukan oleh Roh Kudus. Karya Roh Kudus di satu sisi merupakan cara Allah memanggil orang-orang kepada pertobatan bagi mereka yang menerima-Nya, namun di sisi lain juga merupakan pemberitaan mengenai hukuman Allah bagi mereka yang menolak-Nya.
Setelah membawa pemisahan bagi dunia, fokus karya kedua yang dilakukan Roh Kudus sebagaimana dipaparkan Tuhan Yesus, menyempit pada orang-orang yang menerima-Nya, pada komunitas murid-murid Tuhan atau yang bisa kita bahasakan hari ini sebagai gereja. Ada dua hal yang dilakukan Roh Kudus dalam diri orang-orang percaya. Hal pertama yang dilakukan-Nya ialah “menuntun gereja kepada kebenaran” (ayat 13). Apakah kebenaran yang dimaksud di sini? Di dalam Injil Yohanes, kata “kebenaran” dalam mayoritas terkait dengan Tuhan Yesus (Mis. Yoh. 1:14, 17; 5:33; 8:32, 40, dsb). Bahkan dalam Yohanes 14:6, Tuhan Yesus mengatakan bahwa Ia sendirilah kebenaran. Ini berarti menuntun kepada kebenaran ialah karya Roh Kudus yang akan menuntun murid-murid Tuhan semakin dekat kepada Kristus dan karya-Nya. Konkritnya, Roh Kudus membantu para murid memahami dan menuliskan karya kematian, kebangkitan dan penyelamatan-Nya dengan baik (inspirasi), dan Roh Kudus juga yang menuntun kita untuk mengerti apa yang telah dituliskan supaya kita bisa memahaminya dengan benar (iluminasi). Di situlah Roh Kudus menuntun kita semua kepada kebenaran, kepada Yesus dan karya-Nya.
Ini berarti ukuran gereja maupun hidup kerohanian yang benar ialah dari seberapa banyak gereja atau hidup kita mencintai kebenaran Kristus. Sehebat apapun gereja namun ketika gereja tidak lagi mencintai kebenaran Kristus maka gereja itu bukan gereja yang sehat. Ketika gereja terus memberitakan tentang hal-hal yang menyenangkan dan nyaman namun tidak memberitakan tentang Kristus, gereja itu bukan gereja yang sehat. Ketika gereja mengejar hal yang lain dan bukannya firman Allah, maka gereja perlu berhati-hati melihat arahnya. Ketika gereja membuat jemaat mengejar hal yang lain selain Yesus, maka berdasarkan deskripsi Yesus, gereja itu bukan gereja yang dituntun oleh Roh Kudus.
Apakah yang menjadi prioritas dalam gereja Anda: Minyak urapan? Berkat? Nubuatan? Mujizat? Atau Firman Allah? Gereja ataupun seseorang yang dituntun oleh Roh Kudus seharusnya memiliki orientasi kepada kebenaran Kristus bukan karunia atau pemberian-Nya! Tugas gereja yang sehat ialah selalu memberitakan kebenaran Allah bukan hal-hal yang menyenangkan orang! Jadi, kesehatan gereja bukan diukur dari seberapa banyak jumlah jemaat atau jumlah orang yang berbahasa roh ataupun besarnya gedung tetapi dari seberapa kecintaan gereja terhadap kebenaran Kristus.
Tuhan Yesus lalu menjelaskan bahwa karya Roh Kudus kedua ialah "memuliakan Yesus” (ayat 14-15), dan karena itu juga, orang yang dipimpin oleh Roh Kudus seharusnya juga memuliakan Yesus. Sekitar abad kedua, ada seorang bapa gereja yang kemudian dicap sebagai bidat yang bernama Montanius. Dia adalah anak seorang imam yang merasa tidak puas dengan Kekristenan karena melulu berbicara soal Yesus tapi tidak pernah menyinggung soal Roh Kudus. Memang harus diakui bahwa selama empat abad pertama, gereja sedang bergumul dengan formula Trinitas dan keilahian Yesus, sehingga akibatnya, pada masa itu, gereja tidak terlalu banyak berbicara tentang Roh Kudus. Akibat ketimpangan ini, dia memberontak dan menyebut diri sebagai nabi Roh Kudus. Masalahnya, dia kemudian beralih dari satu ekstrim ke ekstrim lain, dari yang dia anggap mengabaikan “Roh Kudus” menjadi “mengabaikan Yesus.”
Bahkan caranya mendapat wahyu sangat bertentangan dengan firman Tuhan. Dikatakan bahwa ketika diurapi Roh Kudus, dia akan bernubuat layaknya orang kerasukan, tidak sadar. Prinsip ini jelas bertentangan dengan firman Tuhan. Paulus dalam Efesus 5:18 mengontraskan penuh Roh Kudus dengan mabuk oleh anggur. Ada dua hal yang dipertentangkan olehnya di sini. Penuh Roh Kudus jelas bukan seperti orang mabuk. Bila orang mabuk kehilangan kesadarannya, maka orang yang dijamah Roh Kudus tidak kehilangan kesadarannya. Ini juga bisa digunakan sebagai cara awal untuk menilai seseorang yang sedang “dijamah” Roh Kudus. Bila “jamahan” tersebut membuat seseorang ada dalam keadaan ekstase atau tidak sadar, maka itu jelas bukan jamahan Roh Kudus tapi kerasukan iblis. Beberapa waktu lalu saya melihat rekaman seorang pendeta terkenal di Amerika yang sedang mengalami “mabuk dalam Roh.” Nah, bila kita mau jujur terhadap firman, dengan yakin kita harus berani menyatakan peristiwa itu bukan karya Roh Kudus tapi karya roh lain. Satu prinsip penting yang harus diingat, Roh Kudus bekerja tidak pernah mengambil kesadaran seseorang. Hal kedua yang dipertentangkan oleh Paulus ialah hasilnya. Bila mabuk oleh anggur hanya menghasilkan perbuatan yang negatif (yakni menimbulkan hawa nafsu), tetapi orang yang dipenuhi harusnya menghasilkan perbuatan-perbuatan positif.
Berkaca dari kisah Montanius tadi, hari ini pun tren yang sama bisa kita temui dalam gereja-gereja tertentu: banyak berbicara tentang Roh Kudus dan karunia-Nya tapi jarang menyinggung tentang Yesus dan karya penyelamatan-Nya. Seorang pendeta bahkan secara ekstrim meletakkan sebuah kursi kosong di belakang mimbar yang tidak boleh diduduki oleh siapapun, sebab kursi itu diperuntukkannya khusus bagi Roh Kudus. Wow, saya lalu berkelakar dimana kursi untuk Bapa dan Yesus?!!
Masalahnya, Karya Roh Kudus yang sejati seharusnya tidak demikian, sebab tujuan dari karya Roh Kudus ialah memuliakan Tuhan Yesus. Roh Kudus tidak pernah bekerja terpisah dari Yesus, sebab fokus utama-Nya ialah membawa kemuliaan bagi Yesus. Ini juga harusnya menjadi perenungan bagi kita, apakah di dalam gereja kita Yesus dimuliakan? Gereja yang memiliki Roh Kudus maka gereja itu akan selalu memuliakan Yesus. Ketika yang diagungkan bukan Yesus, tapi hal-hal lain (entah program, orang kaya, uang, bahkan doktrin) maka gereja perlu memeriksa diri kembali. Saya agak terkejut bahwa beberapa waktu lalu ada sebuah gereja yang membanggakan dirinya di koran karena standar manajemennya diakui oleh ISO. Saya jadi berpikir mengapa gereja tersebut tidak dikenal karena Kristus tapi karena manajemennya? Saya juga sering bergurau dengan beberapa orang yang terlalu mendewakan pendetanya sehingga terasa kudus seperti Tuhan (seolah menghina Tuhan masih lebih bisa diampuni tinimbang menghina pendetanya) atau pun tentang hamba-hamba Tuhan yang takut menegur donatur gereja yang sedang hidup dalam dosa. Bila salah satu hal ini (saya berdoa tidak ada gereja yang mengalami semua hal ini) terjadi pada gereja kita, sebenarnya itu menunjukkan betapa tidak sehatnya gereja kita. Gereja yang sejati harus memuliakan Yesus dan juga mengajak jemaat memuliakan Yesus. Jadi, betapapun jemaat gereja kita rajin “berbahasa lidah” tapi ketika Yesus tidak dimuliakan, maka di hadapan Tuhan gereja itu menjadi gereja yang sakit.
Kedua karya Roh Kudus dalam gereja ini menunjukkan bagaimana kita menilai kesehatan suatu gereja, termasuk gereja kita sendiri. Apakah gereja kita berfokus pada kebenaran Yesus dan memuliakan Yesus? Apakah gereja kita menjadi gereja yang semakin berdasar dan bertindak sesuai firman Tuhan? Apakah yang disampaikan di mimbar dan terus direnungkan jemaat ialah firman? Atau hal-hal yang lain? Apakah gereja terus meninggikan Yesus dan rindu memuliakan Yesus dalam tiap segi kehidupan gereja?
Kedua hal ini juga mengingatkan kita bahwa gereja kita sangat membutuhkan Roh Kudus. Roh Kudus lah yang memampukan kita menuju kebenaran dan memuliakan Yesus. Kita hari ini tidak sedang hidup di tengah zaman yang mencintai kebenaran melainkan zaman yang mementingkan kesenangan dan kenyamanan. Masalahnya, kenyamanan dan kesenangan itu kini banyak dipakai oleh ajaran-ajaran sesat untuk menarik banyak orang masuk ke dalamnya. Saya rasa ini memang hal yang wajar. Kita tidak akan mau minum sebuah minuman bila ada label racun di bungkus minumannya. Tapi bila kita melihat susu, dan kita tidak tahu ada racun di dalamnya, tentu kita bersedia meminumnya. Sama seperti itu, kita akan langsung menolak bila mendengar nama-nama aliran yang sesat, namun bila kesesatan itu memakai jubah Kristiani yang baik dan menarik, bisa jadi kita malah bersahabat dengan kesesatan itu. Mungkin kita sedang hidup dekat dengan serigala yang memakai jubah domba!
Karena itu, di tengah zaman yang seperti ini, kita perlu bersandar pada Roh Kebenaran supaya kita peka terhadap racun-racun itu. Kita tidak akan pernah tahu mana uang yang asli, mana uang yang palsu, bila kita sibuk mengenali uang palsu. Tetapi bila kita belajar baik mengenali uang asli, maka ketika ada uang palsu, kita pasti langsung bisa mengenalinya. Demikianpun, mengetahui ajaran sesat bukan dengan jalan mengenali semua ajaran sesat (karena bisa jadi malah akan membuat kita skeptis terhadap semua hal, termasuk ajaran yang asli), tetapi dengan mengenali sungguh-sungguh ajaran yang benar. Tetapi bagaimana kita bisa mengenali ajaran yang benar? Satu-satunya cara, dengan berjalan bersama dengan firman Allah dan Roh Kebenaran, sebab hanya melalui keduanya kita bisa mengenali kebenaran, dan kita akan dibuat lebih peka ketika muncul sesuatu yang tidak benar di sekitar kita.
Roh Kudus bukanlah milik kalangan Kristen tertentu saja. Roh Kudus ialah Allah Orang Kristen, karena itu kita semua sebagai orang Kristen harus berjalan sesuai tuntunannya, sebab tanpa Roh Kudus kita tidak akan pernah mampu hidup dengan benar dan memuliakan Yesus. Amin.
Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil modifikasi dari kotbah yang saya sampaikan dalam Peringatan Hari Pentakosta di Kebaktian Umum 3 GKT Hosana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar