ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Rabu, 27 Juli 2011

ABBA 23

1.       Dalam Alkitab sering kita baca kata-kata sebagai berikut: Ahli-ahli Taurat, Imam-imam, Imam Kepala, Orang Farisi, Tua-tua bangsa Yahudi, Orang Saduki. Mohon penjelasan arti masing-masing sehubungan dengan konotasi jelek terhadap mereka menyerahkan Yesus di kayu salib. Bukankah masih ada ahli Taurat dan Orang Farisi lain yang berkenan kepada Tuhan?
Jawab:
Ada dua pertanyaan yang harus dijelaskan di sini. Pertama, soal identitas nama-nama tersebut. Kedua, soal kaitannya dengan Yesus atau Kekristenan mula-mula. Nama-nama yang ditanyakan tadi ialah jabatan-jabatan keagamaan dan sosial-politis yang ada dalam bangsa Yahudi pada masa Tuhan Yesus. Namun, kemunculan jabatan itu sendiri jauh sebelum Tuhan Yesus lahir.
Ahli-ahli Taurat merupakan ahli dan penafsir Perjanjian Lama. Penerjemahan “Ahli Taurat” sebenarnya merupakan penafsiran, sebab kata Yunaninya (grammateus) secara literal berarti penulis atau pencatat. Kata ini memang sering merujuk pada mereka yang sangat menguasai Taurat dan teologi Yahudi, namun kata ini juga bisa merujuk pada petugas pencatatan sipil biasa yang tidak berhubungan dengan Taurat/teologi (Kis 19:35). Menurut Misnah (tafsiran Yahudi terhadap Perjanjian Lama), tugas mereka ialah untuk memberikan penilaian, mendidik para murid dan membuat batasan pada Taurat. Sedangkan menurut tulisan Yahudi Kebijaksanaan Sirakh 38:24-39:11, tugas Ahli Taurat lebih luas lagi, yakni antara lain: (1) menafsirkan dan memelihara Taurat, termasuk tradisi lisan (Mar 7:5-8); (2) mengajarkan Taurat; (3) menjadi hakim dalam perkara hukum; (4) mengajarkan doktrin. Dalam hal ini mereka lebih fokus pada bagian doktrin dan bukan pada aspek legal; (5) menjaga kemurnian ajaran atau tradisi (Luk 11:52); (6) menyalin kitab suci.
Sementara para imam merupakan penerus jabatan iman dalam Perjanjian Lama yang diberikan kepada suku Lewi. Tugas mereka ialah membantu penyelenggaraan ibadah di bait Allah. Para imam biasanya dikumpulkan menjadi beberapa kelompok, dan tiap kelompoknya dipimpin Imam Kepala.
Tua-tua merupakan sebuah kelompok pemimpin bangsa Yahudi. Kelompok ini muncul sejak zaman Musa (Bnd. Kel. 3:16; 4:29; Yos. 24:1, 2), yang setelah bangsa Israel masuk ke Kanaan disebut dengan bermacam sebutan: Tua-tua Israel atau Tua-tua negeri (1Sam. 4:3; 1Raj. 20:7) atau Tua-tua suku (Ul. 31:28) atau Tua-tua Kota (Ul. 19:12, bnd. Ul. 16:18; Rut 4:9,11). Posisi ini terus ada pada masa hakim-hakim (Hak. 2:7), para raja (2 Sam. 17:4), pada masa pembuangan (Yer. 29:1), dan masa kembalinya dari pembuangan (Ezra 5:5). Pada masa Perjanjian Baru, beberapa sarjana menduga kelompok ini merupakan salah satu kelompok dimana anggota Sanhedrin (Mahkamah Agama) dipilih, sementara yang lain menganggapnya sama dengan Sanhedrin. Yang jelas, kelompok ini memiliki hubungan yang sangat dekat dengan imam kepala dan ahli-ahli Taurat (Mat. 16:21l 21:23; 26:59; Luk. 22:66)
Sementara Farisi kemungkian ialah sebuah golongan yang muncul sejak zaman inter-testamen (masa empat ratus tahun antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Kemungkinan mereka ialah penerus reformasi Taurat yang dimulai oleh Ezra. Pada masa itu nampaknya pengaruh mereka meliputi soal politis dan keagamaan, namun pada masa Herodes, orang Farisi tidak lagi berusaha memperoleh kekuasaan secara politis. Mereka menganggap pemerintah yang ada saat itu sebagai orang-orang Kafir. Pengaruh mereka lebih banyak terasa dalam masyarakat melalui ajaran dan praktik hidup mereka yang ketat menjaga Taurat. Menurut catatan sejarah, golongan ini tidak bersahabat dengan golongan Saduki, yang disebabkan oleh beberapa aspek, yakni aspek historis (saling berebut pengaruh penguasa pada jaman dinasti Hashmonean), aspek sosial (kedekatan golongan Saduki terhadap pemerintah kafir) maupun teologis (penerimaan otoritas kebenaran dan konsep tentang beberapa hal, bnd. Kis 23:7-9).
Tugas yang paling sulit ialah mendefinisikan golongan Saduki. Ini disebabkan terbatasnya sumber dari kalangan Saduki. Kebanyakan sumber justru berasal dari kelompok lain yang cenderung memandang golongan ini secara negatif. Dari sisi istilah, nama “Saduki” mungkin berasal dari nama imam Zadok (1Raj 1:32 dst; Yeh 40:45-46), keturunan imam yang dipercaya untuk meneruskan jabatan imam besar dari Harun dan menjalankan ibadah kurban di bait Allah. Dugaan ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa keanggotan Saduki didominasi oleh para imam. Kemungkinan lain, nama “Saduki” berasal dari bahasa Yunani sundikoi (pejabat/penguasa sipil). Dugaan ini didasarkan pada fakta bahwa keanggotaan Saduki juga mencakup beberapa orang yang memiliki kuasa politik dan harta yang melimpah di Yerusalem. Karakteristik utama mereka yang dicatat Alkitab ialah tidak percaya pada kebangkitan (beserta konsep penghakiman sesudah kematian) dan adanya malaikat (Mat 22:23; Kis 23:8). Karena sangat bermusuhan dengan orang Farisi, golongan ini menolak tradisi dan pengajaran orang Farisi.
Pertanyaannya sekarang, mengapa Alkitab terkesan menilai golongan-golongan tersebut secara negatif? Dari catatan kitab-kitab Injil golongan-golongan ini nampak memiliki reputasi yang sangat buruk. Gambaran ini akan berbeda apabila kita melihat dari tulisan Yahudi. Misalnya, catatan Yahudi yang ada dalam tulisan Josephus (sejarahwan Yahudi abad pertama) dan tulisan para rabi, yang  menggambarkan golongan Farisi secara positif. Walaupun hal ini ini mungkin disebabkan karena Josephus dan para rabi pada dasarnya adalah orang Farisi (atau paling tidak, mereka bersimpati terhadap ajaran Farisi), akan tetapi, “kesombongan” Paulus di Kisah Rasul 26:5, Filipi 3:4-6 dan Galatia 1:14 juga tampaknya menyiratkan sisi positif dari salah satu golongan (Farisi). Bagaimana kita mengharmonisasikan “perbedaan” ini?
Jawaban yang, menurut saya, paling tepat ialah dengan melihat adanya perbedaan perspektif. Yesus, sebagaimana yang dicatat oleh penulis Injil, yang melihat lebih jauh ke dalam hidup dan motivasi mereka, mengritik mereka karena legalisme dan motivasi mereka mereka yang salah (bnd. Mat. 23:1-36). Ia juga mengecam ajaran mereka yang tidak alkitabiah dan seringkali hanya berdasarkan pada tradisi (Mat. 5:20; 15:3). Kedua hal ini membuat mereka menjadi seorang yang berpikir dan bersikap sangat kaku dan dogmatis, sehingga ketika Yesus datang dan membawa konsep yang dianggap sebagai ancaman bagi ajaran yang mereka pegang dan ajarkan, mereka berusaha memusnahkan Yesus. Sikap hidup dogmatis ini menyebabkan mereka tidak dapat mengenali Sang Mesias yang mereka tunggu-tunggu, yang sebenarnya sudah ada di depan mata mereka.
Apakah Alkitab melukiskan semua golongan ini secara negatif? Ternyata tidak semua. Yesus nampak memuji sikap ibadah mereka dan menjadikannya sebagai sebuah standar pembanding (Mat. 5:20). Beberapa orang menganggap Gamaliel sebagai contoh orang Farisi yang positif (bnd. Kis. 5:34; 22:3). Beberapa orang Kristen bahkan menamai anaknya, Gamaliel! Akan tetapi, pengajuan Gamaliel ini nampaknya kurang berdasar, sebab catatan Lukas tidak secara eksplisit menyebut Gamaliel sebagai tokoh yang positif di mata Tuhan. Satu contoh yang sangat tepat tentang orang Farisi yang mendapat kesan positif ialah Nikodemus. Dalam Yohanes 3, Ia berani datang kepada Tuhan untuk berdiskusi. Dalam Yohanes 7:50-52, ia berusaha membela Tuhan Yesus. Dalam Yohanes 19:39, ia bahkan tidak lagi takut menunjukkan simpatinya (atau bahkan imannya?) kepada Yesus.

2.       Bagaimana menjelaskan Mat. 5:29? Bila ayat ini muncul dalam Perjanjian Lama mungkin masih bisa dipahami, tetapi mengapa ayat ini muncul dalam Perjanjian Baru, bahkan dalam ajaran Yesus sendiri? Bagaimana menjelaskannya pada orang yang bukan Kristen?
Jawab:
Nas ini merupakan sebuah nas yang cukup sering dipersoalkan dan disalapahami. Seperti sempat disinggung dalam beberapa pertanyaan yang lalu mengenai nas ini, seorang bapa gereja bernama Origen menafsirkan ayat ini secara literal dan mengebiri dirinya karena menganggap hal tersebut sebagai cara menanggulangi godaan yang Yesus ajarkan. Akan tetapi, tentu bukan hak demikian yang Tuhan Yesus dimaksud. Sebab bila demikian, maka semua orang Kristen (bahkan semua manusia) akan menjadi orang cacat, tidak akan memiliki mata, tangan maupun kaki. Sebab siapakah yang tidak pernah berdosa dengan mata, tangan atau kakinya? Paulus, mengutip Mazmur, dengan jelas menyatakan bahwa:

"Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.
Tidak ada seorangpun yang berakal budi,
tidak ada seorangpun yang mencari Allah.
Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna,
tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.
Kerongkongan mereka seperti kubur yang ternganga,
lidah mereka merayu-rayu,
bibir mereka mengandung bisa.
Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah,
kaki mereka cepat untuk menumpahkan darah.
Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka,
dan jalan damai tidak mereka kenal;
rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu." (Roma 3:10-18)

Lalu apakah maksud ungkapan tersebut? Ungkapan tersebut harus dipahami sesuai dengan gaya bahasa (majas) yang digunakan. Majas yang digunakan oleh Yesus di sini disebut sebagai majas hiperbola, yaitu melebih-lebihkan pernyataan untuk menekankan sesuatu hal. Ini sama dengan ketika seorang pria merayu kekasihnya, “aku rela mati demi mendapatkanmu.” Apakah pernyataan tersebut harus dipahami literal, dalam artian pria tersebut akan mati demi kekasihnya? Tentu tidak. Bila dipahami literal, maka pengorbanannya menjadi tidak berguna sebab ia tidak bisa menikmati cintanya dengan wanita tersebut. Ungkapan tersebut hanya bertujuan menunjukkan dalamnya cinta si pria pada kekasihnya. Ini juga sama seperti ketika seseorang mengumpat orang lain, “Dasar, serigala tua!” Apakah itu berarti bahwa orang tersebut adalah serigala? Tentu tidak. Itu hanya bertujuan menunjukkan kejamnya orang tersebut.
Demikian pula, dalam kasus Mat. 5:29-30, Yesus tidak bermaksud secara literal bahwa semua orang harus mencungkil mata dan memotong kakinya. Melainkan, nas ini bermaksud bahwa kekudusan hidup harus mencakup keseluruhan diri kita, baik pikiran (ay. 27-28) maupun bagian-bagian tubuh kita. Dan ketika salah satu bagian tubuh kita menjadi jalan masuknya dosa, maka kita harus segera mengatasinya (bahasa Yesus, “memotongnya”) sehingga bagian tubuh tersebut tidak lagi menjadi sumber dan penyebab kita jatuh dalam dosa. Jadi penanganan dosa bukan pada akibatnya, tapi akar masalahnya.

3.       Apakah memang demikian kebenaran Doa dan Puasa lebih besar kuasanya. Mat. 17:21. Bandingkan dengan Matius 18:19-20 dan 21:22.
Jawab:
Nas Matius 17:21 ini sebenarnya bukan bagian dari naskah asli Matius, sebab ayat ini tidak muncul dalam salinan Alkitab yang lebih tua usianya. Nas ini nampaknya merupakan tambahan yang disesuaikan dengan Markus 9:29. Masalahnya lagi, kata “dan puasa” dalam Markus 9:29 tersebut nampaknya juga merupakan tambahan, sebab kata tersebut juga tidak muncul dalam naskah yang lebih tua. Secara konteks tambahan ini juga terlihat kurang sesuai dengan konteks. Bagaimana mungkin murid-murid yang tiba-tiba harus mengusir setan bisa memiliki kesempatan untuk berpuasa lebih dahulu? Penambahan ini kemungkinan dilakukan oleh penyalin pada masa yang kemudian karena gereja pada tersebut memiliki penekanan pada puasa.
Lalu apakah puasa menjadi tidak berarti? Apakah Alkitab tidak mengajarkan kita berpuasa? Tidak. Ajaran tentang puasa tidak hanya diajarkan oleh satu ayat saja. Yesus sendiri menjadi contoh, bahwa Ia berpuasa (Mat. 4:2; Luk. 4:2). Mrk. 2:20 juga nampaknya menggambarkan bahwa kelak akan ada masanya murid-murid Tuhan berpuasa. Apalagi di dalam Perjanjian Lama, ada banyak nas yang berbicara soal puasa. Akan tetapi, puasa dalam kekristenan bukanlah puasa untuk “menambah ilmu” atau menyiksa diri demi menghapus dosa. Puasa merupakan cara kita mengingat bahwa kita lemah dan karena itu harus bersandar pada Tuhan. Bila tanpa makan saja kita tidak bisa hidup, lebih lagi tanpa Tuhan. Puasa juga menandakan kesungguhan kita dalam memohon kepada Tuhan: kita bukan hanya meminta tetapi, dengan berpuasa, juga mengambil lebih banyak waktu dan upaya untuk memohon pada Tuhan. Puasa tidak akan mengubah kehendak Allah, sebab puasa berkorelasi dengan kita bukan dengan Allah. Sehingga, yang paling penting dalam puasa bukanlah seberapa hebat usaha kita, namun seberapa kuat tangan ilahi yang menopang kita.

4.       Dalam Matius 20:29, dikatakan bahwa Yesus menyembuhkan dua orang buta ketika keluar dari Yerikho, dalam Markus 10:46 dikatakan hanya seorang (Bartimeus) ketika keluar dari Yerikho, sedangkan dalam Lukas 18:35 dikatakan seorang buta ketika hampir tiba di Yerikho. Manakah yang benar? Dua atau satu orang? Di jalan menuju atau keluar dari Yerikho?
Jawab:
Ada dua hal yang perlu dijelaskan di sini, yakni mengenai jumlah orang yang disembuhkan dan lokasi penyembuhannya. Mengenai jumlah orang, memang kemungkinan besar jumlah orang yang disembuhkan ialah dua orang seperti yang dikisahkan Matius. Lalu mengapa Markus dan Lukas hanya mencatat seorang saja? Kemungkinan besar karena memang mereka ingin berfokus pada satu orang saja. Hal ini bukan hal yang aneh atau perlu ditakutkan, sebab semua orang pasti menulis dan bercerita sesuai dengan sudut pandang, seleksi dan tujuannya. Contoh pembanding sederhananya begini, ketika ditanya siapakah pengkotbah ibadah pertama di GKT Hosana, maka akan ada dua jawaban yang muncul. Ada yang menyebut nama pembicara saja atau pembicara dan penerjemah. Mana yang benar? Dua-duanya benar, hanya penjawab memiliki sudut pandang yang berbeda. Demikianpun dalam kasus penyembuhan orang buta ini. Matius memilih berfokus pada kedua orang, sementara Markus dan Lukas merasa cukup berfokus hanya pada satu orang saja. Terlebih dalam kasus Markus, nampaknya ia mengenal dengan baik salah satu orang yang disembuhkan itu, sehingga ia mengetahui bahwa namanya ialah Bartimeus.
Lalu dimanakah lokasi penyembuhannya? Beragam jawaban telah dberikan untuk menjawab hal ini. Salah satu jawaban yang cukup disukai ialah yang dikemukakan oleh John Calvin, yang menganggap bahwa orang tersebut mulai meminta saat Yesus masuk ke Yerikho tetapi Yesus baru menyembuhkannya saat Ia keluar dari Yerikho untuk menguji imannya. Saya sendiri tidak terlalu sependapat dengan argumen Calvin, walaupun mungkin memang ada kemungkinan seperti itu. Jawaban yang, menurut saya, lebih masuk akal ialah dengan melihat adanya overlapping lokasi. Seorang sejarahwan Yahudi abad pertama, bernama Josephus mencatat bahwa ternyata ada dua kota Yerikho, yakni Yerikho lama dan Yerikho baru (lihat Jos. War IV, 459 [viii. 3]). Adanya overlap kota ini memang bukan hal yang aneh, karena memang menurut catatan sejarah ada banyak kota yang memiliki kota lama dan kota baru. Kemungkinan Yesus menyembuhkan orang tersebut di tengah kedua kota tersebut, sehingga Ia bisa dikatakan keluar dari Yerikho (lama) atau masuk ke Yerikho (baru).

5.       Dalam kisah kebangkitan Yesus di Mat. 28, dikatakan para wanita melihat seorang malaikat, dalam Mrk. 16:5 dikatakan seorang muda berjubah putih, sedang dalam Lukas 24:4 ada dua orang memakai pakaian berkilau-kilauan. Mana yang benar?
Jawab:
Kedua kisah ini sebenarnya sama sekali tidak bertentangan. Ungkapan “berjubah putih” dan “berpakaian berkilau-kilauan” merupakan ungkapan yang berbeda untuk merujuk pada hal yang sama, yakni malaikat. Lalu mengenai jumlahnya, baik Matius maupun Markus memang mencatat hanya seorang tetapi mereka tidak mengatakan bahwa hanya ada seorang saja. Para sarjana Alkitab meyakini bahwa kemungkinan memang ada dua orang malaikat tetapi tetapi baik Matius dan Markus berfokus hanya pada seorang malaikat saja, yakni yang berbicara kepada para murid. Seorang sarjana Perjanjian Baru yang ternama, Darrel Bock, mengatakan bahwa bahwa Lukas menampilkan dua malaikat untuk mencerminkan motif sah dua saksi (bnd. Ul. 19:15). Dia juga menambahkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan untuk mempertanyakan historisitas laporan Injil, sebab kisah-kisah tersebut tidak bertentangan tetapi saling melengkapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar