ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Rabu, 21 Desember 2011

ABBA 33

1.       Dalam 2Kor. 12:1-10, ada beberapa pertanyaan sebagai berikut:
  • Bagaimana tanggapan bapak apabila ada orang yang bersaksi menyatakan bahwa ia pernah diangkat Tuhan ke tingkat ketiga dari sorga?
  • Apakah pada zaman sekarang ini Allah masih berbicara langsung kepada orang percaya? (sering kita dengar dari hamba Tuhan gereja tertentu).
  • Apa yang dimaksud dengan ayat 4, diangkat ke Firdaus?
  • Apa yang dimaksud Paulus dengan bermegah dalam kelemahanku (maksudnya kelemahan apa?)
Jawab:
a.       Bila ada orang yang mengisahkan bahwa ia terangkat ke surga kita perlu mengkaji dengan teliti, sebab Alkitab mencatat bahwa seorang yang sudah diangkat ke surga tidak akan bisa dan tidak akan mau kembali ke bumi (bnd. Mat. 17:1-13; Mrk. 9:2-13; Luk. 9:28-36; 16:19-31). Alkitab juga tidak pernah mencatat sekalipun tentang tokoh yang bisa pergi pulang berkali-kali ke surga sekehendak hatinya. Kasus Paulus merupakan kasus yang bersifat khusus, Paulus adalah satu-satunya orang yang dicatat Alkitab pernah diangkat ke surga. sehingga kita perlu berhati-hati terhadap kisah yang dicatat hanya sekali. Lagipula, bila banyak tokoh lain tidak mendapatkan hak istimewa seperti Paulus, maka siapakah kita? Apakah kita merasa lebih saleh dan berkenan di hadapan Allah dibanding Daud atau Petrus?
b.      Apakah Allah masih berbicara langsung kepada orang-orang Kristen hari ini? Iya, melalui Kitab Suci dan suara hati kita. Namun, bila berbicara dalam pengertian audibel atau mewahyukan sesuatu yang baru, saya dengan tegas menolak. Sebab, bila wahyu Allah yang lebih dulu ada saja tidak digubris untuk apa Allah harus memberikan wahyu baru? Dalam perumpamaan Lazarus dan orang Kaya, orang kaya meminta agar terjadi sesuatu yang spektakuler terjadi, yakni Lazarus bangkit dan memperingatkan keluarganya. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi sebab Allah telah memberikan Kitab Suci kepada mereka. Dari sini jelas bisa kita lihat bahwa bila kita sudah memilki Kitab Suci dan Yesus sebagai wahyu Allah yang genap, maka untuk apa lagi Allah harus berbicara langsung pada kita? Itu hanya menjadikan Yesus dan Kitab Suci sebagai wahyu yang tidak genap.
Namun, saya tidak memungkiri bahwa kita tidak bisa membatasi Allah. Adakalanya Allah memberi “wahyu khusus” kepada beberapa orang yang tidak mengenal Yesus atau tidak memiliki Kitab Suci. Ketika masa tekanan berat dari Komunis, ada banyak orang Kristen Tiongkok yang dilarang memiliki Kitab Suci, mengaku bahwa mereka pernah bertemu malaikat yang menguatkan mereka dan memberi pengharapan pada mereka. Hal ini mungkin saja terjadi sebab mereka sama sekali tidak memiliki Kitab Suci. Di Mesir, pernah terjadi bahwa seorang istri dan bayi kecil yang dikubur hidup-hidup oleh si suami selama hampir 1 minggu, bisa tetap bertahan hidup. Dalam kesaksiannya, si istri bercerita bahwa seorang dengan wajah berkilauan dan luka tusuk di tangan-Nyalah yang menolong dan membuat ia tetap bisa hidup. Pengalaman spiritual yang demikian ini, menurut hemat saya, bisa saja terjadi sebagai bagian dari cara Allah memanggil umat-Nya. Namun, bagi orang-orang yang telah menjadi umat-Nya Allah telah memberikan wahyu-Nya sehingga bila ada orang-orang yang mengaku mendapatkan pengalaman demikian, kita sekali lagi sangat perlu mempertanyakan dan menguji kesahihan maupun tujuannya.
c.       Dari konteksnya, jelas sekali bahwa ungkapan Firdaus di sini merujuk pada surga yang dibicarakan pada ayat 2. Beberapa literatur Yahudi pra-Paulus menyamakan istilah Firdaus dengan surga, dan hal ini nampaknya memengaruhi konsep para penulis Perjanjian Baru tentang surga. Sehingga ketika mereka berbicara soal Firdaus, maka yang dimaksud sebenarnya ialah surga (bnd. Luk. 23:43).
d.      Menurut konteksnya, kelemahan ini terkait dengan duri dalam daging di ayat 7. Tujuannya ialah agar Paulus tidak memegahkan diri karena keistimewaan yang Tuhan berikan padanya. Dalam konteks surat 2 Korintus, duri dalam daging ini sendiri berbicara soal kesulitan-kesulitan yang Paulus alami ketika melayani, terutama soal permusuhan dan tuduhan yang sengit dari jemaat Korintus (bnd. 2Kor. 9:10-11:33). Paulus seorang yang begitu hebat dan menjunjung kebenaran pun ternyata banyak memusuhi.
Sementara bila dilihat dalam konteks tulisan Paulus yang lebih luas, duri dalam daging ini nampaknya juga berbicara soal kelemahan fisik yang Paulus alami. Para sarjana memang tidak sepakat mengenai apa bentuk kelemahan tubuh tersebut. Ada yang mengatakan bahwa Paulus menderita ayan (epilepsi), ada juga yang mengatakan ia terkena malaria, meskipun sebenarnya tidak ada bukti yang jelas. Saya sendiri menduga Paulus memiliki masalah dengan penglihatannya. Ini terlihat dalam Galatia 6:11, ia menulis dengan huruf yang besar. Ini menandakan bahwa ia kesulitan melihat sehingga harus menulis dengan huruf yang besar. Masalah penglihatan ini juga yang nampaknya menyebabkan beberapa suratnya ditulis dengan menggunakan sekretaris.

2.       Mengenai sikap orang laki-laki dan perempuan dalam ibadah jemaat 1Tim. 2:8-15. Bagaimana pendapat saudara tentang sikap doa dengan menadahkan tangan, perempuan wajib berkerudung dalam ibadah, perempuan tidak diijinkan mengajar/kotbah dalam ibadah. Ada gereja yang mempertahankan tradisi tersebut, dan yang lain tidak?
Jawab:
Ketika membaca Kitab Suci, kita perlu membedakan antara aspek rohaninya yang bersifat kekal dan aspek budaya yang bersifat sementara. Memang ada kalanya keduanya menyatu, dalam artian budaya mengusung kebenaran rohani, tetapi ada kalanya kedua harus dipisahkan. Misalnya, perintah kelima dari Dasa Titah (Kel. 20:12), yakni soal menghormati orang tua merupakan sesuatu yang diberikan Allah dalam konteks budaya Israel. Anak tetapi, tidak berarti kebenaran itu terbatas hanya bagi bangsa Israel. Perintah ini bersifat universal, namun dalam hal ini budaya bangsa Israel menjadi budaya yang mengandung kebenaran tersebut. 
Sementara di sisi lain, ada kalanya kita harus memisahkan aspek budaya dari kebenaran Kitab Suci. Ketika Paulus memerintahkan supaya perempuan harus berambut panjang (1Kor. 11:1-2-16), apakah lantas berarti semua wanita Kristen yang saat ini berpotongan pendek telah melanggar firman Tuhan? Tentu tidak. Hal ini terkait dengan budaya pada masa itu. Kebenaran yang Paulus ungkapkan sebenarnya ialah soal bagaimana laki-laki dan perempuan harus bersikap secara pantas dalam ibadah.
Kembali ke nas 1 Timotius 2, kita melihat bahwa ada banyak hal yang disebu Paulus di sana merupakan bagian dari budaya masa itu. Para perempuan tidak dilarang untuk mengepang rambut, tetapi juga tidak diharuskan untuk menggunakan kerudung sebab hal tersebut merupakan bagian dari budaya pada masa itu. Tetapi satu hal yang tidak dilandaskan pada budaya ialah soal larangan bagi perempuan untuk mengajar. Paulus tidak sedang berbicara soal budaya, tetapi ia memberikan dasar alasan dengan merujuk pada kisah Kitab Suci (ay. 13-14). Sehingga pandangan saya (dan didukung oleh cukup banyak sarjana biblika), larangan bagi perempuan untuk mengajar merupakan hal yang normatif. Hal ini tentu bisa diperdebatkan sebab banyak gereja telah mengangkat pendeta perempuan. Akan tetapi, pembacaan yang natural terhadap nas 1Timotius 2 menunjukkan bahwa larangan ini memang bersifat kekal. Beberapa gereja Reformed yang masih sangat konservatif mempertahankan kebenaran ini dengan membatasi lingkup pelayanan hamba Tuhan wanita dan tidak bersedia menahbiskan hamba Tuhan wanita sebagai pendeta.

3.       Tuhan Yesus telah menebus kita sebagai anak-anak-Nya. Setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia. 1Yoh. 3:6. Bagaimana pengertian ayat tersebut sehubungan dengan kita manusia hidup dalam dunia tidak luput berbuat dosa? Bukankah kita semua adalah anak-anak Allah? (bnd. Dengan 3:9).
Jawab:
Penerjemahan LAI di sini memang kurang terlalu tepat. Terjemahan ini mengesankan bahwa ketika berada di dalam Kristus, seseorang akan otomatis menjadi “superman” rohani yang kebal dengan dosa. Masalahnya di sini ialah penambahan kata “lagi” oleh LAI, yang sebenarnya tidak ada dalam teks Yunaninya. Dalam bahasa aslinya, kata kerja “berbuat dosa” yang dipakai dalam ayat ini menggunakan bentuk present, dan ini menyiratkan ide tindakan yang terus-menerus. Penambahan negasi  “tidak” (ouk) di depan kata kerja tersebut membuat terjemahan yang menurut saya lebih baik adalah “tidak terus-menerus berbuat dosa” (BIS) atau “tidak tetap dalam berbuat dosa.”
Lagipula, secara kontektis, terjemahan LAI tidak didukung oleh konteks surat 1 Yohanes. Bila memang ketika di dalam Kristus seseorang menjadi tidak berbuat dosa lagi (dalam artian menjadi tidak berdosa), maka ini akan bertentangan dengan pernyataan Yohanes di awal suratnya, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita … maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita” (1Yoh. 1:8, 10).

4.       Bagaimana dengan keterbatasan/kelemahan kita sebagai manusia, dapat melakukan segala perintah-Nya? Jawabannya kita pasti akui tidak bisa, terus kaitannya dengan 1Yoh. 2:3; 3:24?
Jawab:
Inti kedua ayat ini menekankan bahwa salah satu tanda sejati Kristus hadir dan berelasi di dalam kehidupan seseorang ialah ketaatan orang tersebut kepada perintah Kristus. Oleh sebab itu, ketaatan merupakan hal yang mutlak ada dalam diri seorang murid Kristus sejati, sebab kekristenan tanpa ketaatan bukanlah kekristenan yang sejati. Pertanyaannya, apakah bisa kita 100% taat dalam hidup kita? Dalam artian tidak akan pernah bisa jatuh dalam dosa di sepanjang hidup? Pertanyaan ini harus dipahami dalam konteks keseluruhan surat 1 Yohanes. Bila dipahami demikian, maka ayat ini merupakan himbauan yang mengajak jemaat untuk hidup dalam ketaatan utuh kepada Tuhan. Yohanes menyadari bahwa tidak seorangpun yang tidak bisa berdosa (bnd. 1:8, 10), akan tetapi itu bukan menjadi alasan untuk hidup sekehendak hati karena “barangsiapa yang tetap berbuat dosa berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya.” (3:8a). Jadi, meski kita tidak bisa taat 100%, tetapi kita tetap harus bergumul sekuat tenaga untuk taat sebab kita memiliki potensi dan kemampuan untuk itu.

ABBA 32

1.       Tolong jelaskan mengenai dosa asal. Apakah itu berarti natur yang sudah rusak karena kejatuhan Adam, yang menyebabkan kecenderungan manusia untuk berbuat dosa? Lalu mengapa Tuhan tetap menghukum manusia (setelah Adam) yang berbuat dosa, karena bukankah dirinya sudah rusak karena dosa asal?
Jawab:
Ya, dosa asal merupakan dosa warisan yang kita terima dari Adam dan diturunkan melalui nenek moyang kita, yang menyebabkan natur kita menjadi rusak, sehingga kecenderungan kita ialah melakukan apa yang berdosa dan yang tidak berkenan di hadapan Allah.  Dengan kata lain, dosa asal merupakan pemicu utama terjadinya dosa aktual. Dosa asal muncul akibat pelanggaran Adam terhadap perjanjian kerja antara dia dengan Allah (Kej. 2:16-17). Dan akibat dari pelanggaran tersebut, manusia harus menerima kematian sebagai akibatnya, baik mati secara fisik maupun secara rohani.
Lalu mengapa Tuhan tetap menghukum manusia (setelah Adam) yang berbuat dosa, karena bukankah dirinya sudah rusak karena dosa asal? Jawabnya jelas, karena semua keturunan Adam terikat perjanjian kerja tersebut dengan Allah melalui Adam. Ini berarti semua keturunan Adam juga harus menerima konsekuensi kematian yang diterima oleh Adam. Inilah yang dijelaskan Paulus dalam Roma 5:12, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” Dosa bagaimanapun bentuknya tetap merupakan pemberontakan yang serius di hadapan Allah, dan karena itu, harus menemui ganjarannya.

2.       Apakah Allah menciptakan neraka? Bila tidak, bagaimana proses terciptanya neraka?
Jawab:
Pertama-tama, harus dipahami dulu bahwa saya memahami neraka bukanlah sebuah tempat (place) melainkan sebuah keadaan (state). Dalam 2Tesalonika 1:9, Paulus berbicara soal hukuman kebinasaan selama-lamanya (atau yang bahasa kita sekarang, neraka) yang akan dihadapi oleh mereka yang tidak mengenal Allah dan tidak menaati Injil Yesus. Lebih lanjut, ia menjelaskan seperti apa bentuk kebinasaan itu, yakni “dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari kemuliaan kekuatan-Nya.” Dari sini saya menyimpulkan bahwa neraka merupakan sebuah keadaan terpisahkan dari hadirat Allah dan kemuliaan-Nya secara mutlak, yang akan dialami oleh para pemberontak terhadap Tuhan.
Ketika Yesus menderita di kayu salib, Ia menanggung semua hukuman yang harus kita terima, baik secara fisik, mental, maupun rohani, yakni neraka. Akan tetapi, dimana nerakanya? Bukankan tidak ada api yang membakar Yesus? Teriakan “Eli, Eli, lema sabakhtani” (Mat. 27:46; Mrk. 15:34) sebenarnya merupakan neraka yang Yesus alami. Inilah penderitaan terberat yang Yesus alami. Ungkapan ini juga sekali lagi menunjukkan kepada kita bahwa esensi neraka bukanlah api dan arang tetapi keterpisahan mutlak dari Allah. Alkitab memakai gambaran lautan api, api, ulat, tempat ratap dan kertak gigi, dsb untuk menunjukkan betapa ngerinya keterpisahan dengan Allah itu.
Bila kita sudah memahami bahwa neraka bukanlah tempat, maka tentu jawaban pertanyaan di atas menjadi jelas: Allah tidak perlu menciptakan neraka, sebab neraka bukanlah sebuah entitas (keberadaan yang nyata). Neraka adalah ketiadaan anugerah Allah secara mutlak. Allah hanya perlu secara mutlak menjauhkan hadirat-Nya dari orang-orang yang memberontak kepada-Nya, dan di situlah neraka terjadi.

3.       Ef. 1:4-5, bagaimana jalan pikiran kita dapat menerima suatu fakta bahwa Allah memilih dan menentukan kita menjadi anak-anak-Nya sebelum dunia dijadikan. Juga ada orang yang tidak terpilih sesuai degan kerelaan kehendak-Nya. Yang tidak terpilih pasti binasa?
Jawab:
Dalam dunia teologi, ada sebuah istilah untuk menggambarkan pemilihan Allah, yakni predestinasi (pre=sebelum; destinasi=akhir). Sederhananya, predestinasi ialah tindakan Allah yang memilih orang-orang berdosa tertentu untuk  dijadikan sebagai umat-Nya sehingga mereka beroleh keselamatan, dan membiarkan orang-orang berdosa lainnya untuk tetap binasa. Apakah ini bisa dipahami? Tentu saja. Pertama-tama, kita harus ingat bahwa Allah sama sekali tidak memiliki tanggung jawab atau keharusan untuk menyelamatkan semua manusia. Meminjam bahasa Paulus dalam Roma 9, Allah tidak harus membuat semua manusia sebagai benda yang mulia, sebab ada kalanya ia menjadikan benda-benda yang kurang berharga. Ini bukan sebuah hal yang aneh bila dipahami dalam konteks kedaulatan Allah. Ketika seorang pasangan pergi ke sebuah panti asuhan untuk mengadopsi seorang anak, tentu pasangan tersebut tidak mengadopsi seluruh anak dalam panti asuhan. Mereka pasti mengadopsi yang menarik hati mereka. Bila dalam hal ini kita bisa mengakui kedaulatan manusia dalam pemilihan anak, mengapa kita sulit mengakui kedaulatan Allah dalam pemilihan anak-anak-Nya? Seringkali ketidaksukaan kita kepada doktrin pemilihan terutama disebabkan karena kesombongan kita yang menganggap diri terlalu berharga di hadapan Tuhan, meskipun sebenarnya Kitab Suci dengan jelas menunjukkan bahwa pada dasarnya kita tidak bernilai (Mis. Mzm. 8).
Kedua, penting untuk terus diingat bahwa kebinasaan seseorang bukanlah penetapan Allah. Seseorang binasa karena memang dia mewarisi keberdosaan Adam dan menolak untuk menerima pengampunan di dalam Kristus. Jadi kebinasaan seseorang merupakan konsekuensi logis semua manusia bila ada di luar Kristus. ketiga, bagaimana dengan yang tidak terpilih? Poin kedua sangat jelas menunjukkan bahwa di luar pemilihan Allah di dalam Kristus tidak ada keselamatan! (Yoh. 14:6; Kis. 4:12). Dalam dunia teologi, konsep ini biasa disebut predestinasi ganda.
Ada sebuah konsep lain yang disebut predestinasi tunggal. Konsep ini mempercayai bahwa yang dipilih Allah pasti selamat, sedangkan yang tidak dipilih mereka memilih tidak menerka-nerka keputusan Tuhan atas orang-orang tersebut. Akan tetapi secara biblikal, hal ini jelas tidak bisa dipertahankan. Begitu pun secara filososfis. Bila ternyata orang yang tidak dipilih bisa selamat, maka ini berarti ada keselamatan di luar Kristus, dan ini jelas bertentangan dengan kesaksian Alkitab. Bila ternyata mereka tidak selamat, maka dengan sendirinya konsep itu menjadi konsep predestinasi ganda.
Lalu bagaimana dengan orang yang “tidak memiliki kesempatan” mengenal Yesus? jawaban Alkitab pun jelas, mereka pasti binasa. Paulus dalam Rm. 1:18-20 mengatakan bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui ciptaan (wahyu umum), sehingga melalui ciptaan (wahyu umum) manusia bisa mengenal Allah yang benar. Akan tetapi, masalahnya ialah kecenderungan manusia untuk menindas kebenaran. Problem utama manusia bukan tidak mengenal kebenaran, tetapi mereka suka menindas kebenaran. Itulah sebabnya Allah mengatakan bahwa tidak ada manusia yang bisa berdalih dari penghukuman Tuhan (Rm. 1:20), sebab Allah telah menyatakan kebenaran kepada semua manusia tetapi mereka secara sadar telah menolak dan menindasnya. Jadi, Allah mempunyai alasan yang kuat untuk menghukum manusia.

4.       Ef. 4:30, jangan mendukakan Roh Kudus, apa bedanya dengan 1Tes. 5:19, janganlah padamkan Roh?
Jawab:
Ungkapan mendukakan Roh Kudus terkait dengan konteks pembicaraan tentang standar hidup sebagai manusia baru. Sehingga mendukakan Roh Kudus di sini berarti hidup dan bersikap seperti manusia lama yang tidak mengenal Allah, meskipun sebenarnya orang tersebut sudah dimeteraikan oleh Roh Kudus. Seringkali, ketika kita tidak hidup sesuai standar Allah, tanpa kita sadari kita membuat alasan-alasan pembenaran, nah hal-hal itulah yang membuat Roh Kudus berduka sebab tanpa disadarai kita sedang dan masih menikmati kehidupan sebagai manusia lama.
Sedangkan beberapa orang mencoba mengaitkan memadamkan Roh dalam 1 Tesalonika 5 dengan sikap orang Tesalonika yang mulai mengabaikan pentingnya karunia-karunia rohani. Hal memang bisa saja terjadi. Namun, akan lebih tepat bila membaca ungkapan ini sebagai nasihat secara umum, dan dengan demikian artinya sama dengan mendukakan Roh Kudus. Ketika seseorang hidup dalam dosa, ketidakbermoralan dan bukan dalam tuntunan Roh, maka di saat itu Ia sedang mendukakan Roh Kudus atau memadamkan Roh.

ABBA 31

1.       Dalam bagian salam 1 dan 2 Korintus, Paulus menyebut jemaat Allah sebagai orang-orang Kudus. Apakah kita sebagai orang percaya saat ini juga dapat disebut orang kudus? Padahal kehidupan kita tidak luput dari perbuatan dosa?
Jawab:
Ya, secara status kita memang adalah orang-orang kudus, tetapi secara faktual, kita adalah orang-orang yang masih sedang mencapai kekudusan penuh. Untuk memperjelas konsep ini, saya biasa menggunakan istilah perang yang digunakan dalam dunia militerisme Amerika. Orang Amerika menyebut ada dua lapis kemenangan dalam perang, yakni V-Day dan D-Day. V-Day ialah hari dimana status kemenangan sudah terjadi atau diumumkan, sedangkan D-Day adalah hari ketika kemenangan sudah secara penuh dicapai. Ketika Amerika mengebom Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945, segera setelah itu Jepang mengibarkan bendera putih, menyatakan kekalahannya. Nah, saat dimana Jepang menyerah itu, yang secara otomatis menyebabkan Amerika menang, disebut sebagai V-Day atau Hari Kemenangan. Akan tetapi, meski Jepang telah menyerah, Amerika belum menduduki wilayah kekuasaan Jepang. Beberapa bulan kemudian baru Amerika mengerahkan tentaranya dan benar-benar menduduki wilayah kekuasaan Jepang. Nah, saat dimana Amerika telah benar-benar menduduki Jepang itu disebut sebagai D-Day.
Analogi ini membantu kita memahami proses pengudusan kita. Ketika kita percaya kepada Yesus dan menerima pengudusan dari Allah, maka secara otomatis, status kita adalah orang-orang Kudus, sebab Yesus telah menguduskan kita. Kita mengalami V-Day’nya pengudusan. Akan tetapi, di saat yang sama kita belum sepenuhnya menerima pengudusan tersebut, sebab kita masih hidup dalam daging, kita masih bergumul untuk bisa benar-benar hidup dalam kekudusan. Hal ini memang wajar sebab kita baru mengalami V-Day bukan D-Day’nya pengudusan. D-Day pengudusan baru akan kita alami ketika kita ada di sorga. Jadi, secara status kita adalah orang-orang kudus tetapi secara faktual, kita masih dalam perjalanan menuju pengudusan yang sempurna itu.

2.       1 Kor. 14:19, tetapi . . . mengucapkan lima kata yang . . . apa yang dimaksud lima kata? Ayat 20 . . . jadilah anak-anak dalam kejahatan, apa maksudnya?
Jawab:
Ungkapan lima kata merupakan kontras terhadap ungkapan beribu-ribu kata dalam kalimat selanjutnya. Makna ungkapan ini sangat jelas, dalam konteks pertemuan jemaat, Paulus tidak menginginkan ada jemaat yang berbahasa roh bila tidak ada yang menafsirkannya, sebab bahasa roh itu akan menjadi sia-sia bagi jemaat betapapun banyak dan panjangnya bahasa roh itu diucapkan. Bahasa roh tersebut hanya bisa dimengerti oleh pembicaranya, sehingga tidak ada dampaknya bagi jemaat lain. Paulus lebih menyukai kata-kata yang bisa membangun jemaat meski kata-kata itu pendek dan sedikit. Ini mengingatkan kita bahwa tujuan dari karunia roh ialah untuk membangun jemaat, sehingga sebuah “karunia” yang tidak membangun jemaat bukanlah karunia yang sebenarnya.
Sedangkan maksud ungkapan di ayat 20 ialah nasihat agar kita tidak terlatih dalam hal kejahatan. Seorang anak-anak tidak bisa melakukan banyak hal sebab ia tahu dan mampu sangat sedkit, ini berbeda dengan orang dewasa. Dengan menasihati jemaat agar menjadi kanak-kanak dalam kejahatan, itu berarti Paulus menasihati jemaat agar tidak ingin terlalu banyak tahu soal kejahatan bahkan sangat terbatas melakukan kejahatan. Justru yang Paulus inginkan supaya mereka dewasa dalam pemikiran, yakni memiliki perkembangan pemikiran dan mampu berpikir dengan baik dan benar.

3.       1Kor. 14:18, Paulus menganggap karunia bahasa roh suatu bagian yang penting dari kehidupan rohaninya, khususnya dalam doa pribadi kepada Allah. Pengalaman tersebut jarang (bahkan hampir nihil) terjadi pada orang-orang Kristen dengan latar belakang Reformed/Injili. Bagaimana pendapat saudara?
Jawab:
Saya melihat ada dua kemungkinan alasan. Pertama, hal ini nampaknya dilandasi oleh konsep berpikir mayoritas orang Reformed sendiri. Dimulai oleh Benjamin Warfield, mayoritas sarjana Reformed meyakini bahwa karunia-karunia rohani telah berhenti. Konsep berpikir ini biasa disebut sebagai Cessasionism (dari kata Inggris, cease: berhenti). Mereka merujuk pada 1 Kor. 13:10 sebagai dukungan bahwa karunia rohani dan mujzat telah berhenti sejak masa kanonisasi. Ini karena mereka menganggap bahwa frase “yang sempurna” di ayat tersebut merujuk pada proses kanonisasi Alkitab. Jadi ketika yang sempurna itu datang (kanonisasi Alkitab) maka yang tidak sempurna (karunia rohani dan pelbagai mujizat) akan berlalu.
Akibatnya, orang-orang ini tidak berorientasi pada karunia rohani maupun mujizat sebab mereka menganggap hal-hal tersebut sudah tidak ada lagi. Mujizat memang dilakukan Allah dalam memulai sebuah hal, tetapi untuk memelihara hal itu, Allah memakai hal yang alami: demikianlah menurut mereka cara kerja Allah dalam sejarah. Sama dengan itu, mujizat dan karunia yang spektakuler memang dilakukan Allah dalam memulai gereja-Nya, tetapi ketika gereja-Nya telah berdiri, Ia cukup memakai cara alami untuk memelihara gerejanya. Jadi, karena gereja telah berdiri, dan Allah tidak lagi memelihara gerejanya dengan cara luar biasa, maka kita juga tidak perlu berkanjang pada hal-hal spektakuler.
Akan tetapi, belakangan beberapa sarjana Reformed menyadari bahwa pandangan tersebut cenderung lebih dogmatis daripada alkitabiah. Dalam konteks Warfield, sebagai pemula pandangan ini,saya mencurigai bahwa dalam ia memiliki motif pribadi selain alkitabiah-teologis. Saya menduga bahwa pandangan ini lahir dari hasil pergumulannya tentang kesehatan istrinya. Berdasarkan catatan tentang kehidupannya, Warfield mempunyai seorang istri, Annie Pearce Kinkead, yang tak lama setelah pernikahan mereka menjadi trauma berat dan lumpuh total. Setelah pernikahannya, Warfield berniat melanjutkan study-nya di Jerman, maka dia membawa serta istrinya ke Eropa sekaligus juga menghabiskan masa bulan madu mereka pada musim dingin 1876-1877. Mereka tinggal di Leipzig. Pada suatu sore ketika mereka sedang berjalan-jalan di pegunungan Harz, mereka terjebak dalam badai hujan angin yang disertai petir dan guruh yang hebat. Kejadian itu mengakibatkan trauma yang mendalam bagi Annie yang akhirnya menyerang sistim syarafnya. Sejak saat itu Annie mengalami kelumpuhan (entah fisik atau emosinya ataupun kombinasi keduanya; Machen menyebutnya dengan ‘partly nervous’) hingga akhirnya dia meninggal dunia pada 19 November 1915. Selama tahun-tahun tersebut Annie menjalani suatu bentuk kehidupan yang mirip seorang pertapa dan 2 tahun terakhir sebelum kematiannya Annie hanya dapat berbaring di tempat tidurnya. Jadi, selama belasan tahun Warfield merawat istrinya dengan setia tanpa mengalami “secuil mujizat kesembuhan.” Peristiwa ini, menurut saya, tentu akan sangat berpengaruh dalam pergumulan teologis Warfield, secara khusus tentang mujizat Allah. Terlepas apakah dugaan ini benar, tentu mayoritas sarjana Reformed tentu tidak memperhitungkan pengalaman Warfield sebagai landasan berpikir.
Walau begitu, pandangan Warfield dan mayoritas sarjana Reformed tidak mendapat dukungan kuat dari teks. Kata “yang sempurna” dalam 1Kor. 13:10 jelas tidak mungkin tidak merujuk pada proses kanonisasi. Paulus memang nampaknya memiliki keyakinan bahwa tulisannya akan menjadi sebuah catatan penting bagi gereja, tetapi jelas bukan merupakan pembacaan yang alami terhadap teks bila kita menganggap Paulus sedang berpikir tentang kanonisasi. Kata “yang sempurna” lebih masuk akal bila diartikan sebagai kedatangan Yesus yang kedua kali. Sebab bila kita tetap bersikeras mengartikan “yang sempurna” sebagai kanonisasi, maka konsekuensinya, setelah kanonisasi tidak ada lagi hikmat maupun pengetahuan. Analisa ini akhirnya membuat beberapa sarjana Reformed (e.g. Wayne Grudem) menjadi lebih terbuka terhadap eksistensi karunia-karunia rohani saat ini.
Alasan kedua, yang menurut saya dalam hal ini para sarjana Injili memang lebih alkitabiah, ialah karena Paulus memang menekankan pentingnya karunia dalam jemaat, tetapi kita harus juga ingat bahwa ia menekankannya sebagai “karunia,” maksudnya sesuatu yang diberikan Allah sekehendak hati-Nya, bukan sebagai hak milik, untuk membangun jemaat-Nya. Bila memang Tuhan memberikan karunia tersebut, maka kita perlu menerimanya dengan sukacita, tetapi bila tidak kita tidak perlu bersusah-susah mendapatkannya sebab hal itu adalah karunia, pemberian kasih berdasarkan kehendak Allah. Kita juga tidak perlu kuatir sebab bisa jadi Allah ingin memberikan karuna lain yang lebih efektif bagi kita untuk membangun jemaat. Allah tidak menciptakan semua bagian tubuh sebagai kaki, Ia juga menciptakan tangan, mulut, telinga, mata, dsb. Demikianpun Allah tidak memberikan semua orang karunia bahasa roh, sebab ia juga memberikan karunia-karunia lain bagi pembangunan jemaat-Nya. Ini jelas berbeda dengan kalangan tertentu yang berusaha mendapatkan karunia bahasa roh, bahkan bersusah-susah menyediakan hari khusus untuk mendapatkan karunia tersebut. Dua hal inilah yang menurut saya membuat karunia bahasa roh “jarang” terlihat dalam kalangan Injili atau Reformed.

4.       Bagaimana dengan denominasi tertentu dalam ibadahnya pasti muncul bahasa roh bersama-sama dengan semua jemaatnya? Bandingkan dengan 1Kor. 14:26b-28, ayat tersebut sangat jelas dimengerti. Kalau saja praktik ibadah di atas masih berlangsung sekarang, pasti mereka memunyai dasar Alkitab lain, bagaimana hal ini bisa terjadi?
Jawab:
Ya, memang ibadah seperti demikian tidak memiliki dukungan dari teks Alkitab manapun. Dalam nas tadi, Paulus jelas mengatakan bahwa ada batasan yang jelas soal penggunaan bahasa roh dalam pertemuan ibadah jemaat, (1) tidak boleh bersama-sama, paling banyak tiga orang bergantian, dan (2) harus ada yang menafsirkannya sehingga berguna untuk membangun tubuh Kristus. Selain motif pribadi, gereja-gereja aliran tertentu nampaknya medasarkan penggunaan bahasa roh bersama-sama dari kisah-kisah di Kisah Para Rasul. Saat peristiwa Pentakosta, saat Roh Kudus turun pada orang-orang Samaria, dsb, di sana cukup banyak orang berbahasa roh bersama-sama. Akan tetapi penggunaan nas tersebut jelas tidak tepat. Nas-nas Kisah Rasul bukan sedang berbicara tentang bahasa roh dalam konteks karunia jemaat tetapi sebagai tanda dimulainya jaman baru pada kelompok orang tertentu, sebab setelah itu Kisah Rasul tidak pernah mencatat praktik berbahasa roh bersama-sama terjadi lagi dalam sebuah tempat atau kelompok. Jadi, praktik berbahasa roh bersama-sama dalam konteks jemaat tetap bukanlah praktik yang mendapat dukungan dari teks.