Teologi ialah bentuk usaha manusia untuk mengenal Allah. Tiap orang pasti memiliki pijakan untuk memulainya. Dalam teologi Kristen hal ini harus dimulai dari Allah, sebab tanpa insiatif Allah tidak mungkin manusia bisa mengenal Allah dengan benar. Karena berbicara tentang pencipta alam semesta, maka teologi tentu bukanlah sebuah disiplin ilmu yang biasa-biasa.
Pada abad pertengahan, teologi merupakan “the queen of sciene” atau ratu ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan tingginya nilai teologi pada masa itu. Seseorang tidak bisa mengambil kuliah teologi bila ia tidak mempunyai dasar ilmu yang lain. Seolah terisrat bahwa teologi merupakan sebuah ilmu yang begitu ekslusif. Hanya orang-orang dengan kapasitas tertentu yang layak untuk mempelajarinya.
Namun, Sejalan dengan waktu, karena sebuah insiden gereja dengan Galileo Galilei dan Nikolaus Copernikus, nilai teologi menjadi jatuh. Sebuah interpretasi yang tidak bertanggung jawab dari para rabi waktu itu membuat banyak orang mulai sinis dengan ilmu ini. Tentu pertanyaan yang langsung menyeruak di benak kita ialah bagaimana nilai teologi kini?
Ketika berbicara tentang teologi, maka kita harus menyebut dan menelaah dua sumber utama dimana teologi itu dikembangkan, yakni gereja dan seminari. Gereja merupakan tempat dimana jemaat mendapatkan ilmu teologi dari hamba Tuhannya dan juga mengembangkan teologinya. Sedangkan seminari merupakan tempat dimana jemaat mempersiapkan dan membekali diri untuk menjadi pengajar teologi di gereja ataupun meneruskan suksesi pengajaran di seminari. Karena itu kita akan coba menyapa keadaan teologi di kedua lokasi tersebut.
Teologi dalam Gereja
Satu hal yang mengenaskan ialah penilaian jemaat yang timpang terhadap teologi. Mereka menganggap teologi hanyalah konsumsi dosen teologi, mahasiswa teologi dan para hamba Tuhan. Bila mereka mendengar kata “teologi,” maka serta merta pikiran mereka akan langsung tertuju entah pada seminari, sekolah Alkitab, mahasiswa teologi atau pun para hamba Tuhan. karena itu, teologi merupakan tugas mereka dan bukan tugas jemaat. Mereka memperlakukan hamba Tuhan tak ubahnya seperti koki yang mereka bayar (entah dalam bentuk perpuluhan atau pun honor bulanan) untuk menyediakan makanan siap saji bagi mereka setiap minggunya.
Sayangnya, pemahaman demikian merupakan pemahaman yang terlalu naif. Dalam batas-batas tertentu, teologi ialah milik semua orang. Ketika seorang tukang becak ditanya tentang bagaimanakah Allah itu, jawabannya merupakan teologinya. Ketika seorang tukang jamu memahami Allah yang baik ialah Allah yang membuat dagangannya laris, itu pun merupakan teologinya. Bahkan ketidakpercayaan seorang ateis terhadap eksistensi Allah pun merupakan sebuah teologi. Setiap orang pasti berteologi, terlepas benar atau tidaknya teologi tersebut.
Karena itu berteologi ialah tugas jemaat, atau lebih tepatnya, berteologi yang benar juga merupakan tugas jemaat. Jemaat tidak bisa membiarkan teologi hanya menjadi konsumsi para rohaniwan, sebab mereka pun layak untuk menelannya. Kerumitan yang ada dalam teologi, dalam taraf tertentu, juga merupakan makanan keras yang mereka harus kunyah sebagai seorang dewasa (Ibr. 5:14)
Ketika saya mempelajari katekismus Heidelberg, saya menjadi terhenyak mengingat katekismus tersebut mulanya ditujukan untuk anak-anak remaja yang beranjak dewasa. Padahal jemaat hari ini mendengar kata katekisasi, katekismus, atau sejenisnya saja sudah merasa pening. Namun, ternyata katekismus yang dianggap sulit oleh jemaat hari ini merupakan konsumsi remaja yang sedang berkembang! Menilik sejarah gereja, terutama pada zaman Calvin di Jenewa, kita akan melihat sangat merosotnya nilai teologi pada zaman ini. Pada zaman Calvin, salah satu bahan kotbah yang harus disampaikan ialah topik-topik teologi sistematika. Sementara pada masa sekarang, jemaat cenderung mencari pengajaran yang dangkal, kalau tidak mau dibilang tidak berisi, yang menyenangkan mereka, yang membuai mereka dengan janji-janji surgawi, juga yang membantu mereka mengembangkan potensi diri, bukan menumbuhkan kerohanian mereka.
Bagi jemaat hari ini, mendengarkan kotbah yang banyak diisi kesaksian dan perjalanan surgawi lebih menarik tinimbang kotbah yang meneliti teks Kitab Suci dan menjelaskannya dengan mendetil. Bisakah Anda rasakan menurunnya nilai teologi saat ini? Dengan menurunnya nilai teologi, maka otomatis menurun pula kadar kerohanian dan pengenalan jemaat terhadap Tuhan dan firman-Nya. Kesalehan yang tidak didasarkan pada pengenalan Kitab Suci yang dangkal cenderung menjerumuskan orang hanya pada kesalehan yang artifisial dan tidak biblikal. Saat ini waktunya jemaat untuk mulai bangkit dan mencintai teologi yang benar. Tidak lagi berkutat dengan “teologi yang dangkal” namun berusaha mengejar kebenaran yang mereka rasa tidak relevan itu, meski nantinya mereka akan ikut terlihat tidak relevan. Mungkin jemaat perlu mempertimbangkan apa yang dikatakan Wells dalam pengantar bukunya No Place for Truths, “mereka yang paling relevan bagi dunia ini adalah yang dinilai paling tidak relevan.”
Teologi dalam Seminari
Seminari merupakan wadah dimana para pengajar gereja dan penerus suskesi pengajaran di seminari, dipersiapakan untuk mampu melaksanakan tugasnya. Karena perannya yang signifikan, maka seminari memiliki peranan yang besar dalam pembentukan teologi dalam jemaat. Jemaat yang memiliki pengajaran yang dangkal bisa dideteksi mulai dari seminari. Bisa jadi para alumni seminari tersebut tidak mendapatkan input yang memadai sehingga ketika menjadi pengajar dalam gereja, mereka juga kepayahan. Bisa juga karena calon pengajar yang dipersiapkan tersebut sudah terkena dampak menjauhi teologi yang benar, seperti jemaat pada umumnya. Sehingga ketika dia memasuki ranah teologi yang luas, dia sudah menutup diri terlebih dahulu. Atau bisa juga karena “fhobia” dengan teologi, maka jemaat tidak lagi mau berhubungan dengan seminari. Di tengah berbagai kemungkinan ini, seminari memiliki peran dalam membentuk pengajar-pengajar yang siap menggarami gereja Tuhan dengan pengajaran yang benar.
Namun, sama seperti gereja, seminari pun juga mengalami kemerosotan dalam berbagai bentuk. Pertama, seminari menjatuhkan nilai teologi itu sendiri dengan melangkah terlalu jauh menuju liberalisme. Kebebasan berpikir memang sesuatu yang harus dijunjung tinggi namun dengan tetap mengakui keterbatasan akal budi kita di hadapan Tuhan. Topik ini merupakan topik yang sangat luas, sehingga saya tidak bisa membahasnya di sini. Kedua, seminari bisa juga menjatuhkan nilai teologi dengan progran-program yang dijalankannya. Sadar atau tidak, program seminari juga akan membentuk bagaimana pandangan jemaat terhadap teologi.
Ketika saya sedang menyelesaikan studi sarjana saya, dunia pendidikan teologi di Surabaya sempat diguncangkan dengan program dari sebuah seminari di Surabaya Timur. Seminari ini memberikan beasiswa penuh bagi tiga ratus pendaftar pertama. Walaupun terlihat sepele, namun tanpa disadari promo ini membuat jemaat jadi menilai teologi sebagai ilmu rendahan. Teologi seolah merupakan bidang studi yang sepi peminat dan karena itu harus mengemis-ngemis mahasiswa dengan berbagai iming-iming. Maka tidak heran bila di sekeliling Anda, Anda akan menemui lulusan-lulusan sekolah menengah atas (SMA) yang putus asa karena tidak diterima di universitas manapun, kemudian mengambil keputusan untuk masuk sekolah teologi. Teologi akhirnya menjadi pilihan buncit bagi siswa yang putus asa.
Ketika menjelang lulus sarjana, dunia pendidikan teologi di Surabaya kembali diguncangkan oleh program sebuah seminari konsorsium. Seminari ini bisa memberika gelar Sarjana Teologia bagi siswanya hanya dalam waktu dua tahun ketika normalnya harus memakan waktu empat sampai lima tahun. Bahkan, bila sekolah lain memprasyaratkan lulusan sekolah menengaah atas (SMA) sebagai pendaftaranya, lulusan ini bisa meluluskan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) tanpa perlu ada penyetaraan. Seminari ini juga bisa memberikan gelar magister dalam waktu enam bulan dan memperhitungkan lama pelayanan sebagai kredit SKS. Bahkan untuk tiap mata kuliahnya, tidak ada syarat kelulusan yang jelas seperti ujian atau tugas-tugas kuliah.
Bisa Anda bayangkan? Tanpa disadari, melalui dua fenomena di atas, teologi dijadikan ilmu yang murahan bagi hamba Tuhan yang notabene adalah pengajar jemaat. Teologi identik dengan gelar dan prestise di hadapan jemaat, bukan pengetahuan dan tanggung jawab di hadapan Tuhan. Ketika merenungkan hal ini, saya teringat kisah mantan rektor saya tentang seorang magister divinitas (M.Div) yang tidak tahu apa itu simbol “LXX.” Saya jadi tersadar, tidak heran banyak pengajar yang tidak bertanggung jawab dalam jemaat, sebab ternyata beberapa seminari, sadar atau tidak, telah membentuk pengajar-pengajar yang demikian.
Penutup
Ini adalah saat dimana gereja dan seminari perlu kembali pada haluan yang benar. Tugas utama gereja dan seminari ialah mengajar dan belajar teologi yang benar. Teologi bukanlah benda surgawi konsumsi para hamba Tuhan, melainkan sebuah anugerah yang Tuhan berikan bagi semua umat-Nya. Teologi ialah sesuatu yang berasal dari Allah, untuk jemaat, dan bagi kemuliaan Allah.
Teologi juga tidak identik dengan gelar yang mentereng. Teologi ialah pengenalan yang baik terhadap Tuhan, yang bukan hanya tahu semua teori tentang Tuhan namun juga menghidupi pengtahuan itu di dalam hidup. Hari ini, tugas kita semua yang mencintai kebenaran untuk bangkit dan menyuarakan kebenaran. Terutama bagi para pengajar, suarakanlah kebenaran. Bukan hal-hal yang semata menghibur jemaat namun yang menegur dan menumbuhkan mereka serupa Kristus. Bukan semata membantu mereka mengembangkan potensi diri, tapi juga mengajak mereka untuk mencintai Tuhan dengan semua potensi mereka. Kiranya Allah yang penuh dengan segala rahmat memampukan kita untuk melakukan tugas ini. Semoga . . .
Soli Deo Gloria,
Bezaleel Stefanus Kristianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar