ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Rabu, 21 Desember 2011

ABBA 31

1.       Dalam bagian salam 1 dan 2 Korintus, Paulus menyebut jemaat Allah sebagai orang-orang Kudus. Apakah kita sebagai orang percaya saat ini juga dapat disebut orang kudus? Padahal kehidupan kita tidak luput dari perbuatan dosa?
Jawab:
Ya, secara status kita memang adalah orang-orang kudus, tetapi secara faktual, kita adalah orang-orang yang masih sedang mencapai kekudusan penuh. Untuk memperjelas konsep ini, saya biasa menggunakan istilah perang yang digunakan dalam dunia militerisme Amerika. Orang Amerika menyebut ada dua lapis kemenangan dalam perang, yakni V-Day dan D-Day. V-Day ialah hari dimana status kemenangan sudah terjadi atau diumumkan, sedangkan D-Day adalah hari ketika kemenangan sudah secara penuh dicapai. Ketika Amerika mengebom Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945, segera setelah itu Jepang mengibarkan bendera putih, menyatakan kekalahannya. Nah, saat dimana Jepang menyerah itu, yang secara otomatis menyebabkan Amerika menang, disebut sebagai V-Day atau Hari Kemenangan. Akan tetapi, meski Jepang telah menyerah, Amerika belum menduduki wilayah kekuasaan Jepang. Beberapa bulan kemudian baru Amerika mengerahkan tentaranya dan benar-benar menduduki wilayah kekuasaan Jepang. Nah, saat dimana Amerika telah benar-benar menduduki Jepang itu disebut sebagai D-Day.
Analogi ini membantu kita memahami proses pengudusan kita. Ketika kita percaya kepada Yesus dan menerima pengudusan dari Allah, maka secara otomatis, status kita adalah orang-orang Kudus, sebab Yesus telah menguduskan kita. Kita mengalami V-Day’nya pengudusan. Akan tetapi, di saat yang sama kita belum sepenuhnya menerima pengudusan tersebut, sebab kita masih hidup dalam daging, kita masih bergumul untuk bisa benar-benar hidup dalam kekudusan. Hal ini memang wajar sebab kita baru mengalami V-Day bukan D-Day’nya pengudusan. D-Day pengudusan baru akan kita alami ketika kita ada di sorga. Jadi, secara status kita adalah orang-orang kudus tetapi secara faktual, kita masih dalam perjalanan menuju pengudusan yang sempurna itu.

2.       1 Kor. 14:19, tetapi . . . mengucapkan lima kata yang . . . apa yang dimaksud lima kata? Ayat 20 . . . jadilah anak-anak dalam kejahatan, apa maksudnya?
Jawab:
Ungkapan lima kata merupakan kontras terhadap ungkapan beribu-ribu kata dalam kalimat selanjutnya. Makna ungkapan ini sangat jelas, dalam konteks pertemuan jemaat, Paulus tidak menginginkan ada jemaat yang berbahasa roh bila tidak ada yang menafsirkannya, sebab bahasa roh itu akan menjadi sia-sia bagi jemaat betapapun banyak dan panjangnya bahasa roh itu diucapkan. Bahasa roh tersebut hanya bisa dimengerti oleh pembicaranya, sehingga tidak ada dampaknya bagi jemaat lain. Paulus lebih menyukai kata-kata yang bisa membangun jemaat meski kata-kata itu pendek dan sedikit. Ini mengingatkan kita bahwa tujuan dari karunia roh ialah untuk membangun jemaat, sehingga sebuah “karunia” yang tidak membangun jemaat bukanlah karunia yang sebenarnya.
Sedangkan maksud ungkapan di ayat 20 ialah nasihat agar kita tidak terlatih dalam hal kejahatan. Seorang anak-anak tidak bisa melakukan banyak hal sebab ia tahu dan mampu sangat sedkit, ini berbeda dengan orang dewasa. Dengan menasihati jemaat agar menjadi kanak-kanak dalam kejahatan, itu berarti Paulus menasihati jemaat agar tidak ingin terlalu banyak tahu soal kejahatan bahkan sangat terbatas melakukan kejahatan. Justru yang Paulus inginkan supaya mereka dewasa dalam pemikiran, yakni memiliki perkembangan pemikiran dan mampu berpikir dengan baik dan benar.

3.       1Kor. 14:18, Paulus menganggap karunia bahasa roh suatu bagian yang penting dari kehidupan rohaninya, khususnya dalam doa pribadi kepada Allah. Pengalaman tersebut jarang (bahkan hampir nihil) terjadi pada orang-orang Kristen dengan latar belakang Reformed/Injili. Bagaimana pendapat saudara?
Jawab:
Saya melihat ada dua kemungkinan alasan. Pertama, hal ini nampaknya dilandasi oleh konsep berpikir mayoritas orang Reformed sendiri. Dimulai oleh Benjamin Warfield, mayoritas sarjana Reformed meyakini bahwa karunia-karunia rohani telah berhenti. Konsep berpikir ini biasa disebut sebagai Cessasionism (dari kata Inggris, cease: berhenti). Mereka merujuk pada 1 Kor. 13:10 sebagai dukungan bahwa karunia rohani dan mujzat telah berhenti sejak masa kanonisasi. Ini karena mereka menganggap bahwa frase “yang sempurna” di ayat tersebut merujuk pada proses kanonisasi Alkitab. Jadi ketika yang sempurna itu datang (kanonisasi Alkitab) maka yang tidak sempurna (karunia rohani dan pelbagai mujizat) akan berlalu.
Akibatnya, orang-orang ini tidak berorientasi pada karunia rohani maupun mujizat sebab mereka menganggap hal-hal tersebut sudah tidak ada lagi. Mujizat memang dilakukan Allah dalam memulai sebuah hal, tetapi untuk memelihara hal itu, Allah memakai hal yang alami: demikianlah menurut mereka cara kerja Allah dalam sejarah. Sama dengan itu, mujizat dan karunia yang spektakuler memang dilakukan Allah dalam memulai gereja-Nya, tetapi ketika gereja-Nya telah berdiri, Ia cukup memakai cara alami untuk memelihara gerejanya. Jadi, karena gereja telah berdiri, dan Allah tidak lagi memelihara gerejanya dengan cara luar biasa, maka kita juga tidak perlu berkanjang pada hal-hal spektakuler.
Akan tetapi, belakangan beberapa sarjana Reformed menyadari bahwa pandangan tersebut cenderung lebih dogmatis daripada alkitabiah. Dalam konteks Warfield, sebagai pemula pandangan ini,saya mencurigai bahwa dalam ia memiliki motif pribadi selain alkitabiah-teologis. Saya menduga bahwa pandangan ini lahir dari hasil pergumulannya tentang kesehatan istrinya. Berdasarkan catatan tentang kehidupannya, Warfield mempunyai seorang istri, Annie Pearce Kinkead, yang tak lama setelah pernikahan mereka menjadi trauma berat dan lumpuh total. Setelah pernikahannya, Warfield berniat melanjutkan study-nya di Jerman, maka dia membawa serta istrinya ke Eropa sekaligus juga menghabiskan masa bulan madu mereka pada musim dingin 1876-1877. Mereka tinggal di Leipzig. Pada suatu sore ketika mereka sedang berjalan-jalan di pegunungan Harz, mereka terjebak dalam badai hujan angin yang disertai petir dan guruh yang hebat. Kejadian itu mengakibatkan trauma yang mendalam bagi Annie yang akhirnya menyerang sistim syarafnya. Sejak saat itu Annie mengalami kelumpuhan (entah fisik atau emosinya ataupun kombinasi keduanya; Machen menyebutnya dengan ‘partly nervous’) hingga akhirnya dia meninggal dunia pada 19 November 1915. Selama tahun-tahun tersebut Annie menjalani suatu bentuk kehidupan yang mirip seorang pertapa dan 2 tahun terakhir sebelum kematiannya Annie hanya dapat berbaring di tempat tidurnya. Jadi, selama belasan tahun Warfield merawat istrinya dengan setia tanpa mengalami “secuil mujizat kesembuhan.” Peristiwa ini, menurut saya, tentu akan sangat berpengaruh dalam pergumulan teologis Warfield, secara khusus tentang mujizat Allah. Terlepas apakah dugaan ini benar, tentu mayoritas sarjana Reformed tentu tidak memperhitungkan pengalaman Warfield sebagai landasan berpikir.
Walau begitu, pandangan Warfield dan mayoritas sarjana Reformed tidak mendapat dukungan kuat dari teks. Kata “yang sempurna” dalam 1Kor. 13:10 jelas tidak mungkin tidak merujuk pada proses kanonisasi. Paulus memang nampaknya memiliki keyakinan bahwa tulisannya akan menjadi sebuah catatan penting bagi gereja, tetapi jelas bukan merupakan pembacaan yang alami terhadap teks bila kita menganggap Paulus sedang berpikir tentang kanonisasi. Kata “yang sempurna” lebih masuk akal bila diartikan sebagai kedatangan Yesus yang kedua kali. Sebab bila kita tetap bersikeras mengartikan “yang sempurna” sebagai kanonisasi, maka konsekuensinya, setelah kanonisasi tidak ada lagi hikmat maupun pengetahuan. Analisa ini akhirnya membuat beberapa sarjana Reformed (e.g. Wayne Grudem) menjadi lebih terbuka terhadap eksistensi karunia-karunia rohani saat ini.
Alasan kedua, yang menurut saya dalam hal ini para sarjana Injili memang lebih alkitabiah, ialah karena Paulus memang menekankan pentingnya karunia dalam jemaat, tetapi kita harus juga ingat bahwa ia menekankannya sebagai “karunia,” maksudnya sesuatu yang diberikan Allah sekehendak hati-Nya, bukan sebagai hak milik, untuk membangun jemaat-Nya. Bila memang Tuhan memberikan karunia tersebut, maka kita perlu menerimanya dengan sukacita, tetapi bila tidak kita tidak perlu bersusah-susah mendapatkannya sebab hal itu adalah karunia, pemberian kasih berdasarkan kehendak Allah. Kita juga tidak perlu kuatir sebab bisa jadi Allah ingin memberikan karuna lain yang lebih efektif bagi kita untuk membangun jemaat. Allah tidak menciptakan semua bagian tubuh sebagai kaki, Ia juga menciptakan tangan, mulut, telinga, mata, dsb. Demikianpun Allah tidak memberikan semua orang karunia bahasa roh, sebab ia juga memberikan karunia-karunia lain bagi pembangunan jemaat-Nya. Ini jelas berbeda dengan kalangan tertentu yang berusaha mendapatkan karunia bahasa roh, bahkan bersusah-susah menyediakan hari khusus untuk mendapatkan karunia tersebut. Dua hal inilah yang menurut saya membuat karunia bahasa roh “jarang” terlihat dalam kalangan Injili atau Reformed.

4.       Bagaimana dengan denominasi tertentu dalam ibadahnya pasti muncul bahasa roh bersama-sama dengan semua jemaatnya? Bandingkan dengan 1Kor. 14:26b-28, ayat tersebut sangat jelas dimengerti. Kalau saja praktik ibadah di atas masih berlangsung sekarang, pasti mereka memunyai dasar Alkitab lain, bagaimana hal ini bisa terjadi?
Jawab:
Ya, memang ibadah seperti demikian tidak memiliki dukungan dari teks Alkitab manapun. Dalam nas tadi, Paulus jelas mengatakan bahwa ada batasan yang jelas soal penggunaan bahasa roh dalam pertemuan ibadah jemaat, (1) tidak boleh bersama-sama, paling banyak tiga orang bergantian, dan (2) harus ada yang menafsirkannya sehingga berguna untuk membangun tubuh Kristus. Selain motif pribadi, gereja-gereja aliran tertentu nampaknya medasarkan penggunaan bahasa roh bersama-sama dari kisah-kisah di Kisah Para Rasul. Saat peristiwa Pentakosta, saat Roh Kudus turun pada orang-orang Samaria, dsb, di sana cukup banyak orang berbahasa roh bersama-sama. Akan tetapi penggunaan nas tersebut jelas tidak tepat. Nas-nas Kisah Rasul bukan sedang berbicara tentang bahasa roh dalam konteks karunia jemaat tetapi sebagai tanda dimulainya jaman baru pada kelompok orang tertentu, sebab setelah itu Kisah Rasul tidak pernah mencatat praktik berbahasa roh bersama-sama terjadi lagi dalam sebuah tempat atau kelompok. Jadi, praktik berbahasa roh bersama-sama dalam konteks jemaat tetap bukanlah praktik yang mendapat dukungan dari teks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar