ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Rabu, 27 Oktober 2010

Tokoh-tokoh Reformasi

Salam Sejahtera,
Jemaat Hosana, bila kita mengamati kiri kanan dinding di dalam gereja kita selama bulan ini, di sana kita melihat terpasang beberapa gambar tokoh Reformasi dan semboyan dasar Reformasi. Kali ini kita akan coba sedikit berkenalan dengan tokoh-tokoh tersebut dan memahami sumbangsih mereka bagi gerakan Reformasi pada umumnya, serta gereja-gereja Reformasi pada khususnya. Diharapkan setelah membaca kisah mereka, kita bisa meneladani sikap-sikap positif mereka, terutama dalam hal menyuarakan kebenaran Allah di sepanjang masa meskipun ada harga yang mahal yang harus kita tanggung unutk kebenaran tersebut. Tuhan memberkati. Soli Deo Gloria.


John Wyclife (1324-1384)
John Wyclife merupakan seorang reformator yang hidup sebelum peristiwa reformasi pada tahun 1517.  Dia disebut sebagai the Morning Star of the Reformation” (bintang fajar Reformasi) karena ketegasannya terhadap otoritas Paus (bahkan nantinya ia menyebut Paus sebagai si Anti-Kristus) dan penolakannya terhadap praktik dan pengajaran yang tidak alkitabiah di dalam gereja; semangat yang nantinya diteruskan oleh para reformator. Sumbangsih terbesar Wyclife untuk gereja ialah usahanya menerjemahkan Alkitab dalam bahasa asli ke dalam bahasa setempat, dalam hal ini bahasa Inggris.
Pada masa itu, Gereja Roma Katolik menggunakan kitab Suci maupun tata ibadah (baik doa dan kotbah) berbahasa Latin, meskipun banyak jemaat tidak mengerti bahasa Latin. Akibatnya, ibadah menjadi tak ubahnya seperti upacara yang wajib jemaat hadiri tiap minggu tanpa mengerti apa makna dan faedahnya. Gereja juga melarang jemaat memiliki dan membaca Alkitab untuk menghindari apa yang mereka sebut salah tafsir. Namun, Wyclife menentang kedua hal tersebut. Ia beranggapan bahwa jemaat berhak membaca dan memiliki Alkitab serta memahaminya dalam bahasa mereka sendiri. Menggunakan salinan tulisan tangan Vulgata (Alkitab terjemahan bahasa Latin), Wycliffe berusaha keras membuat Kitab Suci agar dapat dimengerti oleh orang- orang sebangsanya yang berbahasa Inggris. Edisi pertama diterbitkan. Penerbitan kedua mengalami perbaikkan tetapi baru selesai dikerjakan setelah Wycliffe meninggal. Edisi itu dikenal sebagai "Alkitab Wycliffe", dan dibagi- bagikan secara ilegal oleh para Lollard (skolar dari Oxford).
Tindakan Wyclife ini menimbulkan kebencian yang mendalam pada kubu Roma Katolik. Sedemikian bencinya, tiga puluh satu tahun setelah Wycliffe dikuburkan, Konsili Konstanz mengucilkan dan menghukum dia. Pada tahun 1428 kuburannya digali dan tulang-tulangnya dibakar, abunya disebarkan di sungai Swift. Namun, sebagaimana air mengalirkan abunya kemana-mana, semangatnya juga menyebar dan membangkitkan kesadaran banyak orang pentingnya membaca dan memahami Alkitab.


Martin Luther (1483-1546)
Luther kecil terlahir dari kalangan keluarga bangsawan, maka tidaklah mengherankan bila ia mendapatkan kesempatan untuk belajar di universitas terkemuka. Pendidikan yang ia terima, membuatnya menjadi seorang yang kritis dan disegani. Namun, sebuah pengalaman selamat dari bahaya petir membuatnya meninggalkan semua itu dan berkomitmen untuk menyerahkan hidupnya menjadi seorang biarawan, meski orang tuanya tidak menyetujui keinginannya tersebut. Namun, Luther tak peduli.
                Selama menjalani pembentukan di biara, Luther merupakan seorang yang sangat pandai dan saleh. Semua itu diperbuatnya untuk mencapai kepastian tentang keselamatannya. Tetapi, semuanya justru membawa dia dalam ketidakpastian. Pembelajarannya terhadap Roma 1:16-17  akhirnya membawa dia pada satu keyakinan bahwa kesalehan seseorang tidak akan membawa seseorang dekat kepada Tuhan. Hanya oleh anugerah Tuhan yang diterima melalui iman lah, Tuhan membawa seseorang berkenan kepadanya. Pemahaman ini membuat dia merasa celik dan bersukacita.
Penemuan Luther ini tidak menjadi titik tolak meletusnya gerakan reformasi. Pada masa pemerintahan Paus Leo X diadakan penjualan Surat Indulgensia (penghapusan siksa) untuk pembangunan gedung Gereja Rasul Petrus di Roma dan pelunasan hutang Uskup Agung Albrecht dari Mainz. Dengan memiliki Surat Indulgensia, dengan cara membelinya, seseorang yang telah mengaku dosanya di hadapan imam tidak dituntut lagi untuk membuktikan penyesalannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan para penjual Surat Indulgensia (penghapusan siksa) melampaui batas-batas pemahaman teologis yang benar dengan mengatakan bahwa pada saat mata uang berdering di peti, jiwa akan melompat dari api penyucian ke surga, bahkan dikatakan juga bahwa surat itu dapat menghapuskan dosa.
Luther tidak dapat menerima praktik seperti itu dengan berdiam diri saja. Hatinya memberontak. Itulah sebabnya ia mengundang para intelektual Jerman untuk mengadakan perdebatan teologis mengenai Surat Indulgensia. Untuk maksud itu Luther merumuskan 95 dalil yang ditempelnya di pintu gerbang gereja istana Wittenberg, 31 Oktober 1517. Akibat dari penempelan dalil ini membuat ia harus mengalami bermacam tekanan dari Roma Katolik, namu ia tidak peduli, sebab ia tidak bisa membiarkan hati nuraninya terdiam melihat gereja menginjak-injak kebenaran Allah. Tanggal penempelan dalil ini kemudian diperingati sebagai Hari Reformasi.


Ulrich Zwingli (1484-1531)
Zwingli lahir di Swis dan terdidik dalam keluarga Katolik Roma yang taat. Pola pikirnya cukup dipengaruhi oleh seorang pemikir besar humanis pada waktu itu, yakni Erasmu. Pada tahun 1518, ia dipanggil menjadi imam di Zurich dan mulai berkotabh menurut urutan kitab Perjanjian Baru. Tujuannya ialah mengajarkan Kristus dari sumbernya dan menyatakan Kristus yang sejati dalam hati umat. Sama seperti Luther, Zwingli juga mengajarkan bahwa Alkitab lah, dan bukan gereja, yang menjadi sumber kebenaran Kristen.
Ketika di Zurich juga terjadi penjualan surat Indulgensia, Zwingli memperingatkan umatnya agar jangan membeli surat tersebut. Selama dua tahun pertama, ia berusaha mengambil sikap netral. Ia hanya berusaha mengajarkan kebenaran Injil apa adanya. Namun, ketika kebebasannya untuk mengajarkan Injil dibatasi, ia mulai merasa gerah. Ia mulai mewujudkan ketidaksetujuannya dengan menikahi Anna Reinhard di tahun 1522. Ia meminta dewan kota mengadaan perdebatan agama. Ia juga menerbitkan 67 dalil yang menunjukkan bahwa hanya Kristus juruselamat dan pengantara. Perdebatan yang diadakan pada tahun 1523 membuat dewan kota simpatik padanya.
Dalam 67 dalilnya, ia menunjukkan bahwa Alkitab ialah otoritas utama yang menjadi petunjuk bagi Kekristenan, Kristus adalah satu-satunya pengantara sehingga tidak perlu ada pengantara-pengantara yang lain. Reformasi berkembang dari Zurich ke kota-kota lainnya. Perkembangan ini menimbulkan ketegangan yang memuncak pada peperangan antara kota-kota Katolik dan kota Reformatoris pada tahun 1529. Peperangan berakhir dengan kekalahan pihak Reformatoris, dan Zwingli gugur dalam pertempuran di Kappel.

 
John Calvin (1509-1564)
Luther memang merupakan seseorang yang berjasa besar dalam membuka pintu Reformasi, namun dalam hal menata isi sebuah sistem Reformasi, kita sangat berhutang pada Calvin. Sebab hampir semua konsep teologi Reformed hari ini merupakan buah pikiran atau pengembangan dari buah pikiran Calvin, meskipun Calvin sendiri mengembangkan pemikiran Agustinus. Calvin lahir di Noyon, Prancis pada tahun 1509, 8 tahun sebelum Luther memakukan 95 tesisnya di pintu gereja di Wittenberg, Calvin adalah tokoh Reformasi generasi kedua. Ia belajar di beberapa sekolah untuk mendapat pendidikan humanisme.
Di antara banyak kontribusi yang diberikan oleh Calvin bagi Reformasi, buku Institutio merupakan yang paling bertahan. Pada awalnya, buku ini merupakan sebuah pembelaan yang ditujukan Calvin pada raja Perancis, untuk menunjukkan bahwa Protestanisme bukanlah ajaran sesat, melainkan justru sebuah ajaran yang berlandaskan Alkitab. Menjelang penerbitan edisi terakhirnya tahun 1559, buku ini telah bertumbuh dari eksposisi ringan doktrin Kristen (enam bab) menjadi karya teologi Reformasi yang paling signifikan. Mula-mula buku ini adalah suatu diskusi tentang Sepuluh Perintah Allah, Pengakuan Iman Rasuli, dan Doa Bapa Kami. Dalam bentuk finalnya yang terdiri dari delapan puluh bab, buku ini diorganisasi menjadi empat buku yang terdiri dari pokok bahasan tentang Allah, Kristus, Roh Kudus, dan gereja.
Setidaknya ada tiga konsep teologis Calvin yang mempengaruhi gereja Reformed. Pertama, soal kedaulatan Allah. Ide-ide Calvin, seperti juga ide-ide Luther, pada dasarnya menghidupkan kembali Augustinianisme. Prinsip fundamental yang mengisi setiap bab Institutes-nya adalah pandangannya tentang Allah sebagai Raja yang berdaulat atas segala ciptaan. Kedaulatan Allah bukanlah suatu ide yang abstrak dan spekulatif, tetapi merupakan suatu prinsip yang dinamis, suatu realitas yang menginformasikan kehidupan yang konkret, yang membentuk diskusi Calvin tentang setiap doktrin.
Kedua, soal manusia. Karena Allah adalah Raja yang berdaulat yang memerintah atas ciptaan-Nya, maka segala sesuatu yang diciptakan-Nya, termasuk manusia, harus melayani dan memuliakan Dia. Moto Calvin menjelaskan tugas kita: "Hatiku kupersembahkan kepada-Mu, O Tuhan, siap dan tulus." Karena manusia telah berdosa, mereka tidak hidup sesuai maksud asali mereka. Seperti Luther, Augustinus, dan Paulus, Calvin dengan tajam mempertentangkan kemuliaan dan ketulusan asali manusia sebagai gambar Allah dengan kerusakan dan kefasikannya setelah kejatuhan. Kerusakan yang kita warisi berarti bahwa setiap kehendak individual diperbudak oleh dosa, dan kita sama sekali tidak dapat melakukan yang baik. Manusia yang jatuh tidak memunyai kehendak bebas moral. Karena kehendak manusia dalam keadaan naturalnya, belum ditebus, adalah hamba dosa, hanya orang-orang yang telah dibebaskan oleh anugerah Allah-lah yang adalah agen-agen moral yang bebas. Dan ketiga, soal predestinasi. Bahwa dalam kehancuran manusia, Allah yang berdaulat itu, dalam keagungan hikmat-Nya, telah memilih sebagian manusia untuk diselamatkan dan membiarkan sisanya tetap dalam kebinasaan. Allah menjamin keselamatan mereka hingga akhirnya mereka diserupakan seperti Kristus.


Philip Melanchton (1497-1560)
Melanchthon dilahirkan dari keluarga yang terhormat dan saleh pada 16 Februari 1497 di Bretten, Palatin, Jerman. Ia adalah salah seorang sarjana Jerman yang matang sebelum waktunya. Ia memiliki keahlian dalam banyak bidang ilmu pengetahuan terutama philologi klasik. Pada umur 17 tahun ia telah memperoleh gelar MA dari Universitas Tubingen. Ia menulis dan berbicara dalam bahasa Yunani, Latin lebih baik daripada orang Jerman lainnya. Puisi-puisinya disusun juga dalam bahasa-bahasa itu.
Ia memulai karyanya di depan umum di Universitas Tubingen sebagai dosen bahasa-bahasa klasik. Namanya terkenal di mana-mana sehingga datanglah tawaran untuk menjadi mahaguru pada Universitas Ingolstadt, Leipzig dan Wittenberg. Ia memutuskan untuk pergi ke Wittenberg untuk menjadi mahaguru Yunani. Di Wittenberg, Melanchthon mendapat penghormatan yang besar dari rekan mahagurunya serta pendengar-pendengarnya. Melanchthon adalah seorang yang berperawakan tinggi, berdahi lebar, bermata biru yang bagus. Kecendekiawannya tidak perlu diragukan dan demikian juga dengan kesalehan dan hidup keagamaannya.
Melanchthon mempersiapkan suatu theologia yang sistematis untuk golongan reformatis sementara Luther berada di Watburg. Karangannya itu disebut LOCI COMMUNES, yang diselesaikannya pada tahun 1521. Dalam buku ini Philip Melanchthon menguraikan ajaran-ajaran pokok reformatis terutama mengenai dosa dan anugerah; pertobatan dan keselamatan. Loci merupakan buku dogmatik pertama dari kalangan reformatoris serta mempersiapkan jalan kepada Pengakuan Augsburg, di mana Melanchthon menyusunnya sendiri. Pengakuan Augsburg ini adalah salah satu surat pengakuan resmi Gereja Lutheran.
Melanchthon memainkan peranan penting dalam diet-diet yang diadakan oleh kaisar Karel V. Ia hadir dalam Diet Speyer, 1529; di Margburg, 1529. Dalam diet Margburg ia menentang dengan keras ajaran Zwingli tentang perjamuan kudus. Melanchthon di masa-masa akhir hidupnya mencurahkan perhatiannya kepada mengorganisir gerejanya di Saksen atas dasar semi-episkopal. Karena pandangan-pandangan theologinya mirip dengan Calvin, maka Philip Melanchthon sering dicurigai sebagai Cripto-Calvinisme (Calvinisme tersembunyi). Melanchthon meninggal pada tahun 1560 di Wittenberg.


John Knox (1514-1572)
Lahir sekitar 1514 di Skotlandia, Knox memainkan pernana penting dalam reformasi gereja di Skotlandia. Tidak diketahui jelas kanapan pertobatannya, namun yang jelas pada akhir Maret 1543, ia mulai berkomitmen terhadap Injil Kristus. Ia dididik di universitas St. Andrew. Ketika memiliki kesempatan untuk berkotbah dari Daniel 7:24-24, terlihat jelas bahwa sebenarnya, ia sedang mempersipakan dirinya untuk menyerang akar sistem Katolisisme.
Setelah dibebaskan dari kerja paksa di tahun 1549, Knox tinggal di Inggris dan menjadi pelayan dan Gereja Inggris. Ia sempat berpindah ke Franfurt dan Jenewa, namun akhirnya kembali lagi ke Inggris. Di Jenewa, Knox belajar di bawah bimbingan Calvin, itulah mengapa pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Calvin. Pada tahun 1559, Knox kembali ke Skotlandia dan membantu memperbaharui gereja di sana. Ia merupakan salah satu dari enam tokoh reformasi terpenting di Skotlandia. Knox meninggal tahun 1572.
Selama hidupnya Knox berhasil menyusun beberapa karya, dengan bantuan orang lain maupun hasil pemikirannya sendiri, di antaranya: Book of Discipline (Buku Disiplin, 1561), Book of Common Order (Buku Aturan Umum, 1564), Scots Confession (Pengakuan Iman Skotlandia yang diterima Parlemen Skotlandia dan menjadi Pengakuan Iman Gereja Reformasi Skotlandia sampai tahun 1647, hingga Pengakuan Iman Westminster menggantikannya), serta menulis History of the Reformation of Religion within the Realm of Scotland (Sejarah Reformasi Agama dalam Kerajaan Skotlandia, yang baru terbit secara lengkap tahun 1644).


Dari berbagai sumber,
Bezaleel Stefanus Kristianto

Sabtu, 23 Oktober 2010

TEOLOGI: DEGRADASINYA DALAM GEREJA DAN SEMINARI

Teologi ialah bentuk usaha manusia untuk mengenal Allah. Tiap orang pasti memiliki pijakan untuk memulainya. Dalam teologi Kristen hal ini harus dimulai dari Allah, sebab tanpa insiatif Allah tidak mungkin manusia bisa mengenal Allah dengan benar. Karena berbicara tentang pencipta alam semesta, maka teologi tentu bukanlah sebuah disiplin ilmu yang biasa-biasa.

Pada abad pertengahan, teologi merupakan “the queen of sciene” atau ratu ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan tingginya nilai teologi pada masa itu. Seseorang tidak bisa mengambil kuliah teologi bila ia tidak mempunyai dasar ilmu yang lain. Seolah terisrat bahwa teologi merupakan sebuah ilmu yang begitu ekslusif. Hanya orang-orang dengan kapasitas tertentu yang layak untuk mempelajarinya.

Namun, Sejalan dengan waktu, karena sebuah insiden gereja dengan Galileo Galilei dan Nikolaus Copernikus, nilai teologi menjadi jatuh. Sebuah interpretasi yang tidak bertanggung jawab dari para rabi waktu itu membuat banyak orang mulai sinis dengan ilmu ini. Tentu pertanyaan yang langsung menyeruak di benak kita ialah bagaimana nilai teologi kini?

Ketika berbicara tentang teologi, maka kita harus menyebut dan menelaah dua sumber utama dimana teologi itu dikembangkan, yakni gereja dan seminari. Gereja merupakan tempat dimana jemaat mendapatkan ilmu teologi dari hamba Tuhannya dan juga mengembangkan teologinya. Sedangkan seminari merupakan tempat dimana jemaat mempersiapkan dan membekali diri untuk menjadi pengajar teologi di gereja ataupun meneruskan suksesi pengajaran di seminari. Karena itu kita akan coba menyapa keadaan teologi di kedua lokasi tersebut.


Teologi dalam Gereja
Satu hal yang mengenaskan ialah penilaian jemaat yang timpang terhadap teologi. Mereka menganggap teologi hanyalah konsumsi dosen teologi, mahasiswa teologi dan para hamba Tuhan. Bila mereka mendengar kata “teologi,” maka serta merta pikiran mereka akan  langsung tertuju entah pada seminari, sekolah Alkitab, mahasiswa teologi atau pun para hamba Tuhan. karena itu, teologi merupakan tugas mereka dan bukan tugas jemaat. Mereka memperlakukan hamba Tuhan tak ubahnya seperti koki yang mereka bayar (entah dalam bentuk perpuluhan atau pun honor bulanan) untuk menyediakan makanan siap saji bagi mereka setiap minggunya.

Sayangnya, pemahaman demikian merupakan pemahaman yang terlalu naif. Dalam batas-batas tertentu, teologi ialah milik semua orang. Ketika seorang tukang becak ditanya tentang bagaimanakah Allah itu, jawabannya merupakan teologinya. Ketika seorang tukang jamu memahami Allah yang baik ialah Allah yang membuat dagangannya laris, itu pun merupakan teologinya. Bahkan ketidakpercayaan seorang ateis terhadap eksistensi Allah pun merupakan sebuah teologi. Setiap orang pasti berteologi, terlepas benar atau tidaknya teologi tersebut.

Karena itu berteologi ialah tugas jemaat, atau lebih tepatnya, berteologi yang benar juga merupakan tugas jemaat. Jemaat tidak bisa membiarkan teologi hanya menjadi konsumsi para rohaniwan, sebab mereka pun layak untuk menelannya. Kerumitan yang ada dalam teologi, dalam taraf tertentu, juga merupakan makanan keras yang mereka harus kunyah sebagai seorang dewasa (Ibr. 5:14)

Ketika saya mempelajari katekismus Heidelberg, saya menjadi terhenyak mengingat katekismus tersebut mulanya ditujukan untuk anak-anak remaja yang beranjak dewasa. Padahal jemaat hari ini mendengar kata katekisasi, katekismus, atau sejenisnya saja sudah merasa pening. Namun, ternyata katekismus yang dianggap sulit oleh jemaat hari ini merupakan konsumsi remaja yang sedang berkembang! Menilik sejarah gereja, terutama pada zaman Calvin di Jenewa, kita akan melihat sangat merosotnya nilai teologi pada zaman ini. Pada zaman Calvin, salah satu bahan kotbah yang harus disampaikan ialah topik-topik teologi sistematika. Sementara pada masa sekarang, jemaat cenderung mencari pengajaran yang dangkal, kalau tidak mau dibilang tidak berisi, yang menyenangkan mereka, yang membuai mereka dengan janji-janji surgawi, juga yang membantu mereka mengembangkan potensi diri, bukan menumbuhkan kerohanian mereka.

Bagi jemaat hari ini, mendengarkan kotbah yang banyak diisi kesaksian dan perjalanan surgawi lebih menarik tinimbang kotbah yang meneliti teks Kitab Suci dan menjelaskannya dengan mendetil. Bisakah Anda rasakan menurunnya nilai teologi saat ini? Dengan menurunnya nilai teologi, maka otomatis menurun pula kadar kerohanian dan pengenalan jemaat terhadap Tuhan dan firman-Nya. Kesalehan yang tidak didasarkan pada pengenalan Kitab Suci yang dangkal cenderung menjerumuskan orang hanya pada kesalehan yang artifisial dan tidak biblikal. Saat ini waktunya jemaat untuk mulai bangkit dan mencintai teologi yang benar. Tidak lagi berkutat dengan “teologi yang dangkal” namun berusaha mengejar kebenaran yang mereka rasa tidak relevan itu, meski nantinya mereka akan ikut terlihat tidak relevan. Mungkin jemaat perlu mempertimbangkan apa yang dikatakan Wells dalam pengantar bukunya No Place for Truths, “mereka yang paling relevan bagi dunia ini adalah yang dinilai paling tidak relevan.”

Teologi dalam Seminari
Seminari merupakan wadah dimana para pengajar gereja dan penerus suskesi pengajaran di seminari, dipersiapakan untuk mampu melaksanakan tugasnya. Karena perannya yang signifikan, maka seminari memiliki peranan yang besar dalam pembentukan teologi dalam jemaat. Jemaat yang memiliki pengajaran yang dangkal bisa dideteksi mulai dari seminari. Bisa jadi para alumni seminari tersebut tidak mendapatkan input yang memadai sehingga ketika menjadi pengajar dalam gereja, mereka juga kepayahan. Bisa juga karena calon pengajar yang dipersiapkan tersebut sudah terkena dampak menjauhi teologi yang benar, seperti jemaat pada umumnya. Sehingga ketika dia memasuki ranah teologi yang luas, dia sudah menutup diri terlebih dahulu. Atau bisa juga karena “fhobia” dengan teologi, maka jemaat tidak lagi mau berhubungan dengan seminari. Di tengah berbagai kemungkinan ini, seminari memiliki peran dalam membentuk pengajar-pengajar yang siap menggarami gereja Tuhan dengan pengajaran yang benar.

Namun, sama seperti gereja, seminari pun juga mengalami kemerosotan dalam berbagai bentuk. Pertama, seminari menjatuhkan nilai teologi itu sendiri dengan melangkah terlalu jauh menuju liberalisme. Kebebasan berpikir memang sesuatu yang harus dijunjung tinggi namun dengan tetap mengakui keterbatasan akal budi kita di hadapan Tuhan. Topik ini merupakan topik yang sangat luas, sehingga saya tidak bisa membahasnya di sini. Kedua, seminari bisa juga menjatuhkan nilai teologi dengan progran-program yang dijalankannya. Sadar atau tidak, program seminari juga akan membentuk bagaimana pandangan jemaat terhadap teologi.

Ketika saya sedang menyelesaikan studi sarjana saya, dunia pendidikan teologi di Surabaya sempat diguncangkan dengan program dari sebuah seminari di Surabaya Timur. Seminari ini memberikan beasiswa penuh bagi tiga ratus pendaftar pertama. Walaupun terlihat sepele, namun tanpa disadari promo ini membuat jemaat jadi menilai teologi sebagai ilmu rendahan. Teologi seolah merupakan bidang studi yang sepi peminat dan karena itu harus mengemis-ngemis mahasiswa dengan berbagai iming-iming. Maka tidak heran bila di sekeliling Anda, Anda akan menemui lulusan-lulusan sekolah menengah atas (SMA) yang putus asa karena tidak diterima di universitas manapun, kemudian mengambil keputusan untuk masuk sekolah teologi. Teologi akhirnya menjadi pilihan buncit bagi siswa yang putus asa.

Ketika menjelang lulus sarjana, dunia pendidikan teologi di Surabaya kembali diguncangkan oleh program sebuah seminari konsorsium. Seminari ini bisa memberika gelar Sarjana Teologia bagi siswanya hanya dalam waktu dua tahun ketika normalnya harus memakan waktu empat sampai lima tahun. Bahkan, bila sekolah lain memprasyaratkan lulusan sekolah menengaah atas (SMA) sebagai pendaftaranya, lulusan ini bisa meluluskan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) tanpa perlu ada penyetaraan. Seminari ini juga bisa memberikan gelar magister dalam waktu enam bulan dan memperhitungkan lama pelayanan sebagai kredit SKS. Bahkan untuk tiap mata kuliahnya, tidak ada syarat kelulusan yang jelas seperti ujian atau tugas-tugas kuliah.

Bisa Anda bayangkan? Tanpa disadari, melalui dua fenomena di atas, teologi dijadikan ilmu yang murahan bagi hamba Tuhan yang notabene adalah pengajar jemaat. Teologi identik dengan gelar dan prestise di hadapan jemaat, bukan pengetahuan dan tanggung jawab di hadapan Tuhan. Ketika merenungkan hal ini, saya teringat kisah mantan rektor saya tentang seorang magister divinitas (M.Div) yang tidak tahu apa itu simbol “LXX.” Saya jadi tersadar, tidak heran banyak pengajar yang tidak bertanggung jawab dalam jemaat, sebab ternyata beberapa seminari, sadar atau tidak, telah membentuk pengajar-pengajar yang demikian.

Penutup
Ini adalah saat dimana gereja dan seminari perlu kembali pada haluan yang benar. Tugas utama gereja dan seminari ialah mengajar dan belajar teologi yang benar. Teologi bukanlah benda surgawi konsumsi para hamba Tuhan, melainkan sebuah anugerah yang Tuhan berikan bagi semua umat-Nya. Teologi ialah sesuatu yang berasal dari Allah, untuk jemaat, dan bagi kemuliaan Allah.

Teologi juga tidak identik dengan gelar yang mentereng. Teologi ialah pengenalan yang baik terhadap Tuhan, yang bukan hanya tahu semua teori tentang Tuhan namun juga menghidupi pengtahuan itu di dalam hidup. Hari ini, tugas kita semua yang mencintai kebenaran untuk bangkit dan menyuarakan kebenaran. Terutama bagi para pengajar, suarakanlah kebenaran. Bukan hal-hal yang semata menghibur jemaat namun yang menegur dan menumbuhkan mereka serupa Kristus. Bukan semata membantu mereka mengembangkan potensi diri, tapi juga mengajak mereka untuk mencintai Tuhan dengan semua potensi mereka. Kiranya Allah yang penuh dengan segala rahmat memampukan kita untuk melakukan tugas ini. Semoga . . .


Soli Deo Gloria,
Bezaleel Stefanus Kristianto

ABBA 14

1.       Dalam 1 Samuel 25:44, tertulis Saul memberikan Mikhal, istri Daud, kepada orang lain, yaitu Palti bin Lais. Kenapa bisa demikian?
Jawab:
Saul merasa memiliki hak sebagai ayah untuk memberikan Mikhal kepada orang lain. Terlebih sejak Daud melarikan diri dari Saul, nampaknya Daud sudah tidak lagi memiliki akses untuk berhubungan dengan Mikhal. Tindakan ini nampaknya dilandasi oleh motif kebencian Saul kepada Daud. Dengan memberikan Mikhal kepada orang lain, secara simbolis, Saul menunjukkan penolakannya kepada Daud, baik sebagai rakyat apalagi sebagai keluarga.

2.       Sejak kapankah ada pemisahan Yehuda dan Israel? Di 1 Samuel 15:1, Saul diurapi menjadi raja atas Israel. Lalu di 1 Samuel 16:1-13, Daud diurapi menjadi raja oleh Samuel – ini raja Israel? Namun, di 2 Samuel 2:4, orang-orang Yehuda mengurapi Daud menjadi raja atas kaum Yehuda?
Jawab:
Dalam 1 Samuel 16, Daud diurapi sebagai raja seluruh Israel. Sedangkan dalam 2 Samuel 2, Daud mulai pemerintahannya sebagai raja atas seluruh Israel, dengan lebih dulu menjadi raja Yehuda. Ini disebabkan suku-suku yang lain masih menganggap bahwa hierarki pemerintahan diteruskan oleh anak Saul, yakni Isyboset. Ketika Isyboset dibunuh, barulah Daud menjadi raja atas seluruh Israel. Jadi pemisahan Yehuda dan Israel dalam 2 Samuel 2 masih bersifat temporal.
Pemisahan permanen baru terjadi pada masa pemerintahan Rehabeam, anak Salomo. Dalam zaman itu, Yehuda, diikuti dengan suku Benyamin dan Lewi, menjadi sebuah kerajaan tersendiri di sebelah selatan, sedangkan suku-suku lainnya, di bawah pemerintahan Yerobeam, mendirikan sebuah pemerintahan sendiri di sebelah utara.

3.       Mengapa di 2 Samuel 14:24, Daud tidak mau menemui Absalom setelah Absalom kembali bahkan sampai 2 tahun lamanya (ay. 28)?
Jawab:
Kita tidak tahu pasti alasan Daud tidak mau menemui Absalom. Namun, dari pembacaan narasi, nampaknya, kesalahan Absalom dipandang Daud sebagai kesalahan yang sangat berat, karena ia membunuh, Amnon, saudaranya sendiri. Sepertinya, Daud masih marah dengan perbuatan Absalom tersebut. Sehingga, dengan melarang Absalom menemuinya, Daud ingin menunjukkan kepada Absalom bahwa ia masih murka atas perbuatan bodoh yang dilakukan Absalom tersebut.

4.       Mengapa Daud tidak langsung membunuh Yoab, seperti yang dilakukannya terhadap orang yang “mengaku” membunuh Saul dan orang yang membunuh Isyboset, tetapi menyerahkan hal itu kepada Salomo?
Jawab:
Pertanyaan ini sangat menarik. Sebenarnya dalam hal inilah kita melihat kemanusiaan Daud yang lemah. Ia takut kepada Yoab, sehingga ia tidak berani membunuhnya. Sepanjang hidup Daud, Yoab memang menjadi duri dalam daging dalam pemerintahannya. Namun, ketakutan Daud membuat Ia harus menyerahkan tugas menghukum Yoab kepada anaknya.

5.       Apakah arti “tanduk-tanduk mezbah”? Mengapa orang yang merasa terancam jiwanya lalu memegang tanduk-tanduk mezbah tersebut?
Jawab:
 Tanduk-tanduk mezbah ialah tanduk-tanduk yang ada pada mezbah korban bakaran. Dengan memegang tanduk tersebut, seseorang menyatakan ketakutannya namun juga usahanya menyelamatkan diri, sebab dengan memegang mezbah korban bakaran yang terletak di kemah suci, dengan sendirinya ia terselamatkan dari usaha pembunuhan. Orang yang berada dalam lingkup kemah suci tidak boleh membunuh ataupun dibunuh. Tidak seorangpun yang boleh menumpahkan darah ataupun ditumpahkan darahnya dalam area kemah perjanjian, sebab yang berbuat demikian melanggar kekudusan kemah suci.. Hukuman bagi seorang yang membunuh di daerah kemah suci ialah mati.

6.       Pada waktu nabi Elia di gunung Karmel, dan sesudah Tuhan menyatakan mujizat-Nya sehingga menyatakan bahwa Dialah Alah, Elia dan bangsa Israel membunuh nabi-nabi Baal (450 nabi Baal dan 400 nabi Asyera dibunuh?). Tetapi mengapa Elia tidak membunuh raja Ahab, bukankah Dia yang mendirikan mezbah-mezbah Baal, menyembahnya, memelihara sekian banyak nabi-nabi palsu dan menyebabkan bangsa israel berdosa? (Bahkan ia memperhatikan Ahab, menyuruhnya turun dari gunung sebelum badai datang, dsb).
Jawab:
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, yang dibunuh oleh Elia dan orang-orang Israel hanya 450 nabi Baal. Ini terlihat dari ayat 22, yang menyiratkan bahwa Elia bertanding bukan dengan nabi-nabi Baal dan Asyera, namun hanya dengan nabi Baal saja. Kedua, soal kebaikan Elia terhadap Ahab, hal ini bisa dipahami sebagai penghargaan Elia terhadap Ahab, sebab bagaimanapun buruknya Ahab, dia tetap seorang raja yang diurapi, dan dengan demikian dipilih.

ABBA 13

1.       Perintah Alkitab jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh membunuh. Namun, bagaimana bila ada seorang prajurit atau polisi yang harus membunuh untuk membelas kebenaran atau negara. Apakah itu juga salah?
Jawab:
Topik ini memang topik yang cukup sulit dijawab. Untuk menghindari kesulitan ini, beberapa gereja melarang anggotanya untuk menjadi tentara ataupun polisi, sebab mereka membuka peluang menjadi “pembunuh.” Namun, dalam hal ini, kita harus membedakan antara membunuh dalam kaitan tanggung jawab dan karena kebencian.
Tuhan memang sangat melarang pembunuhan. Perintah keenam dengan jelas menegaskan “Jangan Membunuh” (Kel. 20:13). Namun, ternyata ada celah-celah dimana Tuhan seolah “mengijinkan” pembunuhan. Misalnya, dalam Keluaran 35:9-34, di sana diatur tentang adanya kota-kota perlindungan, yakni sebuah kota yang menjadi tempat perlindungan bagi orang Israel dan bagi orang asing pendatang di tengah-tengah mereka, supaya setiap orang yang telah membunuh seseorang dengan tidak sengaja dapat melarikan diri ke sana (ay. 15). Jadi, yang dilarang keras oleh Tuhan ialah membunuh karena kebencian atau dendam.
Dalam hal membunuh ketika melaksanakn tugas sebagai polisi atau tentara, kita melakukannya bukan karena kebencian kita melainkan karena tanggung jawab kita. Tanggung jawab ini tentunya juga harus dilaksanakan sesuai dengan koridor aturan yang ada. Misalnya, ketika kita menjadi polisi dan kita berhadapan dengan pencuri, kita tidak boleh langsung menembak penjahat tersebut. Ada aturan bahwa kita harus memberikan tembakan peringatan sebanyak tiga kali. Bila setelah tiga kali memberikan tembakan peringatan, pencuri itu tetap melawan kita baru diijinkan menembak pencuri tersebut. Itu pun diharapkan menembak dengan sasaran minimal, yakni betisnya. Bila pencuri tersebut membahayakan bahkan mengancam nyawa kita, kita baru diijinkan menembak tubuhnya. Bila kita melakukan sesuai dengan aturan ini maka kita tidak bersalah karena kita melakukan sesuai aturan. Namun, bila kita serta merta langsung menembak mati penjahat tersebut, kita bersalah dan tentunya juga berdosa.

2.       2 Sam. 24:1-17, firman-Nya minta Daud diadakan sensus, setelah dilaksanakan dan hasilnya diketahui, mengapa dia merasa bersalah menganggap perbuatan itu bodoh (ay. 10)? Selanjutnya Tuhan mendatangkan hukuman, 70.000 orang mati (ay. 11-15). Setelah itu Tuhan menyesal atas hukuman tersebut dengan menghentikan malaikat yang siap memusnahkan. Mohon penjelasan melalui urut-urutan di atas, kebenaran apa yang bisa kita ambil? Ay. 17, apakah kesalahan raja mewariskan hukuman kepada bangsanya, dan aplikasi saat ini apakah masih berlaku terhadap orang-orang yang dipilih atau diurapi Tuhan?
Jawab:
Sensus penduduk yang raja-raja, termasuk Daud, lakukan biasanya bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kekuatan perangnya, seberapa banyak rakyatnya yang bisa bertempur. Ini didukung oleh keterangan di ayat 8-9. Semakin banyak jumlah orang perangnya, tentunya semakin kuat pula kekuatan perang Daud. Hal ini merupakan persoalan yang serius bagi Tuhan sebab selama ini Daud dan bangsa Israel mampu menang di setiap peperangan bukan karena jumlah mereka yang banyak namun karena penyertaan Tuhan atas mereka. Dengan menghitung jumlah tentaranya, maka tanpa disadari Daud sedang mengalihkan dirinya dari Tuhan kepada ambisi, kesombongan dan jumlah tentaranya. Ini terlihat jelas karena Tuhan tidak menyuruh Daud untuk mengadakan sensus. Bagi Tuhan ini ialah persoalan serius. Itulah mengapa Daud menganggap tindakannya sebagai tindakan bodoh.
Sedangkan mengenai hukuman bagi bangsa Israel, seperti yang sudah dijelaskan, kebodohan Daud hanya merupakan jalan Allah menghukum mereka yang telah banyak berdosa. Bangsa Israel telah banyak melakukan dosa sebelumnya, dan dosa Daud ialah cara Allah yang kreatif memulai hukuman-Nya terhadap bangsa Israel. Dengan kata lain, hukuman Tuhan terhadap bangsa Israel bukan semata disebabkan dosa Daud melainkan terutama karena dosa bangsa Israel sendiri yang telah diperbuat sebelumnya. ini diperjelas dalam ayat 1, dimana penyebab Tuhan melakukan hukuman ini adalah karena murka-Nya.
Dari sini, kita bisa belajar beberapa hal. Pertama, sandaran kita seharusnya bukan pada orang ataupuan benda, melainkan hanya pada Allah saja. keberhasilan atau kesuksesan, datang bukan karena seseorang atau sesuatu tapi hanya karena kemurahan Allah. Kedua, kita juga belajar bahwa dosa pasti memiliki konsekuensi entah dalam jangka pendek atau jangka panjang, baik terhadap diri kita sendiri ataupun orang lain. Ketiga, kita semakin diyakinkan akan kepastian rancangan Tuhan. Tidak ada satu hal pun yang bisa menghalangi rencana-Nya, termasuk hukuman-Nya. Ia bisa memakai apa saja untuk melakukan rencana-Nya.

3.       Orang Israel dan orang Yehuda, apakah sama latar belakang asal-usulnya? Umat pilihan Tuhan semua?
Jawab:
Ya, orang Israel dan orang Yehuda sama-sama berasal garis keturunan Yakub. Dalam konteks zaman Daud, penyebutan suku Israel biasanya merujuk pada suku-suku lain selain suku Yehuda dan Lewi, dan terkadang juga selain suku Benyamin.

4.       Sebenarnya, kapan Saul bertemu Daud pertama kali? Jika dibaca di 1 Samuel 17:55-58, terkesan Saul belum tahu jika Daud anak Isai, tetapi di 1 Samuel 16:14-23 (lebih dahulu dari pasal 17), terkesan Saul meminta Isai menyuruh Daud datang ke Saul bahkan Daud menjadi pelayan Saul?
Jawab:
Ada dua kemungkinan jawaban. Pertama, 1 Samuel 18 dan 1 Samuel 16 tidak disusun secara kronologis (urut). Sehingga bisa jadi kisah dalam 1 Samuel 16 sebenarnya terjadi setelah 1 Samuel 18. Kedua, bisa jadi pengenalan Saul terhadap Daud di 1 Samuel 16 hanya merupakan pengenalan yang dangkal. Ia mungkin tahu Daud tapi tidak mengenal Daud dengan baik. Ini mungkin saja terjadi mengingat seorang raja biasanya memiliki banyak pelayan. Di dalam 1 Samuel 18, setelah perbuatan luar biasa yang dilakukan Daud, yakni mengalahkan Goliat, Saul baru mulai tertarik mengenal Daud lebih baik.

Senin, 11 Oktober 2010

ABBA 12

1.       Tanya :
2 Samuel 24. Pendaftaran dan hukuman. Mengapa bila Tuhan murka terhadap orang Israel tidak langsung menghukumnya tetapi mengapa Ia memakai cara untuk menghasut Daud untuk menghitung orang Israel sehingga bangsa Israel mendapat hukuman? Mengapa juga Daud dinyatakan bersalah padahal rencana itu atas kehendak Tuhan?

Jawab:
Seperti sudah dijelaskan, Tuhan bisa memakai siapa saja dan apa saja untuk melaksanakan rencana-Nya maupun hukuman-Nya. Dalam kasus ini, Tuhan memakai Daud untuk menghukum bangsa Israel dan juga menghukum Daud yang memiliki banyak kesalahan dan dosa. Hal ini justru menunjukkan luar biasanya rancangan Allah, sehingga dengan sebuah peristiwa saja Ia bisa melaksanakan beberapa rencana-Nya dengan indah.

2.        Tanya :
Mengapa Tuhan memilih Saul menjadi raja dalam waktu yang singkat, yaitu dua tahun saja (1Samuel 13:1) lalu memilih Daud? Koq tidak langsung Daud saja?

Jawab:
Masalahnya teks Ibrani dari ayat ini rusak, sehingga kita tidak bisa mengetahui dengan pasti apakah memang Saul hanya memerintah dua tahun saja. Bacaan yang ada kurang lebih demikian “dan Saul berumur [rusak] tahun ketika dia mulai memerintah; dan dia memerintah [rusak] dua tahun atas Israel.” Beberapa naskah menerjemahkannya dua puluh dua tahun, yang lain lagi tidak menerjemahkannya. Bahkan ada cukup banyak naskah yang tidak menyertakan ayat ini. jadi, kita tidak tahu pasti apakah Saul memang benar-benar memerintah “hanya” dua tahun.

3.        Tanya :
Benarkan tidak terdapat kuda di Israel? Tapi Salomo memelihara banyak kuda?

Jawab:
Saya tidak tahu pasti ayat mana yang dimaksudkan. Namun, bila saya bisa menebak, kemungkinan besar keadaan yang dimaksud ialah keadaan sebelum Israel menjadi kerajaan atau mulai menjadi kerajaan. Dalam kondisi yang demikian memang bisa dipahami bahwa mereka tidak memiliki terlalu banyak kuda sebab mereka hanyalah kumpulan kelompok kecil dan bukan kerajaan yang sudah mapan. Terlebih lagi orientasi awal bangsa ini ialah agraris, sehingga kuda tidak terlalu banyak diperlukan.

4.        Tanya :
Mengapa di Israel tidak terdapat seorangpun tukang besi? (1Samuel 13:19)

Jawab:
Hal ini sepertinya disebabkan oleh orientasi bangsa Israel yang merupakan bangsa agraris (pertanian) sehingga mereka lebih banyak berkutat dengan soal-soal pertanian dan kesuburan bukan dengan rupa-rupa perkakas besi.

5.        Tanya :
Di 1 Samuel, Daud menetap di negeri orang Filistin, yaitu di Ziklag. Pada saat bangsa Filistin akan berperang dengan bangsa Israel, kelihatannya Daud akan membela raja Filistin, yaitu Akhis. Saya tidak dapat membayangkan jika akhirnya Daud memerangi bangsa Israel sendiri? tetapi dalam 1 Samuel 29 akhirnya Daud dipulangkan ke Ziklag karena ia tidak disukai oleh panglima-panglima Filistin. Apakah ada campur tangan Tuhan dalam hal ini?

Jawab:
Bila kita meyakini campur tangan Allah dalam sejarah, dan dalam hal-hal terkecil sekalipun, tentu konsekuensinya pembatalan Daud pun merupakan bagian dari ketetapan Allah. Saya pribadi berpikir sepertinya hal tersebut memang cara Tuhan untuk “mempermulus” langkah Daud menjadi raja Israel. Seandainya Daud ikut berperang, bisa dibayangkan bagaimana reaksi bangsa Israel melihat orang yang dulunya berkhianat pada mereka kini hendak dinobatkan menjadi raja. Tentu akan muncul banyak penolakan bukan? Bagaimanapun skenario ini hanya dugaan sebab teks tidak berbicara banyak soal hal ini, yang bisa kita yakini dengan pasti ialah bahwa dalam hal ini, Allah memang bekerja untuk membatalkan keterlibatan Daud dalam penyerangan Filistin ke Israel.

6.        Tanya :
Dalam 2 Samuel 1, orang yang menceritakan kematian Saul ialah seorang tentara dari pihak Saul (ayat 2). Tetapi ketika Saul sebelum mati bertanya kepadanya, ia mengatakan bahwa ia seorang Amalek? (ayat 8, 14). Lalu kenapa pada akhirnya Daud membunuh dia, bukankah ia membunuh Saul atas permintaan saul sendiri?

Jawab:
Pembacaan yang teliti menunjukkan bahwa seorang Amalek yang dicatat dalam 2 Samuel 1 ialah seorang yang berusaha mencari untung dari Daud. Dalam 1 Samuel 31, dikisahkan bahwa Saul minta dibunuh oleh pembawa senjatanya, namun pembawa senjata tersebut menolak. Akhirnya, Saul membunuh dirinya sendiri dengan jalan menjatuhkan dirinya ke atas pedang (1 Samuel 31:4). Jadi, Saul bukan mati karena dibunuh melainkan karena ia membunuh dirinya sendiri. Kemudian, ketika pembawa senjata itu melihat Saul mati, ia pun turut membunuh dirinya (1 Samuel 31:5).  Seorang Amalek itu ialah seorang yang sama sekali tidak terlibat dengan peristiwa kematian Saul. Ia hanya berusaha mencari keuntungan dari kematian Saul. Ia menyangka dengan mengaku bahwa Ia telah membunuh Saul, musuh Daud, ia akan mendapatkan hadiah dari Daud.
Akan tetapi, Daud tidak memandang pembunuhan Saul tersebut secara positif. Ingat, bahwa Daud sangat menghargai Saul dalam kapasitas orang yang diurapi Tuhan. Bagi Daud, membunuh orang yang diurapi Tuhan ialah kesalahan yang sangat serius. Ia beberapa kali memiliki kesempatan untuk membunuh Saul, namun ia tidak melakukannya karena ia sangat menghormati Saul sebagai orang yang sudah diurapi Tuhan. Ia membunuh orang Amalek tersebut karena ia mengaku telah membunuh Saul (2 Samuel 1:14).  Sehingga, walaupun orang Amalek itu sebenarnya tidak membunuh Saul, namun karena ia mengaku telah membunuh Saul, maka Daud merasa benar untuk membunuhnya. Jadi orang Amalek itu menanggung sendiri akibat kebohongannya (2 Samuel 1:16).

ABBA 11

1.       Tanya :
Mengapa dalam Kitab Hakim-hakim, Allah terlihat plin-lan. Ketika orang Israel berbuat jahat, Ia menghukumnya. Namun, ketika mereka minta tolong, malah ditolongnya. Mengapa demikian?

Jawab:
Tindakan Allah di sini harus dipahami dalam terang perjanjian Allah dengan umat-Nya. Seperti yang sudah kita tahu bahwa Allah mengikat perjanjian dengan umat-Nya, bahwa bila mereka taat maka Allah akan memelihara mereka, bila mereka memberontak, Allah akan menghukum mereka. Namun, bila mereka bertobat dan berbalik dari kejahatan mereka, maka Allah akan menolong mereka kembali.
Dalam kitab hakim-hakim kita akan menemukan bahwa Allah melakukan hal ini dengan konsisten. Ketika bangsa Israel taat, maka Allah memeberkati mereka, ketika mereka memberontak, maka Allah juga menghukum mereka. Bahkan, saat mereka berbalik kepada Allah, maka Allah juga menolong mereka dengan mengirimnkan hakim-hakim-Nya. Jadi, kisah ini justru menunjukkan Allah yang setia dan konsisten kepada perjanjian-Nya, bukan Allah yang plin-plan.

2.       Tanya :
Apakah Yefta benar-benar mengorbankan anaknya menjadi korban yang disembelih bagi Tuhan? sepertinya ini bertentangan dengan firman Tuhan dalam Taurat?

Jawab:
Kisah ini memang sempat menjadi diskusi yang hangat di antara para sarjana, apakah Yefta benar-benar mengorbankan anaknya menjadi korban bagi Tuhan. Beberapa sarjana merasa risih dengan hal ini sebab bila Yefta benar-benar mengorbakan anaknya, ini jelas sangat bertentangan dengan hukum Musa yang melarang pengorbanan manusia. Akan tetapi, pembacaan teks yang lebih natural menunjukkan bahwa Yefta memang benar-benar mengorbankan anaknya sebagai korban bakaran. Kisah ini muncul untuk menunjukkan bagaimana bodohnya nazar Yefta, selain juga tentunya konsistensi terhadap nazar tersebut. Ini mengingatkan kita, selain konsisten terhadap nazar kita kepada Tuhan, juga berhati-hati dalam mengucapkan nazar kepada Tuhan.

3.       Tanya :
Bagaimana tentang kisah Daud dan Yonatan? Ketika saya membaca kisah mereka, saya menangkap kesan persahabatan mereka sangat berlebihan, bahkan cenderung seperti homo?

Jawab:
Daud dan Yonatan memang merupakan sahabat yang baik. Sebuah nas yang cukup dipermasalahkan ada dalam 1Samuel 20:41. Beberapa pendukung homoseksual menggunakan ayat ini menunjukkan bahwa Daud ialah seorang homoseksual, sebab dalam nas itu dikatakan bahwa Daud dan Yonatan bercium-ciuman. Namun, nas ini tidak boleh dimaknai dalam budaya kita hari ini sebab pasti akan menimbulkan kekacauan makna. Dalam budaya waktu itu, seorang sahabat bisa berciuman di pipi (bukan bibir) untuk menunjukkan kedekatan, keakraban, dan kekeluargaan mereka, dan inilah yang dilakukan Daud dan Yonatan untuk menunjukkan kedakatan dan rada persaudaraan mereka yang mendalam.

4.        Tanya :
Apa maksud Hakim-hakim 19?

Jawab:
Di satu sisi, kisah ini menunjukkan bagaimana bobroknya keadaan bangsa Israel waktu itu. Ini disebabkan mereka semua berbuat sekehendak hatinya, mereka berbuat apa yang menurut mereka benar (Hak. 17:6; 21:25).  Sehingga mereka melakukan perbuatan yang sangat tidak pantas. Sementara di sisi lain, menurut seorang sarjana bernama Richard Pratt, kisah ini semakin menunjukkan perlunya bangsa Israel untuk segera memunyai seorang raja.

5.        Tanya :
Mengapa Saul yang dulunya dipakai Tuhan, akhirnya disia-siakan oleh Tuhan, bahkan Tuhan mengirimkan roh jahat untuk menggangunya?

Jawab:
Penolakan Tuhan disebabkan oleh karena ketidaktaan Saul sendiri. Pengiriman roh jahat untuk mengganggu Saul merupakan salah satu bentuk hukuman yang Saul terima karena memberontak terhadap Tuhan, selain juga penolakan Tuhan tersebut.

6.        Tanya :
Apa yang terjadi dengan anak perempuan Yefta? Apakah ia mati sebagai korban bakaran atau ia hidup membujang seumur hidupnya untuk melayani Tuhan?

Jawab:
Para sarjana berdebat mengenai hal ini. Beberapa sarjana menganggap bahwa Yefta tidak mengorbankan anaknya sebab pengorbanan manusia ialah hal yang sangat dilarang oleh Tuhan. Namun sarjana yang lain berargumen bahwa Yefta memang mengorbankan anaknya sebagai korban bakaran, sebab bila hanya diserahkan untuk melayani Tuhan mengapa perlu sampai diratapi dan diperingati? Ingat bahwa bangsa Israel memperingati sesuatu hanya bila sesuatu itu penting. Ini juga sesuai dengan tema kitab Hakim-hakim, bahwa “setiap orang berbuat menurut apa yang dianggapnya benar.” Terlepas dari perbedaan itu, sebuah hal yang bisa kita simak di sini ialah sikap berhati-hati waktu bernazar. Kisah ini menunjukkan kebodohan Yefta waktu bernazar (dalam bahasa Ibraninya jelas dikatakan bahwa ia akan mengorbankan “manusia” yang pertama kali keluar dari kemahnya, bukan “sesuatu,” misalnya binatang) meski ia tahu bahwa hal tersebut dilarang Tuhan. Ini juga mengajar kita agar berhati-hati waktu bernazar, terlebih bila kita tahu bahwa nazar itu salah atau bahwa kita tidak mungkin sanggup menepatinya.

7.        Tanya :
1 Samuel 16:14. Apa maksudnya “roh jahat yang daripada Tuhan” itu? Dan mengapa disebut demikian?

Jawab:
Roh jahat yang dari Tuhan ialah roh yang diijinkan Tuhan untuk mengganggu Saul karena ketidaktaatannya kepada Tuhan. Bangsa Israel kuno mempunyai konsep bahwa Tuhan memang bukan sumber kejahatan, namun Tuhan bisa memakai apapun, termasuk iblis, untuk melaksanakan rencana-Nya maupun hukuman-Nya.