ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Rabu, 21 Desember 2011

ABBA 33

1.       Dalam 2Kor. 12:1-10, ada beberapa pertanyaan sebagai berikut:
  • Bagaimana tanggapan bapak apabila ada orang yang bersaksi menyatakan bahwa ia pernah diangkat Tuhan ke tingkat ketiga dari sorga?
  • Apakah pada zaman sekarang ini Allah masih berbicara langsung kepada orang percaya? (sering kita dengar dari hamba Tuhan gereja tertentu).
  • Apa yang dimaksud dengan ayat 4, diangkat ke Firdaus?
  • Apa yang dimaksud Paulus dengan bermegah dalam kelemahanku (maksudnya kelemahan apa?)
Jawab:
a.       Bila ada orang yang mengisahkan bahwa ia terangkat ke surga kita perlu mengkaji dengan teliti, sebab Alkitab mencatat bahwa seorang yang sudah diangkat ke surga tidak akan bisa dan tidak akan mau kembali ke bumi (bnd. Mat. 17:1-13; Mrk. 9:2-13; Luk. 9:28-36; 16:19-31). Alkitab juga tidak pernah mencatat sekalipun tentang tokoh yang bisa pergi pulang berkali-kali ke surga sekehendak hatinya. Kasus Paulus merupakan kasus yang bersifat khusus, Paulus adalah satu-satunya orang yang dicatat Alkitab pernah diangkat ke surga. sehingga kita perlu berhati-hati terhadap kisah yang dicatat hanya sekali. Lagipula, bila banyak tokoh lain tidak mendapatkan hak istimewa seperti Paulus, maka siapakah kita? Apakah kita merasa lebih saleh dan berkenan di hadapan Allah dibanding Daud atau Petrus?
b.      Apakah Allah masih berbicara langsung kepada orang-orang Kristen hari ini? Iya, melalui Kitab Suci dan suara hati kita. Namun, bila berbicara dalam pengertian audibel atau mewahyukan sesuatu yang baru, saya dengan tegas menolak. Sebab, bila wahyu Allah yang lebih dulu ada saja tidak digubris untuk apa Allah harus memberikan wahyu baru? Dalam perumpamaan Lazarus dan orang Kaya, orang kaya meminta agar terjadi sesuatu yang spektakuler terjadi, yakni Lazarus bangkit dan memperingatkan keluarganya. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi sebab Allah telah memberikan Kitab Suci kepada mereka. Dari sini jelas bisa kita lihat bahwa bila kita sudah memilki Kitab Suci dan Yesus sebagai wahyu Allah yang genap, maka untuk apa lagi Allah harus berbicara langsung pada kita? Itu hanya menjadikan Yesus dan Kitab Suci sebagai wahyu yang tidak genap.
Namun, saya tidak memungkiri bahwa kita tidak bisa membatasi Allah. Adakalanya Allah memberi “wahyu khusus” kepada beberapa orang yang tidak mengenal Yesus atau tidak memiliki Kitab Suci. Ketika masa tekanan berat dari Komunis, ada banyak orang Kristen Tiongkok yang dilarang memiliki Kitab Suci, mengaku bahwa mereka pernah bertemu malaikat yang menguatkan mereka dan memberi pengharapan pada mereka. Hal ini mungkin saja terjadi sebab mereka sama sekali tidak memiliki Kitab Suci. Di Mesir, pernah terjadi bahwa seorang istri dan bayi kecil yang dikubur hidup-hidup oleh si suami selama hampir 1 minggu, bisa tetap bertahan hidup. Dalam kesaksiannya, si istri bercerita bahwa seorang dengan wajah berkilauan dan luka tusuk di tangan-Nyalah yang menolong dan membuat ia tetap bisa hidup. Pengalaman spiritual yang demikian ini, menurut hemat saya, bisa saja terjadi sebagai bagian dari cara Allah memanggil umat-Nya. Namun, bagi orang-orang yang telah menjadi umat-Nya Allah telah memberikan wahyu-Nya sehingga bila ada orang-orang yang mengaku mendapatkan pengalaman demikian, kita sekali lagi sangat perlu mempertanyakan dan menguji kesahihan maupun tujuannya.
c.       Dari konteksnya, jelas sekali bahwa ungkapan Firdaus di sini merujuk pada surga yang dibicarakan pada ayat 2. Beberapa literatur Yahudi pra-Paulus menyamakan istilah Firdaus dengan surga, dan hal ini nampaknya memengaruhi konsep para penulis Perjanjian Baru tentang surga. Sehingga ketika mereka berbicara soal Firdaus, maka yang dimaksud sebenarnya ialah surga (bnd. Luk. 23:43).
d.      Menurut konteksnya, kelemahan ini terkait dengan duri dalam daging di ayat 7. Tujuannya ialah agar Paulus tidak memegahkan diri karena keistimewaan yang Tuhan berikan padanya. Dalam konteks surat 2 Korintus, duri dalam daging ini sendiri berbicara soal kesulitan-kesulitan yang Paulus alami ketika melayani, terutama soal permusuhan dan tuduhan yang sengit dari jemaat Korintus (bnd. 2Kor. 9:10-11:33). Paulus seorang yang begitu hebat dan menjunjung kebenaran pun ternyata banyak memusuhi.
Sementara bila dilihat dalam konteks tulisan Paulus yang lebih luas, duri dalam daging ini nampaknya juga berbicara soal kelemahan fisik yang Paulus alami. Para sarjana memang tidak sepakat mengenai apa bentuk kelemahan tubuh tersebut. Ada yang mengatakan bahwa Paulus menderita ayan (epilepsi), ada juga yang mengatakan ia terkena malaria, meskipun sebenarnya tidak ada bukti yang jelas. Saya sendiri menduga Paulus memiliki masalah dengan penglihatannya. Ini terlihat dalam Galatia 6:11, ia menulis dengan huruf yang besar. Ini menandakan bahwa ia kesulitan melihat sehingga harus menulis dengan huruf yang besar. Masalah penglihatan ini juga yang nampaknya menyebabkan beberapa suratnya ditulis dengan menggunakan sekretaris.

2.       Mengenai sikap orang laki-laki dan perempuan dalam ibadah jemaat 1Tim. 2:8-15. Bagaimana pendapat saudara tentang sikap doa dengan menadahkan tangan, perempuan wajib berkerudung dalam ibadah, perempuan tidak diijinkan mengajar/kotbah dalam ibadah. Ada gereja yang mempertahankan tradisi tersebut, dan yang lain tidak?
Jawab:
Ketika membaca Kitab Suci, kita perlu membedakan antara aspek rohaninya yang bersifat kekal dan aspek budaya yang bersifat sementara. Memang ada kalanya keduanya menyatu, dalam artian budaya mengusung kebenaran rohani, tetapi ada kalanya kedua harus dipisahkan. Misalnya, perintah kelima dari Dasa Titah (Kel. 20:12), yakni soal menghormati orang tua merupakan sesuatu yang diberikan Allah dalam konteks budaya Israel. Anak tetapi, tidak berarti kebenaran itu terbatas hanya bagi bangsa Israel. Perintah ini bersifat universal, namun dalam hal ini budaya bangsa Israel menjadi budaya yang mengandung kebenaran tersebut. 
Sementara di sisi lain, ada kalanya kita harus memisahkan aspek budaya dari kebenaran Kitab Suci. Ketika Paulus memerintahkan supaya perempuan harus berambut panjang (1Kor. 11:1-2-16), apakah lantas berarti semua wanita Kristen yang saat ini berpotongan pendek telah melanggar firman Tuhan? Tentu tidak. Hal ini terkait dengan budaya pada masa itu. Kebenaran yang Paulus ungkapkan sebenarnya ialah soal bagaimana laki-laki dan perempuan harus bersikap secara pantas dalam ibadah.
Kembali ke nas 1 Timotius 2, kita melihat bahwa ada banyak hal yang disebu Paulus di sana merupakan bagian dari budaya masa itu. Para perempuan tidak dilarang untuk mengepang rambut, tetapi juga tidak diharuskan untuk menggunakan kerudung sebab hal tersebut merupakan bagian dari budaya pada masa itu. Tetapi satu hal yang tidak dilandaskan pada budaya ialah soal larangan bagi perempuan untuk mengajar. Paulus tidak sedang berbicara soal budaya, tetapi ia memberikan dasar alasan dengan merujuk pada kisah Kitab Suci (ay. 13-14). Sehingga pandangan saya (dan didukung oleh cukup banyak sarjana biblika), larangan bagi perempuan untuk mengajar merupakan hal yang normatif. Hal ini tentu bisa diperdebatkan sebab banyak gereja telah mengangkat pendeta perempuan. Akan tetapi, pembacaan yang natural terhadap nas 1Timotius 2 menunjukkan bahwa larangan ini memang bersifat kekal. Beberapa gereja Reformed yang masih sangat konservatif mempertahankan kebenaran ini dengan membatasi lingkup pelayanan hamba Tuhan wanita dan tidak bersedia menahbiskan hamba Tuhan wanita sebagai pendeta.

3.       Tuhan Yesus telah menebus kita sebagai anak-anak-Nya. Setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia. 1Yoh. 3:6. Bagaimana pengertian ayat tersebut sehubungan dengan kita manusia hidup dalam dunia tidak luput berbuat dosa? Bukankah kita semua adalah anak-anak Allah? (bnd. Dengan 3:9).
Jawab:
Penerjemahan LAI di sini memang kurang terlalu tepat. Terjemahan ini mengesankan bahwa ketika berada di dalam Kristus, seseorang akan otomatis menjadi “superman” rohani yang kebal dengan dosa. Masalahnya di sini ialah penambahan kata “lagi” oleh LAI, yang sebenarnya tidak ada dalam teks Yunaninya. Dalam bahasa aslinya, kata kerja “berbuat dosa” yang dipakai dalam ayat ini menggunakan bentuk present, dan ini menyiratkan ide tindakan yang terus-menerus. Penambahan negasi  “tidak” (ouk) di depan kata kerja tersebut membuat terjemahan yang menurut saya lebih baik adalah “tidak terus-menerus berbuat dosa” (BIS) atau “tidak tetap dalam berbuat dosa.”
Lagipula, secara kontektis, terjemahan LAI tidak didukung oleh konteks surat 1 Yohanes. Bila memang ketika di dalam Kristus seseorang menjadi tidak berbuat dosa lagi (dalam artian menjadi tidak berdosa), maka ini akan bertentangan dengan pernyataan Yohanes di awal suratnya, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita … maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita” (1Yoh. 1:8, 10).

4.       Bagaimana dengan keterbatasan/kelemahan kita sebagai manusia, dapat melakukan segala perintah-Nya? Jawabannya kita pasti akui tidak bisa, terus kaitannya dengan 1Yoh. 2:3; 3:24?
Jawab:
Inti kedua ayat ini menekankan bahwa salah satu tanda sejati Kristus hadir dan berelasi di dalam kehidupan seseorang ialah ketaatan orang tersebut kepada perintah Kristus. Oleh sebab itu, ketaatan merupakan hal yang mutlak ada dalam diri seorang murid Kristus sejati, sebab kekristenan tanpa ketaatan bukanlah kekristenan yang sejati. Pertanyaannya, apakah bisa kita 100% taat dalam hidup kita? Dalam artian tidak akan pernah bisa jatuh dalam dosa di sepanjang hidup? Pertanyaan ini harus dipahami dalam konteks keseluruhan surat 1 Yohanes. Bila dipahami demikian, maka ayat ini merupakan himbauan yang mengajak jemaat untuk hidup dalam ketaatan utuh kepada Tuhan. Yohanes menyadari bahwa tidak seorangpun yang tidak bisa berdosa (bnd. 1:8, 10), akan tetapi itu bukan menjadi alasan untuk hidup sekehendak hati karena “barangsiapa yang tetap berbuat dosa berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya.” (3:8a). Jadi, meski kita tidak bisa taat 100%, tetapi kita tetap harus bergumul sekuat tenaga untuk taat sebab kita memiliki potensi dan kemampuan untuk itu.