ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Rabu, 21 Desember 2011

ABBA 27

1.       Dalam Mrk. 6:5 dikatakan Yesus tidak dapat mengadakan satu mujizat pun di Nazaret, kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit, karena penduduk di sana tidak percaya kepada-Nya. Mengapa demikian, mestinya Ia Mahakuasa?
Jawab:
Ungkapan di dalam Injil Markus ini sebaiknya dipahami sebagai bentuk kesederhanaan tata bahasa Markus. Dalam istilah bahasa, ungkapan Markus ini merupakan perpaduan gaya bahasa hiperbola dan paradoks. Hiperbola ialah gaya bahasa yang melebih-lebihkan sesuatu, sedangkan paradoks ialah gaya bahasa yang nampak bertentangan dengan ungkapan sebelumnya. Markus memakai gaya bahasa hiperbola ketika mengatakan bahwa Yesus tidak mengadakan satu mujizat pun, tetapi ungkapan ini menjadi paradoks ketika ia juga mencatat, “kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan-Nya atas mereka.” Bukankah penyembuhan Yesus ini jelas merupakan suatu mujizat? Injil Matius, yang mengutip Injil Markus, nampaknya memperbaiki gaya bahasa yang kurang bagus dari Markus tersebut. Matius mencatat bahwa “tidak banyak mujizat yang diadakan-Nya di situ” (13:58). Ini berarti Yesus tetap mengadakan mujizat tetapi tidak banyak karena ketidakpercayaan orang-orang di sana. Bahasa Matius ini nampaknya juga lebih sesuai dengan gambaran yang disampaikan Markus.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa mujizat atau karya Tuhan memang bagian Tuhan, sedangkan bagian kita ialah percaya dan beriman kepada-Nya. Iman memang bukan mantra untuk memerintah Tuhan, tetapi iman merupakan bagian yang penting untuk karya Tuhan di dalam hidup kita. Tanpa iman tidak banyak karya Tuhan yang akan bisa kita rasakan atau nikmati. Saya rasa kita tidak akan suka bekerja bagi orang yang tidak mau memberikan kepercayaannya kepada kita, demikian pun Tuhan tidak akan mau bekerja dalam hidup orang yang tidak pernah percaya bahwa Ia sanggup melakukan hal tersebut.

2.       Tanda-tanda orang percaya dalam Mrk. 16:17, 18 (mengusir setan demi nama Yesus, berbicara dalam bahasa-bahasa baru, memegang ular, minum racun tetapi tidak celaka, menyembuhkan orang sakit). Bagaimana dengan orang percaya yang tidak bisa melakukan hal-hal tersebut?
Jawab:
Bagian ini merupakan bagian yang termasuk dalam bagian tambahan Injil Markus. Mayoritas sarjana Perjanjian Baru meyakini bahwa Mrk. 16:9-20 bukanlah bagian asli dari Injil Markus melainkan sebuah bagian yang ditambahkan kemudian. Ada banyak alasan untuk menolak bahwa ayat 9-20 terdapat dalam autografa (naskah asli) Injil Markus, misalnya:
Ø  Bagian ini tidak ditemukan dalam dua salinan yang dianggap sangat penting dan yang usianya lebih tua.
Ø  Bapa gereja Jerome dan Eusebius menyatakan bahwa dalam salinan terbaik yang mereka miliki ternyata tidak ada bagian ini.
Ø  Salinan yang memiliki ayat 9-20 berisi kosa kata dan ekspresi yang berbeda dengan gaya penulisan Markus di 1:1-16:8.
Penambahan ayat 9-20 sangat mungkin merupakan upaya beberapa penyalin untuk menutup Injil Markus dengan “amanat agung” sehingga mirip dengan kitab-kitab injil yang lain. Atau, bisa juga penambahan ini mungkin merupakan upaya para penyalin untuk mengurangi gambaran negatif dari para rasul. Sehingga, kembali pada pertanyaan tadi, lantas bagaimana bila kita tidak bisa melakukan hal-hal yang dicatat dalam Markus 16:17, 18? Secara umum tidak masalah, sebab bagian tersebut bukan firman Allah yang bisa menjadi landasan iman dan pemikiran kita. Alkitab memang tidak mengajarkan kita untuk menjadi pembuat hal spektakuler seperti demikian, Alkitab mengajarkan kita menjadi pelaku kebenaran.

3.       Apakah arti: “darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan” dalam Luk. 13:1-3?
Jawab:
Salah satu karakteristik yang kadang bisa ditemukan dalam penyembahan agama-agama kafir adalah pengorbanan manusia. Mereka menganggap bahwa dengan persembahan yang demikian mereka bisa lebih menyenangkan dewa mereka. Di dalam Perjanjian Lama, kita menemukan ada model persembahan demikian, salah satu yang menonjol ialah persembahan terhadap Molokh, dimana model yang demikian merupakan model yang dikutuk Tuhan (bnd. Im. 18:21; 20:-5; Ul. 18:10; 2Raj. 16:3; 23:10; Yer. 32:35; dsb). Tindakan Pilatus ini merupakan sebuah ritual agama kafir, dimana Ia membunuh beberapa orang dan mengambil darah orang-orang tersebut serta mencampurkan darah mereka dengan korban persembahan bagi dewa sesembahannya. Tindakan ini menimbulkan kegentaran bagi orang Yahudi, sebab ritual tersebut merupakan hal yang terkutuk bagi mereka.

4.       Seringkali kita mendengar syair lagu sebagai berikut: Roh Kudus mari datanglah, hiburkan daku … Bagaimana pendapat saudara?
Jawab:
Bila dipahami literal, maka secara teologis, tentu kalimat tersebut tidak tepat. Salah satu natur Allah ialah Mahahadir, Allah tidak bisa tidak ada dimana-mana. Tidak ada batasan tempat, waktu dan ruang yang bisa membatasi-Nya. Sehingga ungkapan “mengundang Allah” secara teologis bukanlah kalimat yang tepat sebab Ia sudah hadir bahkan sebelum kita meminta-Nya hadir.
Namun, lagu ini juga bisa dipahami dengan cara lain. Pertama, bisa jadi ungkapan tersebut dipahami sebagai ungkapan yang lahir dari petobat baru, atau sebagai kalimat ajakan pertobatan; mengundang Tuhan untuk hadir dan menjadi Raja dalam hidup seseorang. Bila memang demikian, maka lagu tersebut masih relevan dinyanyikan dalam kebaktian KKR atau oleh petobat baru. Kedua, ungkapan ini juga bisa dipahami secara puitis sebagai undangan agar Allah berintervensi (turut campur tangan) dalam kehidupan seseorang. Seringkali dalam hidup, seseorang mengalami sebuah krisis yang begitu berat sehingga ia merasa putus asa yang sangat mendalam, dan melalui “undangan” tersebut ia ingin agar Roh Kudus berintervesi dan menguatkan dia dalam keputusasaan yang mendalam tersebut.
Jadi, kalimat dalam lagu tersebut bisa dipahami secara literal atau, dalam bahasa teologis, secara anthropomorfis (anthropos=manusia; morphe=bentuk), yakni menyematkan bentuk-bentuk kegiatan manusia pada Tuhan dengan tujuan pembaca (manusia) memahami tindakan Tuhan. Anthropomorfi bisa ditemukan dalam banyak bagian dalam Alkitab. Misalnya, Tuhan dikatakan tertawa (Mzm. 2:4; bagaimana bentuk tawa Tuhan?), Roh Kudus dikatakan turun (Kis. 1:8; apakah Roh Kudus pernah naik? Bila memang pernah naik apakah Ia tidak ada di bawah ketika Ia naik?), dan sebagainya. Sehingga, sebelum menilai lagu tersebut, kita perlu lebih dulu memahami apa maksud penggunaan kata atau kalimat tersebut oleh penulisnya. Bila memang kata atau kalimat tersebut dipahami secara anthropomorfi, kita masih bisa meyetujuinya. Namun, bila dalam pengertian literal (Allah yang terbatas ruang dan tempat), kita perlu mengevaluasi ulang penggunaan lagu tersebut dalam ibadah kita.

5.       Kis. 13:43: apakah agama Yahudi dengan ajaran yang Paulus sampaikan sama? Sebagian besar orang Yahudi menolak ajaran Paulus?
Jawab:
Kekristenan memang dalam banyak hal berakar dari Yudaisme. Baik kekristenan maupun Yudaisme sama-sama menerima tiga puluh sembilan kitab Perjanjian Lama sebagai kitab suci mereka. Pada awalnya, baik orang-orang Kristen maupun orang Yahudi sama-sama beribadah di rumah ibadat Yahudi (Bait Allah maupun sinagoge). Itu mengapa dalam beberapa hal, orang Yahudi masih bisa menerima ajaran Paulus, karena ajarannya juga berakar dari Perjanjian Lama. Akan tetapi, ada titik beda utama antara orang Kristen dan orang Yahudi dalam memandang Perjanjian Lama, yakni Yesus sebagai Mesias. Orang Yahudi memandang sosok Yesus bukanlah Mesias yang dijanjikan, sebab bagi mereka Mesias harus membawa perubahan politis seperti Daud (bnd. Kis. 1:6-7), dan bukan “mati konyol” seperti Yesus. Menganggap Yesus sebagai Mesias merupakan sebuah penghinaan besar bagi mereka, terlebih orang Kristen berusaha membuktikan kemesiasan Yesus dengan dasar dari Perjanjian Lama (bnd. 1Kor. 1:23). Titik beda ini membuat orang Yahudi memusuhi dan menganiaya orang-orang Kristen dengan sangat sengit.
Lalu mengapa orang-orang Yahudi di Antiokhia bisa mengikuti Paulus dan Barnabas? Jawabnya jelas, mereka percaya karena kasih karunia Allah. Ini juga sesuai dengan teologi Alkitab bahwa kepercayaan seseorang kepada Allah datangnya dari Allah sendiri (bnd. Mis. 9:31; 13:48; 16:14; 1Kor. 12:3, dsb). Kata “tetap hidup di dalam kasih karunia Allah” nampaknya mengindikasikan bahwa mereka percaya atas apa yang telah diberitakan oleh Paulus (atau bisa juga jauh sebelumnya), dan karena itu Paulus menasihati mereka supaya tetap hidup dalam karunia yang membuat mereka percaya tersebut.

6.       Kis. 13:48. Semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal menjadi percaya. Kata yang penting di atas adalah ditentukan atau dipilih Allah, berati ada bagian orang lain yang tidak ditentukan menerima hidup kekal.
-          Untuk orang yang masuk bagian ini, betapa tragisnya dilahirkan dalam dunia ini, padahal Pencipta mereka adalah Allah yang sama. Bagaimana ini dapat masuk akal sehat manusia?
-          Bagi yang terpilih bersyukur atas anugerah-Nya, apakah ada hal-hal yang menyertai keterpilihannya itu? Jangan-jangan semuanya semu belaka yang pada hakekatnya masuk bagian yang tidak terpilih?
Jawab:
Paulus mencatat bahwa semua manusia telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Ini artinya tidak ada satupun manusia di sepanjang zaman dan di seluruh dunia yang tidak terinfeksi oleh dosa. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa upah dari dosa tersebut ialah maut atau kebinasaan (Rm. 6:23a). Artinya, semua manusia yang pernah ada, yang terinfeksi oleh dosa tersebut, ketika mati pasti menemui kebinasaan atau neraka. Para nabi, para tokoh besar agama, para teolog besar, bahkan saya sendiri, seandainya ketika mati masuk ke dalam neraka tidak memiliki hak untuk protes, sebab kebinasaan merupakan konsekuensi yang memang harus kita semua terima. Dalam kondisi wajar, kematian semua manusia hanya akan membawanya kepada neraka. Sehingga, dengan demikian, kebinasaan seseorang bukanlah penentuan Allah melainkan memang konsekuensi logis dari keberdosaan kita.
Apakah Allah tidak adil? Tentu tidak. Dalam Rm. 9:15-16, menjelaskan bahwa “Aku (Tuhan) akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati. Jadi hal itu (pemilihan Allah) tidak tergantung pada kehendak atau usaha orang, tetapi pada kemurahan hati Allah.” Keselamatan bukan soal adil atau tidak, tetapi soal anugerah Allah. Sebuah contoh pembanding, bila saya sedang berhenti di sebuah perempatan, dan tiba-tiba datang lima orang pengemis kepada saya, apakah saya harus memberikan uang kepada mereka berlima? Seandainya saya memberikan uang hanya pada satu orang saja, apakah pengemis tersebut bisa protes? Tentu tidak, itu hak saya untuk memberikan uang kepada siapa saya ingin memberikan. Demikianpun Allah berhak memberikan anugerah keselamatan kepada siapa Ia berkehendak. Apakah Ia tidak adil? Tentu tidak. Keselamatan adalah anugerah-Nya sehingga Ia tidak memiiki kewajiban untuk menyelamatkan siapapun!
Bila memang keselamatan berbicara soal adil dan tidak adil maka ada tidak ada seorang pun yang layak selamat sebab semua orang harus menerima konsekuensi keberdosaannya. Lagipula, “ketidakadilan” Allah sebenarnya terjadi bukan pada orang yang tidak diselamatkan melainkan pada orang-orang yang dipilih untuk diselamatkan. Mengapa demikian? Sebab ketika Allah menyelamatkan seseorang, itu berarti ia tidak memberikan upah yang seharusnya pada orang-orang tersebut. orang-orang tersebut seharusnya menerima kebinasaan tetapi karena Allah, orang-orang tersebut justru menerima hidup yang kekal. Bukankah itu suatu “ketidakadilan”?
Lalu apakah tanda orang yang diselamatkan? Allah memang tidak memberikan tanda eksplisit terhadap orang yang dipilih untuk diselamatkan-Nya. Tetapi, di dalam banyak bagian Kitab Suci, jelas dituliskan bahwa tanda utama keselamatan seseorang ialah perubahan hidup dan karakter yang makin seperti Kristus. Orang yang telah diselamatkan seharusnya memiliki hidup yang semakin baik, baik dalam hal moral terlebih spiritual. Seseorang yang mengaku telah diselamatkan tetapi tidak ada perubahan positif dalam hidupnya, maka orang tersebut patut mempertanyakan kembali keselamatannya. Tapi bagaimana bila orang yang diselamatkan jatuh dalam dosa? Alkitab mencatat bahwa perubahan kita merupakan sebuah proses pergumulan panjang seumur hidup. Perubahan hidup bukan sebuah sulap yang terjadi dalam sekejap mata, melainkan perjuangan selama hidup. Walau begitu perubahan tersebut bersifat pasti. Orang pilihan memang bisa jatuh dalam dosa, tetapi mereka tidak berkubang dalam dosa. Ketika mereka jatuh dalam dosa, maka mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dari kejatuhan dalam dosa tersebut.

7.       Saya pernah mendengar seorang pengkotbah mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah perzinahan yang dilegalkan. Bagaimana pendapat Anda?
Jawab:
Ungkapan tersebut jelas tidak Alkitabiah. Pertama, pernyataan tersebut mengasumsikan bahwa pada mulanya Allah menciptakan perzinahan, yang kemudian karena satu atau beberapa hal, dilegalkan dalam institusi perkawinan. Dengan kata lain, Allah pada mulanya menciptakan dosa (perzinahan), dan kemudian melegalkan dosa tersebut. ini jelas salah, Allah tidak menciptakan dosa. Lagipula, dosa bukan merupakan suatu entitas (keberadaan nyata) tetapi ketiadaan entitas. Demikianpun perzinahan bukanlah standar, perzinahan merupakan pelanggaran terhadap standar dasar, yakni pernikahan.
Kedua, saya menangkap kesan pengkotbah tersebut mengaitkan perzinahan dan pernikahan dengan soal relasi seksual. Pernikahan ialah relasi seksual yang dilegalkan, sedangkan perzinahan ialah relasi seksual di luar pernikahan. Definisi ini memang benar, meskipun pernikahan dan perzinahan bukan hanya sekedar soal relasi seksual, tetapi penting juga diingat bahwa Allah tidak menciptakan pernikahan untuk relasi seksual, melainkan memberikan relasi seksual sebagai berkat bagi pernikahan (Kej. 1:28). Jadi, Allah tidak menciptakan relasi seksual dulu, melainkan pernikahan lebih dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar