ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Selasa, 25 Januari 2011

ABBA 20

1.       Apa arti kata ”sela” pada Kitab Mazmur?
Jawab:
Para sarjana memang berbeda arti mengenai apa makna dari kata “sela.” Kata ini muncul tujuh puluh satu kali dalam Kitab Mazmur dan tiga kali dalam Habakuk.  Secara umum, para sarjana menganggap kata ini sebagai sebuah tanda musik yang merujuk pada sebuah jeda (pause) panjang dalam lagu, dimana penyanyi berhenti untuk bernyanyi namun musik tetap berjalan. Septuaginta menerjemahkannya “diapsalma,” sebuah jeda dalam mazmur yang mengajak kita melakukan refleksi yang tenang. Sela mengingatkan kita bahwa ketika menyanyikan mazmur, kita membutuhkan jiwa yang tenang dan penuh perenungan yang bisa memahami apa yang Roh Kudus kemukakan. Walaupun tidak semua sarjana setuju dengan pemikiran di atas,  bagaimanapun hampir semua sarjana setuju bahwa kata ini lebih baik tetap dibaca ketika kita membaca sebuah nomor mazmur.

2.       Mengapa dalam Kitab Mazmur banyak ungkapan-ungkapan yang bernada kutukan? Bukankah kita harus saling mengasihi? Bila memang seluruh Alkitab bermanfaat, lalu apa manfaat dari ungkapan-ungkapan yang demikian?
Jawab:
Memang beberapa nomor Mazmur yang lazim disebut sebagai “Mazmur Kutukan” atau “Mazmur Balas Dendam” (the Imprecatory Psalms) acapkali membingungkan orang Kristen yang sungguh-sungguh dan sering terasa sebagai kemelut moral. Mazmur-Mazmur ini sesungguhnya telah menjadi sumber kesulitan bagi pemahaman iman Kristen.  Pokok masalah dengan Mazmur-Mazmur Kutukan adalah masalah etis. Kutukan-kutukan ini terutama dianggap bertentangan dengan ajaran kasih yang Yesus sendiri ajarkan. memang harus kita akui bahwa pasti timbul kebingungan dan ketidaknyamanan ketika membaca bagian-bagian seperti, “Ya Allah, hancurkanlah gigi mereka dalam mulutnya, patahkanlah gigi geligi singa-singa muda, Ya Tuhan!”  (Mzm. 58:7) atau “Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu!” (Mzm. 137:9), mengingat Kristus sendiri mengajarkan: kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi yang menganiaya kamu (Mat. 5:44). Paradoksi ini tentunya membuat orang Kristen yang meyakini bahwa seluruh Alkitab adalah firman Allah bertanya-tanya bagaimana bisa Roh Kudus menyebabkan para penulis Mazmur menulis sentimen dan kata-kata yang tidak Kristiani seperti demikian?
Akibat kesulitan ini, dalam pelayanan masyarakat gereja, mazmur-mazmur ini dilewatkan begitu saja oleh para pengkotbah seperti tak memiliki sesuatu di dalamnya yang layak diperhitungkan untuk mendidik dan membangun karakter moral dari orang-orang. Memang tak dapat disangkal bahwa kita pasti amat jarang mendengar hamba-hamba Tuhan berkotbah ataupun mengajar dari Mazmur-Mazmur Kutukan. Bahkan bisa jadi mereka cenderung menghindari pembahasan dari bagian-bagian ini. lalu bagaimanakah seharusnya memahami mazmur-mazmur yang demikian?
Untuk bisa memahaminya, kita perlu merujuk pada perjanjian (covenant) Allah dengan umat-Nya. Bila dipahami dengan dasar tersebut, kutukan-kutukan itu bisa dipahami sebagai ungkapan memohon janji pembelaan Allah. Sebagaimana Yahweh berjanji akan menjaga dan melindungi umat pilihan-Nya selama mereka menjadikan Yahweh sebagai Allah mereka, maka Daud, yang setia menjadikan Yahweh sebagai Allahnya, berhak untuk menuntut realisasi janji itu ketika ia sedang terancam ataupun teraniaya oleh musuh-musuhnya. Demikianpun dengan pemazmur anonim (Mzm. 71:1) dan Asaf yang berbicara atas nama umat pilihan (Mzm. 79:1, 9; 83:2, 4, 17-19). Mzm. 137 memang tidak secara eksplisit menyebut bahwa umat pilihan menjadikan Yahweh sebagai Allah mereka, tetapi pengalamatan Mazmur tersebut kepada Yahweh (137:7), menjadi datum tak terbantahkan bahwa umat pilihan sedang menjadikan Yahweh sebagai Allah mereka, dan karenanya, mereka pun berhak menuntut janji itu.
                Kutukan-kutukan tesebut juga bisa dipahami sebagai permohonan supaya Allah menegakkan kebenaran-Nya. Penting diingat bahwa kutukan-kutukan yang ada merupakan reaksi atas ketidakadilan yang musuh-musuh lakukan terhadap umat pilihan. Musuh-musuh itu memburu orang yang tertindas dan menjebaknya dalam tipu daya (10:2), berusaha untuk menjatuhkan umat pilihan (17:4), ingin mencabut nyawa orang yang dipilih (35:4), mengadakan permufakatan licik melawan umat pilihan Allah (83:4), dsb. Di sepanjang Mazmur Kutukan, nuansa bahwa umat pilihan telah dizalimi akan selalu terasa.
                Namun ikatan yang ditimbulkan oleh covenant, membuat musuh-musuh tersebut bukan hanya musuh umat pilihan, melainkan juga musuh Allah. Sehingga ketika musuh-musuh tersebut berbuat tak adil terhadap umat pilihan, itu berarti mereka juga sedang berbuat ketidakadilan terhadap Yahweh. Maka dari itu, umat pilihan sangat pantas untuk memohon Yahweh menegakkan keadilan-Nya dengan cara menghukum orang-orang yang telah melakukan ketidakadilan tersebut. Namun, muara dari permohonan ini ialah reputasi Allah. seorang teolog bernama Broadhusrt menulis:kutukan tersebut… tepatnya berpusat pada usaha mempertahankan keadilan Allah. Allah dalam keadilan-Nya telah menetapkan sebuah tatanan khusus di dunia, yang harus diikuti. Ketika orang-orang secara sengaja melawan tatanan ini, mereka layak untuk dihukum, supaya reputasi Allah tidak diragukan.”
Lalu bagaimana dengan ungkapan-ungkapan yang kasar ada? Hal tersebut ialah produk budaya yang cenderung puitis, blak-blakan dan hiperbolis (melebih-lebihkan sesuatu). Karena hal tersebut merupakan produk budaya, maka tidak seharusnya kita saat ini meniru cara tersebut, sebab kita hidup dalam konteks budaya yang sangat jauh berbeda.
Mazmur Kutukan setidaknya memiliki dua pelajaran rohani bagi kehidupan umat Tuhan. Pertama, Mazmur Kutukan mengajar bahwa umat Tuhan memiliki hak untuk menuntut keadilan Allah. Umat Tuhan berhak untuk menuntut keadilan Tuhan, terlebih mengingat ikatan covenant Allah dengan umat-Nya di dalam Kristus. Tidak ada yang salah dengan permintaan tersebut, karena permintaan tersebut pada dasarnya hanya meminta Allah segera melakukan hal yang memang akan Allah lakukan. Hanya saja, sebagaimana para pemazmur menyerahkan segalanya dalam tangan Tuhan, bahkan perasaan kebencian, maka tuntutan ini tidak boleh dilandaskan pada kebencian pribadi tapi pada kerinduan akan kemuliaan Allah. Dalam permohonan tersebut harusnya selalu terselip unsur pengampunan.
                Ajaran ini juga bukanlah ajaran yang tidak alkitabiah. Ajaran ini juga tetap muncul dalam Perjanjian Baru, ketika Paulus memohon keadilan Allah atas Aleksander yang telah banyak menjahatinya (2 Tim. 4:14), dan juga saat jiwa-jiwa yang mati karena firman Allah menuntut pembalasan atas darah mereka (Why. 6:10). Bahkan secara implisit ajaran ini muncul dalam doa yang Tuhan Yesus sendiri ajarkan, yaitu doa Bapa Kami. Sebab ketika umat Tuhan berdoa, “Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga,” itu berarti umat Tuhan sedang memohon supaya Iblis dan para pengikutnya jatuh dan menerima hukuman yang mereka pantas terima. Kehendak Allah di bumi tidak akan sama seperti di sorga tanpa Allah menghancurkan Iblis dan orang-orang fasik.
                Kedua, Mazmur kutukan mengajar umat Tuhan untuk selalu mengandalkan Tuhan saat mengalami penindasan, seperti seorang teolog bernama Zenger menulis, bahwa mereka menyerahkan kepada Allah bukan hanya ratapan mereka atas situasi mereka yang menyedihkan, tapi juga hak untuk menghakimi penyebab dari situasi tersebut. Lebih lagi, Mazmur Kutukan mengajar bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang tak terkondisi. Sebagaimana bangsa Yehuda, yang tak berdaya di bawah penjajahan dan penindasan, ataupun Daud, yang sebenarnya memiliki kekuatan untuk menghancurkan sendiri musuh-musuhnya, mengandalkan Tuhan, demikianpun harusnya umat Tuhan. Entahkah umat Tuhan sama seperti bangsa Yehuda yang tak berdaya dalam menghadapi penindasnya, ataupun seperti Daud, memiliki kekuatan untuk melawan, umat Tuhan harus tetap mengandalkan Tuhan dalam penindasan tersebut.

3.       Yesaya 27:1. Ular naga itu kiasan atau gambaran pada siapa?
Jawab:
Ungkapan ular naga dalam ayat ini paralel dengan Lewiatan dalam baris sebelumnya. Lewiatan ialah binatang laut (yang oleh beberapa orang dianggap mitos) pada zaman dulu yang sangat menakutkan dan dianggap tak terkalahkan. Bahkan dalam Ayub 41:15, ia disebut sebagai raja atas segala binatang yang ganas (Alkitab LAI menerjemahkannya sebagai “buaya” namun dalam teks Ibraninya kata yang tertulis “Lewiatan”). Ungkapan dalam Yesaya 27:1 ini berbicara mengenai jaminan kelepasan atau penyelamatan yang dari Tuhan. Bila Allah sanggup untuk menghancurkan binatang yang dianggap kuat dan tak terkalahkan itu, tentunya bukan hal yang sulit bagi Allah untuk memberi kelepasan dan keselamatan bagi Israel.

ABBA 19

1.       Apakah Ezra membangun Bait Tuhan, sedang Nehemia membangun tembok luar Yerusalem? Mohon tanya kronologis atau tahun-tahun Ezra dan Nehemia.
Jawab:
Orang Israel pulang dari pembuangan sekitar tahun 538-537 SM secara bertahap hingga benar-benar kembali sekitar tahun 458 SM. Pembangunan Bait Allah sendiri terjadi tidak lama sesudah kepulangan gelombang pertama tersebut. Kitab Ezra mencatat bahwa mereka mulai membangun Bait Suci, yakni meletakkan dasarnya, di tahun yang kedua setelah mereka kembali ke Yerusalem, dan yang memimpin pembangunan ini ialah Zerubabel bin Sealtiel (Ez. 3:8-13). Berarti kemungkinan mereka mulai membangun sekitar tahun 536-535 SM. Menurut catatan dalam Kitab Hagai, pembangunan ini sempat terhenti beberapa tahun sebelum kemudian dilanjutkan lagi.
Pembangunan ini selesai pada tahun keenam pemerintahan Darius. Darius mulai memerintah sekitar tahun 522 SM, berarti pembangunan ini selesai sekitar tahun 516 SM. Ezra sendiri sepertinya baru pulang pada gelombang terkahir yakni sekitar tahun 458 SM. Nantinya, Ezra lebih banyak melakukan reformasi agama dan membantu bangsa Yehuda menemukan kembali bentuk keagamaannya.
Sedangkan Nehemia, hidup sezaman dengan Ezra. Ia diutus ke Yerusalem untuk mengorganisir pembangunan kembali tembok Yerusalem pada tahun kedua puluh pemerintahan Artahsasta. Artahsasta mulai memerintah sekitar tahun 465 SM, berarti Nehemia pulang ke Yerusalem untuk membangun tembok Yerusalem sekitar tahun 445 SM.

2.       Mengapa Ratu Wasti menolak datang waktu Raja Ahasyweros memanggilnya? Dari kerajaan mana Ahasyweros tersebut?
Jawab:
Teks Alkitab tidak menceritakan dengan jelas alasan Wasti menolak panggilan Raja Ahasyweros. Alkitab hanya menceritakan bahwa penolakannya tersebut merupakan wujud pemberontakannya terhadap Raja, karena dengan demikian ia telah mempermalukan Raja Ahasyweros di depan para pejabar dan masyarakatnya (Est. 1:16-20).

3.       Ada teman tanya, jadi saya teruskan ke ABBA:
Menurut 2Raj. 8:26, Raja Ahazia berumur 22 tahun waktu ia diangkat menjadi raja, sedangkan menurut 2Taw. 22:2, ia berumur 42 tahun waktu ia diangkat menjadi raja. Lalu mana yang benar dan kira-kira dimana letak kesalahannya?
Jawab:
Penyalin Tawarikh melakukan kesalahan penyalinan dalam bahasa Ibraninya. Bacaan dua puluh dua lebih bisa diterima karena dukungan dari Septuaginta (terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani), yang juga membaca 2Taw. 22:2 “dua puluh dua.” Lagipula, Yoram, ayah Ahazia, meninggal pada usia empat puluh tahun (ia menjadi raja pada usia tiga puluh dua tahun dan memerintah selama delapan tahun), sehingga tidak mungkin ia memiliki anak yang berusia lebih tua darinya. Akan lebih masuk akal bila Ahazia lahir pada saat Yoram berusia delapan belas tahun. Mungkinkah Yoram bisa memiliki anak pada usia delapan belas tahun? Memiliki anak pada usia muda, pada saat itu, bukan hal yang aneh, mengingat kebiasaan menikah pada usia muda yang sering terjadi pada raja-raja zaman itu.

4.       Mengapa Ayub dikategorikan dalam Kitab Puisi?
Jawab:
Ayub dikategorikan sebagai Kitab Puisi karena bentuk sastranya yang menunjukkan banyak ciri-ciri puisi Timur Dekat Kuno, misalnya adanya paralelisme dalam kitab ini.  

5.       Siapa yang dimaksud anak-anak Allah dalam Ayub 2:1?
Jawab:
Istilah “anak-anak Allah” di sini merujuk pada salah satu makhluk surgawi, sebab mereka bisa melakukan percakapan dalam dunia surgawi, yang kemungkinan besar merujuk pada malaikat. Istilah “anak” di sini harus dipahami sebagai relasi asal, yakni bahwa malaikat-malaikat tersebut berasal dari Allah yang menciptakan mereka.

6.       Bagaimana dengan istri Ayub? Apakah akhirnya ia kembali pada Ayub?
Jawab:
Alkitab juga tidak memberikan catatan yang jelas mengenai istri Ayub, apakah ia kembali kepada Ayub atau tidak. Alkitab hanya menampilkan dia sebagai tokoh latar negatif, yakni tokoh yang muncul sekilas dengan peran yang negatif, namun tidak berperan terlalu banyak dalam kisah. Alkitab memang mencatat bahwa nantinya Ayub memiliki anak-anak lagi, namun tidak jelas apakah anak-anak tersebut berasal dari istri yang baru atau tidak.

7.       Apa pengertian Mazmur Ziarah? Mengapa tidak masuk dalam jenis mazmur?
Jawab:
Mazmur Ziarah ialah mazmur yang dinyanyikan selama perjalanan ziarah orang Israel dari tempat tinggalnya ke Bait Allah di Yerusalem. Mazmur-mazmur ini biasanya merupakan mazmur yang dibuat pada maza setelah pembuangan. Pada masa itu, orang-orang Yehuda tinggal agak berpencar dan jauh dari Yerusalem. Nah, orang Yehuda sendiri mempunyai tradisi, sesuai perintah Tuhan, untuk pergi ke Bait Allah di Yerusalem, setidaknya setahun sekali. Mazmur ziarah biasanya dinyanyikan orang-orang Yehuda ketika mereka dalam perjalanan menuju ke Yerusalem dalam rangka melaksanakan perintah Tuhan tersebut. Mazmur-mazmur ziarah ini seolah menjadi pujian yang memeprsiapkan diri mereka untuk beribadah kepada Tuhan. Mazmur ziarah biasanya tidak digolongkan sebagai sebuah jenis mazmur karena mazmur ini lebih menerangkan tentang penggunaan suatu mazmur bukan jenis atau gaya sastra suatu mazmur.

8.       Apa dalam Kekristenan ada kepercayaan setelah mati kita mengalami “siksa kubur”?
Jawab:
Keyakinan tersebut ialah keyakinan “agama sepupu” kita. mereka meyakini bahwa setelah mati, bagi orang-orang yang jahat, akan mengalami siksaan dalam kubur itu sampai nanti kiamat mereka akan mengalami siksaan terbesar dalam neraka. Sedangkan, Teologi Kristen tidak memiliki konsep seperti demikian. Para sarjana Kristen setidaknya memiliki tiga konsep besar tentang kehidupan setelah kematian. Pertama, ada yang meyakini bahwa setelah mati semua orang, entah dia baik atau jahat, akan pergi ke tempat penantian sampai nanti Tuhan menghakimi semua orang. Mereka meyakini ungkapan “firdaus” dalam Luk. 23:43 merujuk kepada sebuah tempat penantian. Kedua, ada juga yang meyakini bahwa setelah mati jiwa kita akan tertidur atau ada dalam keadaan tidak sadar sampai nanti Tuhan datang kedua kali. Sedangkan pandangan ketiga, meyakini bahwa setelah mati kita langsung menuju surga atau neraka. Surga bagi orang-orang yang terpilih, dan neraka bagi orang-orang yang dibiarkan binasa.
Pandangan ketiga merupakan pandangan yang umum diyakini kaum reformed. Pandangan pertama tidak kita yakini sebab istilah Firdaus lebih masuk akal merujuk pada surga. Bila Firdaus dianggap hanya sebagai tempat penantian, seperti yang diyakini pandangan kedua, maka tidak ada sesuatu yang istimewa dari pernyataan Tuhan Yesus, tidak ada nuansa keselamatan di dalam ucapan Tuhan. Toh semua orang setelah mati otomatis akan pergi ke sana, termasuk penjahat tersebut. Padahal, melalui perkataannya, Tuhan ingin menjamin keselamatan dari penjahat tersebut. Sehingga akan lebih tepat bila kata Firdaus tersebut dipahami sebagai surga.
Pandangan kedua juga tidak kita terima karena istilah tidur dalam Alkitab merupakan ungkapan eufimistis (memperhalus) tentang kematian. Kematian digambarkan sebagai tidur sebab sama seperti orang yang tertidur, mereka tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Pandangan ketiga merupakan pandangan yang masuk akal sebab banyak nas Alkitab yang mendukungnya. Misalnya, dalam perumpamaan Lazarus dan orang Kaya dalam Luk. 16:19-30, keduanya digambarkan berada di neraka dan surga.
Paulus dalam 2Kor. 5:1 mengatakan bahwa “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.” Ayat ini menunjukkan bahwa ketika kemah kediaman kita di bumi dibongkar (=mati) maka kita memiliki kemah kediaman dari Allah, yang kekal dan tidak dibuat oleh tangan manusia. Kata “memiliki” dalam bahasa aslinya bermakna bahwa saat ini pun kita sudah memiliki kemah tersebut. Sehingga ide ayat ini ialah, bahwa ketika kita mati, maka kita akan segera beralih pada kemah kediaman yang Allah sudah sediakan dan yang sudah kita miliki itu. Ini berarti orang percaya yang meninggal akan langsung ke surga sebab saat ini pun ia telah memiliki surga itu. Demikianpun orang yang tidak percaya yang meninggal akan langsung ke neraka, sebab ia juga, pada dasarnya, telah menjadi penghuni neraka tersebut.