Sewaktu saya baru memasuki masa studi SMA, oleh cece saya, saya diberi sebuah buku berjudul “Wahyu Tuhan Yesus tentang Neraka.” Buku tersebut menceritakan bagaimana kisah perjalanan rohani penulisnya (rohnya, yang katanya, diangkat oleh Tuhan) bersama dengan Tuhan di neraka. Penulis buku itu menceritakan bagaimana Tuhan Yesus menunjukkan neraka, yang menurut dia, bentuknya seperti manusia, memiliki ruangan-ruangan yang merupakan kepala, badan, kaki atau tangan neraka.
Di sana, ia melihat bagaimana iblis menyiksa para pendosa dan menyuruh mereka untuk semakin berdosa. Banyak penghuni neraka itu yang tersiksa karena siksaan tersebut. Menariknya, banyak pula yang ketika melihat Tuhan Yesus berteriak-teriak meminta pertolongan. Namun, ketika Tuhan diam dan hanya melewati mereka, orang-orang yang tadinya memohon pertolongan itu malah berbalik menghujat dan memaki-maki Tuhan.
Semakin mengejutkan karena di akhir buku itu, penulisnya menulis bahwa Tuhan berpesan kepadanya bahwa ia harus menceritakan kisah perjalanannya tersebut, beserta bermacam siksaan yang mengerikan yang telah dilihatnya itu, sebab Tuhan merasa sedih melihat semakin banyaknya umat manusia yang lebih memilih masuk dalam neraka. Gambaran ini mengejutkan sebab Tuhan ditampilkan sebagai sosok yang kepayahan dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah semakin banyaknya manusia yang memilih neraka. Tanpa disadari, wahyu Tuhan juga ditampilkan sebagai sesuatu yang tidak cukup, sehingga Tuhan harus menambahkan wahyu yang baru. Ini jelas sangat berbeda dengan gambaran yang kita dapati dalam Kisah Lazarus dan Orang Kaya dalam Lukas 16:19-31.
Tidak lama setelah itu, sebuah gereja di Surabaya mengedarkan sebuah buklet yang mengisahkan hal yang hampir sama, perjalanan rohani pendetanya (atau lebih tepatnya, pendeta mudanya) di neraka. Hampir mirip dengan buku sebelumnya, neraka digambarkan sebagai tempat dimana iblis menyiksa para manusia yang menghuni neraka. Bedanya, kalau dalam buku sebelumnya bentuk neraka digambarkan seperti tubuh manusia, maka di dalam buklet ini, neraka digambarkan seperti sebuah lorong yang bercabang-cabang, yang terdapat banyak mangkuk-mangkuk besar berisi manusia yang sedang disiksa iblis dengan api dan senjatanya. Ketika saya (dan beberapa orang yang saya minta ikut membaca) membaca buku dan buklet tersebut reaksi yang terjadi ialah rasa takut: takut masuk neraka.
Ketika saya menyelesaikan studi teologi, saya tertarik untuk mengkaji buku dan buklet tersebut. Ada beberapa hal menarik yang saya temukan selama pembelajaran ini. Pertama-tama, buku dan buklet tersebut sebenarnya bersifat pengalaman subyektif yang tidak bisa diuji, sehingga tidak bisa menjadi patokan doktrinal. Tidak ada seorangpun yang tahu apakah keduanya memang benar-benar ke neraka? Apakah keduanya memang benar-benar mendapat penglihatan atau benar-benar diangkat rohnya? Ataukah mereka hanya sekedar berhalusinasi? Tidak ada yang bisa melegitimasi kisah ini selain mereka sendiri. Karena itu, kisah-kisah tadi tidak bisa dijadikan patokan bagi kita untuk memahami neraka.
Terlebih bila kita menerapkan hukum koherensi (kesejalanan) pada kedua kisah tadi, maka implikasinya salah satu atau bahkan keduanya bisa jadi salah. Misalnya, kedua kisah tadi tidak sepakat mengenai bentuk neraka: apakah sebuah lorong yang bercabang-cabang dengan mangkok-mangkok penyiksa ataukah seperti bentuk tubuh manusia yang terdiri dari beberapa bagian saja. Tidak mungkin kedua deskripsi itu benar sebab paparannya jelas sangat berbeda. Bisa jadi salah satu paparan yang salah atau bahkan keduanya salah.
Bagi saya sendiri, yang bernaung dalam tradisi teologi Reformasi, sarana yang tepat dalam memahami dan membangun bangunan doktrinal ialah Kitab Suci. Terlepas dari perbedaan para sarjana memandang otoritas Kitab Suci, namun sepertinya mereka tetap sepakat bahwa sebaiknya ada sebuah landasan bersama untuk memulai diskusi doktrinal. Bila tidak, maka yang terjadi hanya pertentangan dua kubu tanpa ada usaha mencari titik temu. Bagi saya, landasan yang tepat untuk memulai ialah Kitab Suci.
Lalu bagaimanakah Kitab Suci menceritakan neraka? Atau mungkin lebih menarik lagi, bagaimanakah Kitab Suci menilai kisah-kisah yang termaktub dalam buku maupun buklet tersebut? Ada beberapa hal yang bisa saya ringkaskan di sini. Pertama, kisah-kisah ini memberi deskripsi yang terlalu berani (menurut saya) mengenai bentuk neraka. Kitab Suci tidak terlalu banyak berbicara mengenai bentuk neraka. Di beberapa bagian dalam Kitab wahyu, Kitab Suci menyebutnya sebagai “Lautan Api” (Why. 19:20; 20:10, 14, 15; 21:8), namun mengingat natur apokaliptik Kitab Wahyu, yang bertaut erat dengan gaya bahasa simbolisme, sulit dipastikan apakah neraka memang benar-benar berbentuk lautan api.
Kedua, paparan yang disampaikan kisah-kisah tadi mengenai neraka sangat bertolak belakang dengan data Kitab Suci mengenai neraka. Hal ini terlihat antara lain mengenai peranan iblis di neraka. Dalam kisah-kisah tadi digambarkan bahwa iblis adalah penguasa nereka yang bertugas menyiksa manusia-manusia yang menghuni neraka. Paparan ini jelas sangat bertolak belakang dengan catatan Alkitab bahwa di dalam neraka iblis pun turut “disiksa” bukan malah “menyiksa.” Secara ringkas, Kitab Suci mencatat bahwa yang disiksa di dalam neraka ialah iblis dan para pengikutnya (lihat misalnya 2Pet. 2:4; Why. 19:20; 20:10, 14; 21:8). Sehingga jelas neraka bukanlah teritori (daerah kekuasaan) iblis melainkan justru tempat iblis mengalami siksaan terberat.
Selain itu, gambaran iblis yang sudah ada di neraka merupakan gambaran yang anakronistik (tidak sesuai dengan konteks waktu yang ada). Buklet maupun buku tersebut mengisahkan bahwa saat ini iblis sudah berada di neraka. Menariknya, catatan Alkitab justru menyebutkan hal yang berbeda, bahwa saat ini iblis belum ada di neraka. Iblis baru dilemparkan ke dalam neraka pada masa akhir nanti ketika Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya secara sempurna. Ini terlihat dari nuansa futuris dalam Wahyu 19 dan 20.
Ketiga, natur yang menyeramkan dari neraka sebenarnya bukan semata oleh siksaan dan apinya yang kekal melainkan karena keadaannya yang benar-benar terpisah dari Allah. Neraka menjadi menakutkan terutama karena di dalam neraka, Allah yang Mahahadir (sehingga tentunya Ia juga pasti ada di neraka) tidak mau memiliki relasi dengan para penghuni neraka. Keterpisahan dengan Allah inilah yang menjadikan neraka menjadi siksaan terberat yang pernah ada.
Keempat, beberapa orang membela keberadaan buku dan buklet ini sebab mereka melihat cukup banyak orang yang “bertobat” karena kesaksian dalam buku dan buklet tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa buklet dan buku itu membuat cukup banyak orang menjadi takut dan lantas menjadi “lebih rohani” untuk sementara waktu karena mereka takut masuk neraka. Namun, tipe pertobatan demikian ialah pertobatan yang semu dan palsu. Seorang teolog Perancis pernah menyebut bahwa orang Kristen yang demikian ialah orang Kristen yang paling picik dan menjijikkan sebab mereka sebenarnya hanya menjadikan Yesus sebagai batu pijakan untuk menghindari neraka. Konsep pertobatan artifisal (semu/palsu/dibuat-buat) demikian tentu bukan pertobatan yang Tuhan inginkan. Pertobatan yang Tuhan inginkan ialah ketika seseorang merasa keberdosaan dirinya dan Ia menyadari bahwa Ia membutuhkan sesosok Juruselamat sejati yang hanya Ia temukan di dalam diri Yesus Kristus, bukankarena takut masuk neraka.
Saat ini pilihan ada di tangan kita, manakah yang kita pilih: mendasarkan pemahaman pada buku dan buklet tadi atau pada Kitab Suci. Bila memang Kitab Suci menjadi landasan kita maka kita harus berani mengatakan bahwa buku dan buklet tersebut tidak secara total mengandung kebenaran. Buku dan buklet itu hanya benar dalam satu hal esensial: bahwa neraka itu ada, namun lebih dari itu tidak. Bagi saya tidak akan ada yang berubah bila buku dan buklet tersebut salah, toh para penulisnya tidak menulis dengan ilham Roh Kudus. Mereka hanyalah manusia yang menulis dalam kemanusiaan mereka sehingga dalam beberapa bagian tentu memiliki peluang kesalahan yang besar. Akan tetapi, bila yang menjadi patokan justru penulis tersebut atau bahkan pengalaman, maka Anda bisa menghiraukan tulisan ini sebab toh bagaimanapun saya menjelaskan sumber kebenaran bukan ada pada Kitab Suci melainkan pada pribadi tertentu. Sekali lagi, pilihan ada pada Anda, saya hanya bisa berdoa semoga Bapa yang penuh dengan sejahtera, Sumber segala Kebenaran itu menuntun Anda menemukan kebenaran yang benar-benar benar. Salam. Tuhan Yesus Memberkati.
Bezaleel Stefanus Kristianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar