ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Selasa, 30 November 2010

Mengapa Penafsiran Kita Harus Trinitarian?

Hermeneutik (penafsiran kita) harus Trinitarian karena Allah, Pencipta, Penebus, dan Penggenap, adalah Trinitarian. Ketika kita menafsirkan baik kita menafsirkan firman Allah atau karya Allah, kita perlu untuk memperhitungkan siapakah Dia. Segala sesuatu yang kita tahu tentang Dia, termasuk karakter Trinitarian-Nya, secara potensial mempengaruhi pemahaman kita mengenai firman dan karya-Nya. Lebih lagi, ketika seseorang memperkenalkan konsep yang salah tentang Allah, entah itu deistik, penteistik, unitarian, atau modalistic, kesalahan-kesalahan tersebut tidak akan terhindarkan lagi dalam mempengaruhi penafsiran arti firman dan karya Allah, karena makna dipengaruhi oleh konsepsi seseorang tentang pengarang. Efeknya mungkin sering menjadi tidak kentara, namun terkadang juga dramatis.

Rasionalitas
Satu dari lebih banyak efek yang jelas muncul melalui perbedaan dalam ide orang-orang mengenai rasionalitas. Biasanya, orang-orang menolak Trinitas karena menuduhnya tidak rasional, dan menggantikannya dengan sebuah konsep yang rasional tentang Allah, menyesuaikan dengan perkiraan kejatuhan manusia. Alasan kejatuhan manusia menjadi ukuran tentang apa yang Allah bisa dan tidak bisa lakukan. Maka, tentu saja, seseorang bisa memperkirakan alasan manusiawi untuk memahaminya, melebihi penafsiran dari firman dan karya Allah juga.
Berbeda dengan itu, di dalam teologi Trinitarian kita mengakui bahwa Allah tidak bisa dipahami (incomprehensibilty), karena kettidakterbatasan-Nya, namun bahwa Ia dapat dikenal (knowability) karena wahyu mengenai diri-Nya di dalam Kitab Suci dan di dalam dunia (Roma 1:18-23). Sinyal ini, akses kepada kebenaran dan bahwa kebenaran total tidak bisa dipahami, mempersiapakan cara pendekatan penafsiran dalam sebuah cara yang rasional, bukan rasionalistik.

 

Penebusan

Pentingnya Trinitas secara khusus terkait dalam konteks penebusan. Allah Bapa berdaulat mengontrol peristiwa dalam sejarah dan peristiwa dalam kehidupan tiap individu yang membawa pada keselamatan pribadi dan kelompok. Allah Anak menggenapi keselamatan, rekonsiliasi, dan pemurnian dari dosa dalam peristiwa penyaliban dan kebangkitan. Allah Roh Kudus menerapkan penebusan kepada setiap individu dan kelompok melalui kedatangan-Nya untuk tinggal di dalam kita. Tentu saja ketiga Pribadi ini terlibat dalam ketiga area tersebut; tapi tiap Pribadi memiliki peran-Nya sendiri.

Tiap tindakan penebusan ini memiliki makna untuk penafsiran. Kontrol Bapa atas sejarah mencakup kendali-Nya atas semua firman yang Ia berikan pada manusia, baik melalui suara langsung seperti di Gunung Sinai, atau melalui nabi manusiawi seperti Musa dan Yesaya. Kontrol Allah penting untuk diingat dalam penerimaan kita terhadap Alkitab, karena bila sebaliknya, kita mungkin memperlakukan Alkitab, dalam praktiknya, hanya sebagai karya manusia, atau sebuah karya dimana Allah “sedang melakukan yang terbaik yang Dia bisa” dengan keberadaan manusia yang sebagian tidak bisa diajak bekerjasama. Pelaksana penulisan Kitab Suci yang adalah manusia sejati, tidak menyiratkan ketidakbergantungan pada Allah atau pengurangan kontrol Allah, lebih dari Anak menyiratkan ketidakbergantungan-Nya dari Bapa. Kedua, pertimbangkan peran Anak. Karena dosa manusia, kita terpisah dari Allah dan akan mati jika kita berdiri di hadirat-Nya (ingat Keluaran 33:20). Namun menerima firman Allah meliputi penerimaan kehadiran-Nya. Kita akan mati saat membaca Kitab Suci kecuali karena mediasi Anak. Melalui Anak, kita menerima pengenalan tentang Allah tanpa harus mati.

Ketiga, pertimbangkan peran Roh Kudus. Roh Kudus “akan menuntun kamu kepada segala kebenaran” (Yohanes 16:13). Janji dalam Yohanes 16 berfokus pada peran khusus Roh Kudus setelah Pentakosta, dan mungkin juga diterapkan dalam cara yang khusus kepada para rasul. Tetapi prinsipnya mengenai tuntutan Roh Kudus mencakup seluruh karya Roh Kudusdalam pencerahan (iluminasi). Hanya pribadi yang hatinya dibentuk oleh Roh Kudus dan digerakkan oleh ajaran Alkitab, dapat mengerti hal-hal tentang Roh Kudus (1Korintus 2:6-16). Kerohanian diperlukan untuk memahami ajaran Alkitab, seperti orang Kudus si sepanjang zaman yang dikenal. Dan kerohanian ini bukan hanya sensitivitas terhadap beberapa hal yang tidak jelas, namun sebuah pengetahuan rohani tentang hal yang ilahi yang hanya bisa Roh Kudus berikan. Sarjana modern di bawah tekanan rasionalisme cenderung melupakan peranan Roh Kudus ini.

 

Implikasi Lainnya

Ruangan ini terlalu sempit untuk lebih menyentuh lebih banyak hal dibanding dua area dalam penafsiran. Pertama, peran Bapa, Aanak dan Roh Kudus dalam penebusan Trinitarian mengesankan peran yang sejalan dalam komunikasi verbal Allah. Bapa tidak hanya mengontrol sejarah, namun juga mengontrol firman-Nya yang keluar dari mulut-Nya. Dialah pengarang Kitab suci. Anak, sebagai Firman Allah (Yoh. 1:1), bisa secara dekat diasosiasikan dengan isi perkataan Bapa, yang mana menuntun kepada isi makna dari teks Alkitab. dan Roh Kudus ada bersama dengan pembaca manusiawi dalam menafsirkan pesan teks (“apapun yang Dia dengar, Dia akan katakan,” Yohanes 16:13). Karena itu, Bapa bisa diasosiasikan dengan peran Pengarang, Anak dengan peran teks atau tulisan, dan Roh Kudus dengan peran pembaca. Itu tidak membuat pembaca manusia menjadi tidak bisa salah, tetapi untuk mereka yang bersatu dengan Kristus, Roh Kudus datang sebagai pembaca ilahi yang tidak bisa salah, yang menuntun pembaca manusiawi.

Pola pengarang, teks, dan pembaca bisa disamaratakan bahkan melebihi batasan Kitab Suci. Ketika kita menegaskan bahwa Kitab Suci, bukan tulisan lain, ialah firman Allah yang tidak bisa salah, kita juga bisa melihat bahwa keberadaan Allah yang Trinitarian , sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus, ialah pola dasar yang ultimat (pokok) di balik semua komunikasi manusia sebagai pengarang yang mengirimkan pesan kepada pembaca. Kesatuan dan perbedaan dalam Trinitas ialah pola dasar untuk memahami kesatuan dalam perbedaan dalam pengarang, pesan dan pembaca.

Karena itu, kita didorong untuk menghindari baik kesalahan unitarian, yang akan merobohkan semua kompleksitas dalam komunikasi manusia ke dalam sebuah blok makna tunggal, dengan tidak menginggalkan perbedaan; dan menghindari kesalahan politesitik yang menggandakan makna dengan semrawut, seperti apa yang terjadi ketika pembaca manusia dilihat sebagai penguasa (tuhan) dari sebuah makna.

Kedua, bahasa manusia mulanya merupakan sebuah pemberian Allah dalam penciptaan, tinimbang hanya sebuah produk yang merupakan kenaikan tingkatan alami manusia dari lumpur. Faktanya, penjelasan Pribadi Kedua dari Trinitarian sebagai Firman (Yohanes 1:1), sebagaimana percakapan di antara Bapa dan Anak dalam sebuah bacaan seperti Yohanes 17, mengindikasikan bahwa bahasa manusia memiliki latar belakang pada bahasa ilahi dalam misteri komunikasi intra-Trinitarian (antar Pribadi Trinitas). Karena itu, pendekatan reduksionistik kepada bahasa harus dievaluasi secara kritis. Dan kita diundang untuk melihat bahwa makna yang jelas yang bahkan pembaca yang sederhana dari Kitab Suci bisa memahaminya membuka pintyu kepada pikiran Allah yang tidak terbatas, dan makna yang tidak terbatas dalam intra-Trinitarian. Karena itu, kategori misteri merupakan milik makna dan dan miliki refleksi hermeneutik terhadap makna.



Bacaan Tambahan:

John M. Frame, The Doctrine of the Knowledge of God (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1987).
Vern S. Poythress, "God's Lordship in Interpretation," Westminster Theological Journal 50/1 (1988) 27-64. Available at <http://www.frame-poythress.org/poythress_articles/1988GodsLordship.htm>.
Vern S. Poythress, "Christ the Only Savior of Interpretation," Westminster Theological Journal 50/2 (1988) 305-321. Available at <http://www.frame-poythress.org/poythress_articles/1988Christ.htm>.
Vern S. Poythress, God-Centered Biblical Interpretation (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1999).

Catatan:
Artikel ini merupakan artikel dari Vern Sheridan Poythress (B.S. and Ph.D in Mathematics, M.Div, Th.M in Apologetics, M.Litt and Th.D in New Testament) yang aslinya berjudul “Why Must Our Hermeneutics Be Trinitarian?,” yang diterbitkan pertama kali dalam jurnal The Southern Baptist Journal of Theology 10/1 (spring 2006), 96-98. Sejak tahun 1976, beliau mengajar di Westminster Theological Seminary, Philadephia, dan kini beliau menjabat sebagai Profesor Penafsiran Perjanjian Baru. Artikel ini sedikit bersifat teknis, karena itu bagi pembaca yang mengalami kesulitan dalam mengerti, bisa meninggalkan pertanyaan lewat post-comment di bawah. Artikel orisinil (dalam bahasa Inggris) bisa juga dilihat di  http://www.frame-poythress.org/poythress_articles/2006Why.htm

Jumat, 26 November 2010

ABBA 18

1.       Dalam Perjanjian Lama (1Taw. 23:28-29), ibadah di rumah Tuhan harus menyediakan sajian tepung roti tidak beragi, korban panggangan, dll. Apakah arti khusus dari barang-barang tersebut, dan mengapa sekarang barang-barang tersebut tidak diperlukan lagi dalam ibadah?
Jawab:
Hal tersebut merupakan bagian dari tata cara ibadah yang khas dari bangsa Israel, yang membedakannya dari bangsa-bangsa kafir lainnya. Hal itu mengajarkan bangsa Israel mengenai cara mengucap syukur hadapan Allah. Bagian ini jelas terkait dengan budaya pada masa itu, sehingga kini kita tidak lagi melakukannya sebab kita hidup dalam zaman dan budaya yang berbeda. Namun esensinya, soal mengucap syukur, harus tetap kita laksanakan sampai kapan pun dengan bermacam cara yang baik dan benar serta sesuai dengan budaya dimana kita ada.

2.       2Taw. 24:1. Bagaimana Yosa yang masih berumur 7 tahun bisa diangkat menjadi raja Yehuda? Apakah ini merupakan janji Tuhan terhadap Daud bahwa keturunannya akan menjadi raja?
Jawab:
Hal tersebut terjadi sebab tidak ada yang bisa menjadi raja pada waktu itu. Ingat bahwa sebelumnya setelah kematian Ahazia, Atalya, nenek Yoas, membunuh semua keturunan raja agar dia bisa menjadi penguasa. Yoas ialah satu-satunya yang selamat. Karena Yoas ialah anak raja, maka dialah yang berhak meneruskan tahta ayahnya meskipun saat itu dia masih sangat kecil. Oleh sebab itulah Yoyada mengasuh dan mengajar dia agar bisa hidup benar. Dan yang terjadi ialah bahwa “Yoas melakukan apa yang benar di mata TUHAN selama hidup imam Yoyada.”
Apakah hal ini terkait dengan janji Tuhan? Tentu saja. Bahkan kisah ini membuktikan kesetiaan Tuhan terhadap janji-Nya. Banyak orang mungkin melihat keturunan Daud yang bisa meneruskan tahtanya kini telah musnah ketika Atalya membunuh semua keturunan raja, namun tidak demikian dengan Tuhan. Ketika semua keturunan Daud seolah lenyap karena dibunuh Atalya, ternyata Tuhan masih menyisakan seorang keturunan Daud yang nantinya akan meneruskan tahta Daud, yakni Yoas.

3.       Mengapa kitab Tawarikh hanya menceritakan raja-raja Yehuda, dan tidak menceritakan raja-raja Israel?
Jawab:
Kitab Tawarikh merupakan kitab yang ditulis oleh seorang Yahudi setelah bangsa Yehuda pulang dari pembuangan, yang tujuannya untuk memberikan banyak pedoman kepada bangsa Yehuda mengenai pemulihan kerajaan Yehuda setelah pembuangan dan bagaimana seharusnya raja yang harus memerintah kerajaan tersebut. Kerajaan Israel Utara tidak disebutkan karena pada masa itu kerajaan tersebut sudah tidak lagi ada (ingat bahwa kerajaan Utara telah “hilang” oleh strategi kawin campur bangsa  Asyur) dan juga yang menjadi perhatian penulis Tawarikh ialah kerajaan Yehuda dan pemulihannya.

4.       Mengapa banyak raja Yehuda yang memulai pemerintahannya dengan baik, dengan mengikut/taat pada perintah Tuhan, lalu pada akhir pemerintahannya tidak taat lagi?
Jawab:
Hal tersebut karena mereka tidak sepenuhnya mengandalkan Tuhan. Ada yang hidup benar hanya separuh-separuh (Amazia), ada yang taat hanya sebatas ketika pembimbingnya masih hidup (Yoas). Oleh sebab itulah Tawarikh ingin menunjukkan bahwa raja baik ialah raja yang seperti Daud, yang sepenuhnya berharap dan bersandar pada Tuhan sepanjang hidupnya. Ini terlihat jelas saat membaca Tawarikh, kita sama sekali tidak akan menemukan catatan negatif tentang Daud. Hanya catatan positif saja. Seolah penulis Tawarikh ingin mengatakan pada pembacanya bahwa raja yang nantinya seharusnya memerintah kerajaan Yehuda setelah pembuangan ialah yang seperti Daud, yang bertaut penuh kepada Tuhan sepanjang hidupnya.

5.       Apa yang tercantum dalam Alkitab adalah penting bagi kita semua. Dalam Ezra 1 dan 2 tercantum daftar orang-orang yang kembali dari pembuangan, rasanya pasti setiap orang akan melewatinya begitu saja. Mohon penjelasan pentingnya isi dari pasal tersebut untuk para pembacanya?
Jawab:
Silsilah ini secara literal tentu tidak relevan bagi kita, namun sangat berarti bagi bangsa Yehuda saat itu. Silsilah ini membantu mereka menelusuri garis keturunan mereka yang sempat carut marut karena terpisah saat pembuangan. Saya sendiri mempelajari dua hal dari silsilah ini: pertama, saya diingatkan tentang kedaulatan Allah dan janji-Nya dalam mengatur perjalanan hidup umat-Nya. Meski sempat terpencar jauh dan mungkin beberapa di antaranya jadi saling tidak mengenal, namun Allah menggenapi janji-Nya bahwa Ia akan mengumpulkan mereka dari tempat dimana mereka dicerai-beraikan dengan cara yang unik. Kedua, saya juga mempelajari tekad mereka untuk bertobat dan menjaga status mereka sebagai umat pilihan. Mereka mulai kembali menata hidup dan ibadah mereka. misalnya, ketika ada seorang yang mengaku keturunan iman namun tidak bisa membuktikan kaitannya dengan silsilahnya, maka orang tersebut tidak berhak untuk memangku jabatan imam (Ez. 2:62-63).

ABBA 17

1.       Pada jaman PL kalo orang berbuat salah, nabi langsung menegur, sedangkan sekarang kenapa hamba Tuhan tidak langsung menegur jemaat yg salah?
Jawab:
Sebenarnya unsur teguran harus selalu ada dalam jemaat. Tuhan sendiri dalam Matius 18:15-20 juga mengajar bahwa bila seseorang bersalah, ia harus ditegur, namun dengan cara yang tentunya baik. Pada jaman para rasul pun teguran terhadap dosa dan kesalahan juga tetap menjadi ciri khas umat Tuhan. Bukti nyatanya Paulus yang menegur Petrus karena kemunafikannya (Gal. 2:11-14). Ketidakmauan atau mungkin ketidakberanian beberapa hamba Tuhan dalam menegur jemaat yang salah, mungkin bisa disebabkan oleh banyak faktor. Bisa jadi karena ketergantungan pada orang tersebut, karena ketakutan atau bermacam pertimbangan lainnya. Yang jelas, ketidakmauan atau ketidakberanian tersebut merupakan tanda bahwa hamba Tuhan tersebut tidak setia terhadap kebenaran firman Tuhan.
Beberapa hamba Tuhan bisa jadi tidak menegur atau mendiamkan untuk beberapa waktu lamanya karena alasan tertentu, namun mendiamkan ini tidak sama dengan membiarkan. Mendiamkan bisa jadi mencari waktu yang tepat untuk menegur dengan baik, sedang membiarkan menunjukkan bahwa hamba Tuhan tersebut memang tidak memiliki niatan untuk menegur. Yang pertama memang merupakan salah satu strategi penggembalaan, sedang yang kedua merupakan sebuah bentuk yang nyata ketidaksetiaan hamba Tuhan terhadap kebenaran firman. Intinya, hamba Tuhan yang baik seyogyanya seperti nabi-nabi bahkan Yesus sendiri yang tidak berkompromi dengan dosa, dan berani menyatakan kesalahan meskipun harga yang harus dibayar untuk kebenaran itu sangat berat.

2.       2Raj. 13:21. Mayat yang dicampakkan dalam kubur Elisa kemudian kena kepada tulang-tulang Elisa, mayat itu hidup kembali, bangun dan berdiri. Apakah Elisa sebagai nabi masih mempunyai kekuatan seperti waktu dia hidup? Mohon penjelasan bagaimana hal tersebut dapat terjadi?
Jawab:
Pertama-tama, penting diingat bahwa semua kuasa nabi bukanlah sesuatu yang melekat pada dirinya (inheren). Kuasa atau kemampuan untuk melakukan karya-karya kenabian, termasuk bermujizat, merupakan suatu anugerah yang Tuhan berikan kepada para nabi. Ketika mereka melakukan sebuah perkara yang ajaib maka hal itu bukan karena kehebatan mereka melainkan karena Tuhan yang memampukan mereka. Termasuk juga Elisa, ia mampu melakukan banyak hal karena Tuhan yang memampukan dia. Kuasa itu bukan sesuatu yang melekat padanya. Demikian pula ketika tulang Elisa mampu menghidupkan orang yang sudah mati, itu bukan karena sisa-sisa kehebatan Elisa yang masih melekat pada tulangnya, melainkan karena Tuhan yang bermujizat melalui tulang Elisa.

3.       Kenapa jaman sekarang tidak ada yang hebat seperti Elia, bisa melakukan bermacam perbuatan ajaib? Di Indonesia, saya melihat ada seorang pesulap bisa melakukan hal-hal luar biasa, apakah pesulap itu disertai Tuhan? Atau jangan-jangan Elia hebat karena punya ilmu seperti pesulap itu?
Jawab:
Saat ini perbuatan-perbuatan demikian tidak terlalu relevan lagi. Pada masa itu Allah banyak melakukan mujizat melalui para nabinya sebab mujizat itu merupakan wahyu khusus Allah, cara Allah menyatakan dirinya pada umat manusia. Saat ini kita sudah memiliki wahyu yang khusus yang cukup yakni Yesus Kristus dan Alkitab. Kedua ini Sarana Allah ini sudah sangat cukup mengenal Allah, kebenaran-Nya dan jalan keselamatan-Nya. Namun, ini tidak berarti bahwa Allah sudah tidak lagi bermujizat. Ia Allah yang bebas, berkuasa dan tidak berubah. Ia tetap bisa melakukan mujizat dalam saat-saat dimana Ia merasa perlu melakukan mujizat demikian. Namun demikian tentu frekuensinya tidak seperti pada masa dulu dimana Yesus dan Kitab Suci belum ada.
Mengenai seorang pesulap yang disebut, tentu ini berbeda dengan mujizat. Mujizat ialah karya Allah yang luar biasa, yang di luar pemahaman nalar manusia. Inisiator dan pelaku utamanya jelas Allah. Sedang mengenai pesulap tersebut, ia melakukannya dengan “kuasa yang lain.” Ia mengklaim bahwa ia bisa melakukan semua itu dengan kekuatan pikiran. Beberapa orang menilai ilmu pesulap tersebut sebagai bagian dari ilmu putih, walaupun pesulap itu sendiri mengatakan bahwa metodenya ialah metode ilmiah dan bukan ilmu magis. Bagaimanapun, kemampuan pesulap tersebut jelas bukan berasal dari Tuhan tetapi dari “kuasa yang lain,” entah dikatakan merupakan bagian dari ilmu putih ataupun merupakan metode yang ilmiah.

4.       Bukankah kita hanya boleh menyembah kepada Tuhan saja? Tetapi mengapa dalam Perjanjian Lama banyak ditemukan ayat-ayat dimana seseorang menyembah orang lain? (Misalnya Kej. 43:26; 2Sam. 9:6; 2Raj. 4:37)
Jawab:
Hal ini perlu dipahami dalam konteks budaya saat itu. Menyembah yang dilarang oleh Tuhan ialah menyembah yang menjurus ke arah mendewakan atau menuhankan sesuatu di luar Tuhan. Jadi, lebih terkait dengan sikap hati. Sedangkan yang dilakukan dalam contoh-contoh di atas ialah sikap tubuh yang menyembah, yang menurut budaya waktu itu menunjukkan rasa hormat.

5.       Apakah arti sunat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru?
Jawab:
Dalam Perjanjian Lama, sunat merupakan tanda seseorang mengikat perjanjian dengan Allah. Sunat menjadi bukti bahwa seseorang terikat perjanjian dengan TUHAN. Dalam Perjanjian Baru, kita sebagai umat Perjanjian Baru tidak lagi terikat dengan sunat secara fisik namun dengan sunat hati (bnd. Rm. 2:29; Kol. 2:11). Lalu apakah bukti bahwa kita merupakan bagian dari umat Allah? Dalam Perjanjian Baru, ada sebuah sakramen yang menjadi tanda bahwa kita ialah bagian dari umat Allah, yakni baptisan.

ABBA 16

1.       1 Raja-raja 12, pecahnya kerajaan Israel disebabkan oleh Allah sendiri akibat dosa Salomo. Bagaimana sekarang, negara apa saja pepecahan tersebut. Apakah sekarang di antara pemimpinnya terus-menerus perang?
Jawab:
Kerajaan tersebut pecah menjadi dua kerajaan, yakni kerajaan Israel Utara dan Israel Selatan. Kerajaan Israel Utara sudah tidak lagi eksis sebab kerajaan tersebut ditaklukkan oleh kerajaan Asyur dan penduduknya sudah dibaurkan (dikawin campurkan) dengan bangsa lain. Orang Samaria pada zaman Yesus ialah bangsa keturunan Kerajaan Utara. Jejaknya pada masa kini agak sulit dideteksi, namun diperkirakan orang Palestina, Yaman, dan sekitarnya, pada zaman ini masih memiliki kaitan dengan orang-orang Samaria.
Sedangkan kerajaan Selatan kemudian ditaklukkan oleh kerajaan Babel, namun akhirnya pada zaman Koresh, dikembalikan ke daerahnya sendiri. Mereka lebih eksis sebab mereka tidak dikawin campurkan. Orang-orang dari kerajaan Selatan ini nantinya menurunkan bangsa Yahudi, termasuk juga Yesus. Orang-orang Yahudi sendiri ini nantinya mengalami diaspora (meninggalkan daerah asal, merantau ke tempat lain) karena tekanan yang terjadi pada tahun 70 Masehi oleh Kaisar Titus Vespasianus. Mereka menyebar ke semua daerah bahkan semua benua dan hidup sebagai orang asing. Di awal tahun 1900, orang-orang yang merupakan keturunan bangsa Yahudi, dari berbagai negara, kembali ke daerah di Palestina, yang mereka klaim sebagai milik pusaka mereka. Mereka kemudian mendirikan sebuah negara pada tahun 1947 yang bernama Negara Israel. Jadi negara Israel yang ada sekarang memiliki tautan yang erat dengan bangsa Yahudi atau kerajaan Israel Selatan.

2.       Tabut Perjanjian dan kemah suci apakah masih ada sampai sekarang? Kalau ada apakah ketetapan Allah masih berlaku sampai sekarang, seperti hanya imam yang boleh masuk.
Jawab:
Kemah Suci sudah tidak lagi digunakan sejak Bait Allah dibangun pada zaman Salomo. Bait Allah sendiri kini juga sudah tidak ada lagi, hanya tinggal temboknya (yang saat ini disebut tembok Ratapan), dan digantikan fungsinya oleh synagoge. Sedangkan Tabut Perjanjian juga sudah tidak lagi diketahui rimbanya. Beberapa waktu yang lalu, sebuah program penelitian sempat mengatakan bahwa saat ini tabut perjanjian ada di sebuah tempat yang ditutup rapat di daerah Afrika. Mereka memang melakukan riset namun tidak bisa memberikan bukti yang pasti apakah benda yang ada dalam ruangan yang tertutup tersebut benar-benar tabut perjanjian.
Soal tata ibadah, kita tidak lagi hidup dalam zaman yang demikian. Ingat, ketika Tuhan Yesus mati, salah satu fenomena yang terjadi ialah tabir bait suci terbelah menjadi dua. Ini memiliki makna simbolis bahwa kini manusia bisa untuk langsung menghadap Allah. Kalau dulu Allah sendiri menyembunyikan kemuliaan-Nya, kini Allah sendiri membelah tabir itu dan berkenan menyatakan kemuliaan-Nya pada manusia, sehingga siapapun umat Tuhan bisa menghadap dan merasakan kemuliaan Allah. Atau dalam bahasa rasul Petrus, ketika Kristus mati, kita diangkat menjadi imam-imam yang rajani, dan karena kita adalah imam, maka kita berhak untuk datang kepada Allah.

3.       Apakah yang dimaksud dengan 2 Raja-raja 2:23-24?
Jawab:
Beberapa orang sempat mempertanyakan mengapa Elisa terlihat begitu kejam terhadap anak-anak tersebut. Nah, untuk memahaminya kita perlu melihat beberapa hal terlebih dulu. Pertama, bahasa Ibrani yang dipakai untuk merujuk anak-anak sebenarnya lebih tepat diterjemahkan anak-anak muda. Menurut seorang teolog, jangkauan usianya jelas antara 12-30 tahun, usia dimana seseorang sudah dianggap dewasa dan bisa bertanggung jawab dengan sikap, perkataan, dan tindakannya. Kedua, ungkapan yang dipakai untuk menghina Elisa. Pada zaman itu, kebotakan merupakan sesuatu yang jarang. Kebotakan biasanya terjadi karena seseorang menderita kusta, atau diidentikkan dengan ketidak kudusan. Jadi melalui cemoohan itu, mereka sebenarnya sedang berkata bahwa Elisa tidak kudus dan tidak diperkenan Allah. Mereka secara sadar, karena mereka sudah termasuk usia dewasa, meragukan pemilihan Allah atas Elisa. Jadi terlihat di sini seriusnya cemoohan mereka atas Elisa.
Lalu bagaimana dengan kutukan Elisa? Kutukan di sini harus dipahami dalam pengertian budaya waktu itu. Kutukan biasanya merupakan bentuk permohonan secara tidak langsung kepada Allah. Inti dari kutukan ialah permohonan agar Allah menegakkan keadilan-Nya. Elisa, ketika orang-orang tersebut meragukan perkenanan Allah atasnya, dia meminta Allah menegakkan keadilan-Nya, yang bentuknya ialah kutukan. Bagi kita yang hidup hari ini, kita tentu tidak boleh mengutuk sebab itu merupakan bagian dari budaya waktu itu. Namun esensinya, memohon keadilan kepada Allah, merupakan kebenaran yang bisa dilakukan oleh semua anak Tuhan di sepanjang zaman.

4.       2Raj. 16:7. Yehuda dan Israel saling menyerang dengan melibatkan bangsa lain, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Apakah ada campur tangan Tuhan di dalamnya?
Jawab:
Pada masa itu kerajaan Israel sudah cukup lama terpisah dengan kerajaan Yehuda (sekitar 200 tahunan), sehingga kemungkinan ikatan persaudaraan mereka juga semakin luntur. Akibatnya, yang ada hanya rasa persaingan antar dua bangsa yang saling ingin mengalahkan. Apakah ada campur tangan Allah di sini? Bila kita meyakini kedaulatan Allah dalam sejarah maka tentu tidak ada peristiwa yang tidak ditetapkan Allah, termasuk peristiwa ini. Bila Ia yang berdaulat menetapkan pecahnya kerajaan Israel (1Raj. 11:11), tentu Ia juga berdaulat atas tiap-tiap peristiwa yang terjadi setelah perpecahan tersebut.