1. Tanya:
Menanggapi jawaban yang ke 15, yaitu “Allah sudah tidak lagi berbicara langsung.” Mengapa? Bukankah Allah kita adalah Allah yang tidak berubah. Dia Allah yang tetap sama. Mengapa sekarang koq berubah, tidak lagi mau bicara lagi? Bukankah seharusnya kita introspeksi diri karena tidak peka terhadap suara Tuhan?
Jawab:
Saya senang sekali melihat bahwa jemaat sudah bisa berpikir lebih kritis. Memang ada aliran teologi tertentu yang mempercayai bahwa hingga kini Tuhan masih berbicara secara langsung (audibel) kepada manusia. Namun, pandangan ini jelas bukanlah pandangan yang alkitabiah. Tidak ada argumen alkitabiah yang mendukung kepercayaan ini selain argumen yang subjektif dari pengalaman orang-orang tertentu. Dan pengalaman seseorang tentu tidak bisa dan tidak boleh dijadikan dasar sebuah pemahaman doktrinal.
Menanggapi pertanyaan ini sendiri, ada beberapa hal yang bisa dipertimbangkan: Pertama, ketidakberubahan Allah harus dimengerti dalam hal sifat, rencana dan tujuan-Nya. Dari dulu sampai selamanya Ia tetap Allah yang Mahakuasa, Mahatahu, Mahakudus, Mahasuci, dsb. Ia juga memiliki rancangan yang tetap untuk menyelamatkan orang-orang pilihan. Namun, Ia dinamis dalam hal cara mewujudkan rencana dan tujuan-Nya yang tidak berubah itu di tiap-tiap zaman. Adakalanya Ia memakai peternak, nelayan, raja, ataupaun cendekiawan untuk mewujudkan rencana tersebut. Puncak dari cara kerja ini nantinya ialah ketika Allah berbicara melalui Yesus sendiri dan juga Alkitab, sehingga manusia bisa mengenal Allah dengan lebih benar.
Kedua, Tuhan sebenarnya tetap berfirman kepada kita namun dalam artian iluminatif, yakni menjelaskan apa yang sudah Ia nyatakan dalam Alkitab. Ia juga tetap berfirman dalam artian edifikatif, yakni membangun seseorang melalui penyampaian firman yang benar ataupun mengingatkan seseorang mengenai kebenaran firman melalui suara hatinya. Namun, Ia tidak berfirman lagi dalam artian firman yang audibel (bisa didengar langsung) atau yang menjadi wahyu seperti halnya Alkitab. Sejak jaman para rasul berhenti, kita yakin bahwa firman Allah yang menjadi wahyu sudah berhenti, sebab tidak satupun hal yang bisa mengesahkan otoritas kita sebagai penerima wahyu. Kita bahkan perlu belajar dari murid-murid para rasul. Mereka memiliki secercah otoritas rasuli karena mereka mempunyai akses langsung kepada para rasul, namun tidak ada dari mereka yang menganggap tulisan atau mimpi mereka sebagai wahyu Allah.
Ketiga, bila Ia masih harus berfirman langsung, maka akan timbul banyak konsekuensi yang buruk. Ini berarti Yesus bukan akhir dari wahyu Allah sebab Allah masih harus menambahkan hal-hal lain lagi. Ini juga berarti Alkitab berkurang kadar kegenapannya sebagai firman Allah yang bisa menjangkau semua segi hidup, sebab Allah masih harus menambahkan firman-firman lain untuk melengkapinya. Lagipula, seperti yang sudah dijelaskan, tujuan Allah berfirman secara langsung ialah supaya manusia bisa mengenal-Nya dengan benar. Bila Ia sudah memberikan puncak pewahyuan, namun Ia masih harus menambahkan wahyu-wahyu lain lagi, justru Ia akan menjadi Allah yang berubah (plin-plan), dan ini jelas bukan gambaran Allah yang benar.
2. Tanya:
Dalam Kel. 33:23 dikatakan “engkau akan melihat belakangku, tetapi wajahku tidak akan kelihatan.” Tetapi sebelumnya Musa dapat berbicara muka dengan muka dengan Tuhan seperti teman?
Jawab:
Kedua ungkapan ini sebenarnya tidak bisa dimaknai literal. Ungkapan Musa bertatap muka dengan muka dengan Tuhan sebenarnya menunjukkan sebuah hubungan yang begitu dekat dengan Tuhan. Ini diperjelas dengan pernyataan seperti “seorang berbicara dengan temannya.” Demikian pun, ungkapan “belakang Tuhan” yang menunjukkan sisa-sisa kemuliaan dari kehadiran-Nya yang begitu luar biasa. Bila kedua ungkapan ini dimaknai literal, maka kita akan menemui kesulitan dari hakikat Tuhan. Allah itu roh (Yoh. 4:24a), jadi bagaimana mungkin Ia bisa memiliki muka atau wajah dalam pengertian seperti yang kita miliki? Ini jelas mengindikasikan bahwa ayat-ayat ini tidak bisa ditafsirkan literal.
3. Tanya:
Tolong dijelaskan arti Keluaran 35:1-3 tentang sabat karena pada kenyataannya banyak orang Kristen yang melakukan aktivitas di hari sabat?
Jawab:
Tuhan memberi sabat sebenarnya bukan untuk menjadi seperti hari raya Nyepi bagi umat Hindu. Pemberian sabat sebenarnya justru untuk memanusiakan kita. Sabat pertama kali diberikan kepada bangsa Israel, yang selama 430 tahun menjadi budak di Mesir. Keadaan menjadi budak itu menyebabkan tiada hari bagi mereka tanpa bekerja. Setiap hari adalah hari bekerja bagi mereka, sebab tidak ada kata libur bagi seorang budak. Namun, melalui pemberian sabat, Tuhan ingin mengingatkan bangsa Israel, dan tentunya juga kita, bahwa kita bukanlah budak. Kita bukan orang-orang yang diperhamba oleh orang lain atau pekerjaan kita. kita adalah manusia yang seharusnya bisa mengatur itu semua. Dalam beberapa bagian, sabat juga dikaitkan dengan hari perhentian Tuhan dan untuk Tuhan. Ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk menjalin relasi dengan Tuhan dan bahwa manusia bukanlah mesin yang bisa bekerja non-stop, sehingga membutuhkan waktu untuk beristirahat
4. Tanya :
Apa maksud dari kitab Keluaran 21-30 dan apa peraturan-peraturannya masih berlaku sampai sekarang atau hanya berlaku pada jaman Musa? Hanya Keluaran 23:8 yang sepertinya masih berlaku sampai sekarang. Mohon penjelasan?
Jawab:
Ketika menilai perintah-perintah Tuhan, kita harus melihat bahwa sebenarnya ada dua aspek yang terkandung di dalamnya, yakni aspek kultural dan aspek spiritual. Nilai kultural ialah nilai yang muncul karena keadaan budaya atau situasi budaya pada waktu itu. Sementara, nilai spiritual ialah kebenaran kekal yang menjadi inti dari perintah atau sesuatu yang sedang disampaikan. Ada kalanya kedua nilai ini menyatu. Namun, sering juga kedua nilai ini harus kita pisahkan, karena nilai kultural hanya menjadi sarana kita memahami kebenaran kekal yang disampaikan. Dalam kasus Keluaran 21-30, kedua nilai dari sebagian besar hukum yang ada memang harus kita pisahkan karena hukum itu lahir dari konteks budaya waktu itu. Ini dilakukan supaya kita bisa melihat nilai rohani yang terkandung di dalamnya. Contohnya, hukum tentang budak (Kel. 21:1-11) tentu tidak lagi berlaku bagi kita sebab kita tidak lagi hidup di jaman perbudakan. Namun, inti pelajaran dalam hukum itu tetap berlaku hingga sekarang, yakni bahwa Tuhan begitu menghargai setiap manusia, bahkan manusia yang paling hina sekalipun (budak). Karena itu, kita pun seharusnya juga menghargai setiap manusia sebagaimana Tuhan juga menghargai mereka, entah siapapun dan bagaimanapun mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar