ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Kamis, 30 Juni 2011

Karya Roh Kudus dalam Gereja: Sebuah Refleksi dari Yohanes 16:4b-15


Beberapa waktu lalu, kita orang Kristen baru saja merayakan salah satu hari besar kita, yakni hari Pentakosta. Meskipun gempitanya tidak semeriah Paskah apalagi Natal, tetapi bagi beberapa kalangan Kristen, terutama kalangan dimana saya lahir dan bertumbuh, hari Pentakosta merupakan hari raya yang sangat penting karena biasanya dalam masa-masa ini, meniru yang terjadi dalam Kisah Rasul, adalah waktu dimana mereka berpeluang besar menerima kepenuhan “Roh Kudus.” Ketika saya masih kecil, saya diajarkan bahwa dalam masa sepuluh hari sejak peringatan kenaikan Yesus sampai dengan hari Pentakosta, seorang Kristen yang saleh dan sungguh-sungguh akan memiliki kesempatan besar untuk menerima kepenuhan Roh Kudus, yang tanda utamanya ialah berbahasa lidah. Bukan hanya itu, masa itu juga merupakan masa potensial untuk merasakan anugerah, “jamahan,” dan mujizat Tuhan. Maka tidak heran bahwa pada masa sepuluh hari itu, dalam gereja kalangan tersebut, akan diadakan banyak KKR dan ibadah doa yang fokusnya mengejar hal-hal tersebut.
Benak saya kemudian mencoba beralih ke masa lalu, mengingat mengapa dulu saya diajarkan untuk mengejar hal-hal tersebut. Akhirnya, saya tersadar bahwa hal-hal tersebut merupakan standar utama bagi kalangan itu untuk menilai hidup kerohanian seseorang atau bahkan kehidupan gereja. Semakin banyak jemaat berbahasa lidah atau merasakan jamahan mujizat, wow, maka semakin sehatlah gereja itu. Hal ini nampaknya sudah menjadi sebuah konsensus di kalangan tersebut, sehingga tidak terelakkan lagi, bahwa gereja-gereja non aliran mereka, yang jemaatnya tidak berbahasa lidah atau dianggap “jarang” merasakan mujizat Tuhan (tentunya termasuk gereja yang saya layani saat ini, yang afiliasinya merupakan gereja Reformed-Tionghoa), maka gereja itu bukan gereja yang sehat. Gereja itu bukan gereja yang dijamah Roh Kudus, atau lebih buruk lagi, gereja itu bukan gereja yang punya Roh Kudus. Saya ingat bahwa stigma ini pun merupakan konsensus dalam kalangan tersebut, yang sewaktu kecil juga turut memenuhi konsep saya.
Tepat lima hari sebelum peringatan hari Pentakosta lalu, seorang pemuda saya menceritakan pengalamannya ketika bertemu dan berdiskusi dengan beberapa orang pemuda dari sebuah gereja dari kalangan tersebut (gereja yang terkenal suka memakai minyak, yang pendetanya sering pergi pulang ke sorga). Intinya, dia menceritakan bahwa orang-orang tersebut mengeluarkan sebuah statemen yang sinis bahwa gereja kami bukanlah gereja yang punya Roh Kudus. Bahkan gereja yang tidak percaya Allah Tritunggal, sebab tidak percaya Roh Kudus. Jadi, karena gereja kami tidak menerima berbahasa lidah dalam ibadah dan tidak mengutamakan mujizat, maka munculllah stempel atas gereja kami (dan tentunya juga gereja-gereja yang seazas dengan kami) bahwa kami adalah gereja yang salah. Pertanyaannya apakah memang benar hal-hal itu yang menjadi tanda gereja yang benar atau gereja yang memiliki Roh Kudus?

Menarik disimak, dalam nas tadi Tuhan Yesus memberitahu kita mengenai karya-karya yang dilakukan Roh Kudus di dalam dunia. Ada dua jenis karya yang dilakukan Roh Kudus yang dipaparkan Tuhan di sini, dimana salah satunya berguna untuk menguji apakah kita atau gereja kita merupakan gereja yang berjalan menurut pimpinan Roh Kudus. Dalam ayat 8-11, karya pertama yang dilakukan Roh Kudus adalah karya yang terkait dengan dunia secara umum. Dikatakan di sana bahwa Roh Kudus akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman. Kata “menginsafkan” di sini sebenarnya berarti meyakinkan tentang kesalahan mereka, dan ini terkait dengan 3 hal, yakni dosa, kebenaran dan penghakiman. Lalu apa maksudnya?
Menginsafkan akan dosa merujuk pada penolakan mereka terhadap Yesus: Roh Kudus lah yang akan menyatakan bahwa penolakan dunia terhadap Yesus sebagai utusan Allah ialah penolakan terhadap Allah yang mengutus-Nya, dan itu adalah dosa. Akan kebenaran sebab standar mereka mengenai kebenaran merupakan hal yang salah: mereka menganggap bahwa penolakan mereka terhadap Yesus adalah hal yang benar, padahal sebenarnya hal itu merupakan kesalahan. Dan mengenai penghakiman, sebab dosa dan standar yang salah itu akan membawa penghakiman terhadap mereka. Pernyataan Roh Kudus ini sendiri memang tidak selalu membawa pertobatan sebab dalam beberapa bagian lain karya Roh Kudus tidak selalu menyiratkan adanya pertobatan, malah pengerasan hati dan penghukuan (mis. Kis. 2:22-41; 7:51-57; 9:1-6; 1Kor. 14:24; 2Kor. 2:15, 16; Tt. 1:13). Makna yang diungkapkan nas ini ialah bahwa dalam karya pertama-Nya, Roh Kudus meyakinkan seseorang mengenai keberdosaannya dan konsekuensi yang harus mereka terima atas keberdosaan tersebut. Ide yang dikemukakan ialah pemisahan yang dilakukan oleh Roh Kudus. Karya Roh Kudus di satu sisi merupakan cara Allah memanggil orang-orang kepada pertobatan bagi mereka yang menerima-Nya, namun di sisi lain juga merupakan pemberitaan mengenai hukuman Allah bagi mereka yang menolak-Nya.

Setelah membawa pemisahan bagi dunia, fokus karya kedua yang dilakukan Roh Kudus sebagaimana dipaparkan Tuhan Yesus, menyempit pada orang-orang yang menerima-Nya, pada komunitas murid-murid Tuhan atau yang bisa kita bahasakan hari ini sebagai gereja. Ada dua hal yang dilakukan Roh Kudus dalam diri orang-orang percaya. Hal pertama yang dilakukan-Nya ialah  “menuntun gereja kepada kebenaran” (ayat 13).  Apakah kebenaran yang dimaksud di sini? Di dalam Injil Yohanes, kata “kebenaran” dalam mayoritas terkait dengan Tuhan Yesus (Mis. Yoh. 1:14, 17; 5:33; 8:32, 40, dsb). Bahkan dalam Yohanes 14:6, Tuhan Yesus mengatakan bahwa Ia sendirilah kebenaran. Ini berarti menuntun kepada kebenaran ialah karya Roh Kudus yang akan menuntun murid-murid Tuhan semakin dekat kepada Kristus dan karya-Nya. Konkritnya, Roh Kudus membantu para murid memahami dan menuliskan karya kematian, kebangkitan dan penyelamatan-Nya dengan baik (inspirasi), dan Roh Kudus juga yang menuntun kita untuk mengerti apa yang telah dituliskan supaya kita bisa memahaminya dengan benar (iluminasi). Di situlah Roh Kudus menuntun kita semua kepada kebenaran, kepada Yesus dan karya-Nya.
Ini berarti ukuran gereja maupun hidup kerohanian yang benar ialah dari seberapa banyak gereja atau hidup kita mencintai kebenaran Kristus. Sehebat apapun gereja namun ketika gereja tidak lagi mencintai kebenaran Kristus maka gereja itu bukan gereja yang sehat. Ketika gereja terus memberitakan tentang hal-hal yang menyenangkan dan nyaman namun tidak memberitakan tentang Kristus, gereja itu bukan gereja yang sehat. Ketika gereja mengejar hal yang lain dan bukannya firman Allah, maka gereja perlu berhati-hati melihat arahnya. Ketika gereja membuat jemaat mengejar hal yang lain selain Yesus, maka berdasarkan deskripsi Yesus, gereja itu bukan gereja yang dituntun oleh Roh Kudus.
Apakah yang menjadi prioritas dalam gereja Anda: Minyak urapan? Berkat? Nubuatan? Mujizat? Atau Firman Allah? Gereja ataupun seseorang yang dituntun oleh Roh Kudus seharusnya memiliki orientasi kepada kebenaran Kristus bukan karunia atau pemberian-Nya! Tugas gereja yang sehat ialah selalu memberitakan kebenaran Allah bukan hal-hal yang menyenangkan orang! Jadi, kesehatan gereja bukan diukur dari seberapa banyak jumlah jemaat atau jumlah orang yang berbahasa roh ataupun besarnya gedung tetapi dari seberapa kecintaan gereja terhadap kebenaran Kristus.

Tuhan Yesus lalu menjelaskan bahwa karya Roh Kudus kedua ialah "memuliakan Yesus” (ayat 14-15), dan karena itu juga, orang yang dipimpin oleh Roh Kudus seharusnya juga memuliakan Yesus. Sekitar abad kedua, ada seorang bapa gereja yang kemudian dicap sebagai bidat yang bernama Montanius. Dia adalah anak seorang imam yang merasa tidak puas dengan Kekristenan karena melulu berbicara soal Yesus tapi tidak pernah menyinggung soal Roh Kudus. Memang harus diakui bahwa selama empat abad pertama, gereja sedang bergumul dengan formula Trinitas dan keilahian Yesus, sehingga akibatnya, pada masa itu, gereja tidak terlalu banyak berbicara tentang Roh Kudus. Akibat ketimpangan ini, dia memberontak dan menyebut diri sebagai nabi Roh Kudus. Masalahnya, dia kemudian beralih dari satu ekstrim ke ekstrim lain, dari yang dia anggap mengabaikan “Roh Kudus” menjadi “mengabaikan Yesus.”
Bahkan caranya mendapat wahyu sangat bertentangan dengan firman Tuhan. Dikatakan bahwa ketika diurapi Roh Kudus, dia akan bernubuat layaknya orang kerasukan, tidak sadar. Prinsip ini jelas bertentangan dengan firman Tuhan. Paulus dalam Efesus 5:18 mengontraskan penuh Roh Kudus dengan mabuk oleh anggur. Ada dua hal yang dipertentangkan olehnya di sini. Penuh Roh Kudus jelas bukan seperti orang mabuk. Bila orang mabuk kehilangan kesadarannya, maka orang yang dijamah Roh Kudus tidak kehilangan kesadarannya. Ini juga bisa digunakan sebagai cara awal untuk menilai seseorang yang sedang “dijamah” Roh Kudus. Bila “jamahan” tersebut membuat seseorang ada dalam keadaan ekstase atau tidak sadar, maka itu jelas bukan jamahan Roh Kudus tapi kerasukan iblis. Beberapa waktu lalu saya melihat rekaman seorang pendeta terkenal di Amerika yang sedang mengalami “mabuk dalam Roh.” Nah, bila kita mau jujur terhadap firman, dengan yakin kita harus berani menyatakan peristiwa itu bukan karya Roh Kudus tapi karya roh lain. Satu prinsip penting yang harus diingat, Roh Kudus bekerja tidak pernah mengambil kesadaran seseorang. Hal kedua yang dipertentangkan oleh Paulus ialah hasilnya. Bila mabuk oleh anggur hanya menghasilkan perbuatan yang negatif (yakni menimbulkan hawa nafsu), tetapi orang yang dipenuhi harusnya menghasilkan perbuatan-perbuatan positif.
Berkaca dari kisah Montanius tadi, hari ini pun tren yang sama bisa kita temui dalam gereja-gereja tertentu: banyak berbicara tentang Roh Kudus dan karunia-Nya tapi jarang menyinggung tentang Yesus dan karya penyelamatan-Nya. Seorang pendeta bahkan secara ekstrim meletakkan sebuah kursi kosong di belakang mimbar yang tidak boleh diduduki oleh siapapun, sebab kursi itu diperuntukkannya khusus bagi Roh Kudus. Wow, saya lalu berkelakar dimana kursi untuk Bapa dan Yesus?!!
Masalahnya, Karya Roh Kudus yang sejati seharusnya tidak demikian, sebab tujuan dari karya Roh Kudus ialah memuliakan Tuhan Yesus. Roh Kudus tidak pernah bekerja terpisah dari Yesus, sebab fokus utama-Nya ialah membawa kemuliaan bagi Yesus. Ini juga harusnya menjadi perenungan bagi kita, apakah di dalam gereja kita Yesus dimuliakan? Gereja yang memiliki Roh Kudus maka gereja itu akan selalu memuliakan Yesus. Ketika yang diagungkan bukan Yesus, tapi hal-hal lain (entah program, orang kaya, uang, bahkan doktrin) maka gereja perlu memeriksa diri kembali. Saya agak terkejut bahwa beberapa waktu lalu ada sebuah gereja yang membanggakan dirinya di koran karena standar manajemennya diakui oleh ISO. Saya jadi berpikir mengapa gereja tersebut tidak dikenal karena Kristus tapi karena manajemennya? Saya juga sering bergurau dengan beberapa orang yang terlalu mendewakan pendetanya sehingga terasa kudus seperti Tuhan (seolah menghina Tuhan masih lebih bisa diampuni tinimbang menghina pendetanya) atau pun tentang hamba-hamba Tuhan yang takut menegur donatur gereja yang sedang hidup dalam dosa. Bila salah satu hal ini (saya berdoa tidak ada gereja yang mengalami semua hal ini) terjadi pada gereja kita, sebenarnya itu menunjukkan betapa tidak sehatnya gereja kita.  Gereja yang sejati harus memuliakan Yesus dan juga mengajak jemaat memuliakan Yesus. Jadi, betapapun jemaat gereja kita rajin “berbahasa lidah” tapi ketika Yesus tidak dimuliakan, maka di hadapan Tuhan gereja itu menjadi gereja yang sakit.

Kedua karya Roh Kudus dalam gereja ini menunjukkan bagaimana kita menilai kesehatan suatu gereja, termasuk gereja kita sendiri. Apakah gereja kita berfokus pada kebenaran Yesus dan memuliakan Yesus? Apakah gereja kita menjadi gereja yang semakin berdasar dan bertindak sesuai firman Tuhan? Apakah yang disampaikan di mimbar dan terus direnungkan jemaat ialah firman? Atau hal-hal yang lain? Apakah gereja terus meninggikan Yesus dan rindu memuliakan Yesus dalam tiap segi kehidupan gereja?
Kedua hal ini juga mengingatkan kita bahwa gereja kita sangat membutuhkan Roh Kudus. Roh Kudus lah yang memampukan kita menuju kebenaran dan memuliakan Yesus. Kita hari ini tidak sedang hidup di tengah zaman yang mencintai kebenaran melainkan zaman yang mementingkan kesenangan dan kenyamanan. Masalahnya, kenyamanan dan kesenangan itu kini banyak dipakai oleh ajaran-ajaran sesat untuk menarik banyak orang masuk ke dalamnya. Saya rasa ini memang hal yang wajar. Kita tidak akan mau minum sebuah minuman bila ada label racun di bungkus minumannya. Tapi bila kita melihat susu, dan kita tidak tahu ada racun di dalamnya, tentu kita bersedia meminumnya. Sama seperti itu, kita akan langsung menolak bila mendengar nama-nama aliran yang sesat, namun bila kesesatan itu memakai jubah Kristiani yang baik dan menarik, bisa jadi kita malah bersahabat dengan kesesatan itu. Mungkin kita sedang hidup dekat dengan serigala yang memakai jubah domba!
Karena itu, di tengah zaman yang seperti ini, kita perlu bersandar pada Roh Kebenaran supaya kita peka terhadap racun-racun itu. Kita tidak akan pernah tahu mana uang yang asli, mana uang yang palsu, bila kita sibuk mengenali uang palsu. Tetapi bila kita belajar baik mengenali uang asli, maka ketika ada uang palsu, kita pasti langsung bisa mengenalinya. Demikianpun, mengetahui ajaran sesat bukan dengan jalan mengenali semua ajaran sesat (karena bisa jadi malah akan membuat kita skeptis terhadap semua hal, termasuk ajaran yang asli), tetapi dengan mengenali sungguh-sungguh ajaran yang benar. Tetapi bagaimana kita bisa mengenali ajaran yang benar? Satu-satunya cara, dengan berjalan bersama dengan firman Allah dan Roh Kebenaran, sebab hanya melalui keduanya kita bisa mengenali kebenaran, dan kita akan dibuat lebih peka ketika muncul sesuatu yang tidak benar di sekitar kita.
Roh Kudus bukanlah milik kalangan Kristen tertentu saja. Roh Kudus ialah Allah Orang Kristen, karena itu kita semua sebagai orang Kristen harus berjalan sesuai tuntunannya, sebab tanpa Roh Kudus kita tidak akan pernah mampu hidup dengan benar dan memuliakan Yesus. Amin.





Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil modifikasi dari kotbah yang saya sampaikan dalam Peringatan Hari Pentakosta di Kebaktian Umum 3 GKT Hosana.

Kamis, 23 Juni 2011

ABBA 22

1.    Dan. 5:25, dalam mimpi Belsyazar, ada tulisan “mene, mene, tekel ufarsin,” tetapi Daniel lalu mengartikan kata-kata: mene, tekel, dan peres. Mengapa demikian?
Jawab:
Ungkapan “mene, mene, tekel ufarsin” merupakan ungkapan dalam bahasa Aram, yang memang terdiri dari tiga kata: “mene” artinya menghitung,” “tekel”  artinya “menimbang,” dan “peres” artinya “membagi.” Kata “ufarsin” terdiri awalan “u” artinya “dan” dan kata “peres” artinya “membagi.” Mungkin ada yang berpikir, mengapa kata yang terakhir tidak menjadi “uperes”? Nah, ini terjadi sebab penyesuaian pengucapan dalam bahasa Ibrani. Ini sama seperti ketika kita menambahakan awalan “me-“ pada kata “timbang,” misalnya. Kita tidak mengucapkannya “metimbang” tetapi “menimbang,” dimana ini disebabkan oleh karena penyesuaian saja. Di dalam bahasa aslinya, yang tidak memakai vokalisasi, akar kata ini sebenarnya masih bisa dideteksi (wprsyn dari kata prs), walaupun bagi kita yang tidak memahami Bahasa Ibrani, kaitan ini tidak bisa terlihat.
Terjemahan Alkitab kita (TB-LAI) memilih tidak menerjemahkan ungkapan ini, namun tetap mempertahankan istilah Aram tersebut. Terjemahan Alkitab Bahasa Inggris bervariasi dalam menerjemahkannya. Beberapa terjemahan Alkitab seperti King James Version (KJV), Geneva Bible, New American Standard Bible (NASB), sama seperti TB-LAI juga mempertahankan istilah tersebut. Sementara beberapa terjemahan lain (English Standard Version (ESV), Revised Standard Version (RSV), dan Jerusalem Bible), mempertahankan istilah tersebut namun langsung menerjemahkan “u” sebagai “dan” (Mene, mene, tekel and parsin), walaupun ada juga yang justru menghilangkan awalan “u” tersebut dalam terjemahan (mene, mene, tekel, parsin; misalnya New International Version dan New Living Traslation). Sementara Young Literal Translation dan Terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan langsung istilah tersebut (numbered, numbered, weighed and divided; dihitung, dihitung, ditimbang, dibagi).


2.   Pada Hagai 1:14, kemudian disambung ayat berikutnya 2:1a, permulaan ayat 2:1a adalah pada tengah tengah kalimat. Lalu ada judul pasal 2, dan disambung dengan 2:1b. Mengapa pemberian nomor ayat atau pemenggalan kalimat terasa janggal? (Mestinya nomor ayat tersebut bisa diletakkan dengan enak atau rapi)
Jawab:
Penting diingat bahwa pembagian nas dan perikop merupakan sebuah hal yang tentatif (dugaan sementara) dan bukan konklusif (pasti). Ingat bahwa naskah asli Kitab Suci ditulis tanpa ada pembagian pasal dan ayat seperti kita hari ini. Usaha membagi pasal dan ayat Alkitab ini dimulai oleh usaha seorang Uskup Agung Canterbury bernama Stephen Langton (kurang lebih 1150–9 July 1228), tujuannya untuk mempermudah seseorang dalam mengingat rujukan teks Alkitab. Usaha ini sendiri sebenarnya bukan usaha yang mudah, bahkan luar biasa sulit, sebab naskah Kitab Suci ditulis tanpa tanda baca (bahkan mayoritas tanpa spasi) sehingga terkadang untuk memutuskan panjang sebuah kalimat atau menentukan jenis sebuah kalimat butuh pendalaman yang sangat lama. Akibatnya, pembagian Kitab Suci ini kadang tidak sama antar Kitab Suci, misalnya pembagian pasal dan ayat dalam Kitab Mazmur, antara Septuaginta (Terjemahan Perjanjian Lama dalam Bahasa Ibrani) dan naskah Masoret (naskah Ibrani standar) juga tidak sama dalam beberapa nomor. Untuk memperjelas, saya memberi contoh pembanding sederhana. Misalnya, kita menemukan sebuah kumpulan huruf BETWOMAN, maka bisa jadi ada orang yang mengartikannya BET WOMAN, tapi bisa juga diartikan BE TWO MAN. Lalu manakah yang benar? Dalam hal ini, konteks menjadi penentu dan pembagi kalimat yang paling adil.
Dalam nas Hagai ini pun ternyata pembagian nas bahasa Indonesia berbeda dengan terjemahan bahasa Inggris. Terjemahan bahasa Indonesia menganggap kalimat “pada hari yang kedua puluh empat dalam bulan yang keenam” masih terkait dengan bagian sebelumnya, soal kedatangan beberapa orang untuk mulai mengerjakan pembangunan Rumah Allah: itu mengapa kalimat ini masih disertakan dalam pasal 1. Sedangkan kalimat “pada tahun yang kedua zaman raja Darius,” dianggap sebagai keterangan waktu datangnya firman Tuhan kepada Hagai, itu mengapa kalimat ini dimasukkan sebagai pembuka pasal 2.
Sedangkan mayoritas terjemahan bahasa Inggris memasukkan keseluruhan kalimat tersebut sebagai bagian dari pasal 1, dan menjadikannya sebagai ayat 15 dari pasal 1. Menilik dari konteks Kitab Hagai, nampaknya pembagian terjemahan bahasa Inggris nampak lebih tepat. Meletakkan kalimat “pada hari yang kedua puluh empat dalam bulan yang keenam” sebagai bagian penutup dari pasal 1 akan sebuah inkusio (kesejajaran di awal dan akhir).  Bagian ini dimulai dengan keterangan waktu “pada tahun yang kedua zaman raja Darius” dan ditutup dengan keterangan waktu yang sama pula.


3.       Mengapa ada banyak kesamaan kisah di Matius, Markus dan Lukas?
Jawab:
Memang ketika kita membandingkan ketiga Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) kita akan menemukan banyak kesamaan di antara ketiganya. Kesamaan ini meliputi beberapa hal, pertama, kesamaan alur kisah: ketiganya mempunyai alur kisah yang sama:  pelayanan di Galilea – penarikan diri ke daerah utara (dengan pengakuan Petrus sebagai puncaknya dan poin transisinya) – pelayanan di Yudea dan Berea, dalam perjalanan menuju Yerusalem – pelayanan akhir di Yerusalem. Kedua, kesamaan ini juga mencakup kesamaan isi, ketiganya berfokus pada kisah yang sama, yakni penyembuhan Yesus, pengusiran setan oleh Yesus, dan pengajaran Yesus dalam perumpamaan. Ketiga, kesamaan ini juga mencakup soal pemilihan dan penggunaan kata. Dan keempat, kesamaan ini juga mencakup soal sintaksis (susunan kalimat) dan parenthetical material (materi tambahan/sisipan). Kesamaan-kesamaan ini, terutama kesamaan keempat, menunjukkan adanya ketergantungan sastra di antara ketiga Injil tersebut.
Di dalam bahasa Yunani, seseorang bisa membuat sebuah kalimat pendek dengan bermacam cara. Ini menjadi makin rumit sebab bahasa Yunani tidak mengenal susunan SPOK (subyek-predikat-obyek-keterangan) seperti kita. Letak suatu kata dalam sebuah kalimat bisa dimana saja karena fungsi sebuah kata tidak ditentukan oleh letaknya tapi oleh jenis/kasusnya. Contohnya untuk membuat sebuah kalimat “Paulus mencintai Allah” ada bermacam cara dalam bahasa Yunaninya. Bisa paulos agapei theon, bisa pauolos theon agapei, bisa agapei paulos theon, bisa agapei theon paulos, bisa theon agapei paulos, bisa theon paulos agapei, bisa ho paulos agapei ton theon, bisa juga kata mencintainya tidak memakai agapei tetapi memakai filei, dan seterusnya, dan seterunya. Sehingga, setidaknya bisa ada puluhan pilihan dalam bahasa Yunani untuk membuat kalimat yang artinya “Paulus mencintai Allah.” Nah, bila ada banyak pilihan tetapi ada tiga orang menulis kalimat dengan cara yang sama, berarti jelas ada ketergantungan sastra di antara ketiganya (atau bisa juga disebut saling salin atau saling “contek”).
Ketergantungan sastra ini makin jelas karena adanya komentar yang sama terhadap sebuah kalimat. Contoh yang paling jelas misalnya bandingkan komentar dalam Mat. 24:15b-16 dengan Mrk. 13:14b, ada kalimat yang sangat identik di sana “para pembaca hendaklah memperhatikannya maka orang-orang yang di Yudea haruslah melarikan diri ke pegunungan.” Walaupun memang tetap ada perbedaan-perbedaan tetapi kesamaan-kesamaan ini menjadi bukti yang kuat bahwa ada ketergantungan sastra di antara ketiganya.
Para sarjana Alkitab kemudian merusmuskan ketergantungan ini sebagai berikut:

 
Markus adalah Injil yang tertua dan pertama kali ditulis di antara ketiga Injil ini. Injil ini disalin dan diredaksi (diubah dan disesuaikan) baik oleh Matius dan Lukas. Bila dalam satu bagian Matius, Markus dan Lukas memiliki kisah yang sama, bagian itu merupakan bagian yang bersumber dari Markus, yang diredaksi oleh Matius dan Lukas. Namun, ada juga bagian-bagian yang ada dalam Matius dan Lukas tetapi tidak ada dalam Markus. Bagian itu diambil dari sebuah sumber (Q=Quelle, Jerman; artinya “sumber”) yang dipakai bersama oleh Matius dan Lukas tetapi terpisah dari Markus. Namun ada juga bagian-bagian yang hanya ada dalam Matius. Bagian itu diambil dari sumber independen Matius yang biasa dinamakan “M.” sedangkan bagian-bagian yang khas Lukas diperoleh dari sumbernya yang biasa disebut “L.” Jadi, mengapa ada banyak kesamaan dalam ketiga Injil Sinoptik? Sebab memang ada ketergantungan sastra di antara ketiga Injil tersebut.


4.       Tolong jelaskan lagi perbedaan silsilah Tuhan Yesus dalam Mat. 1:1-17 dan Luk. 3:25-38?
Jawab:
Silsilah Yesus dalam kedua Injil ini memang berbeda, dan beragam solusi telah ditawarkan untuk menjelaskan perbedaan tersebut. Salah satu yang cukup populer ialah bahwa Matius mencatat silsilah dari garis Yusuf sedangkan Lukas mencatat dari garis Maria. Namun, kini solusi itu mulai banyak ditinggalkan. Mayoritas sarjana hari ini meyakini bahwa Matius mencatat silsilah Yesus dari sisi suksesi kerajaan sementara Lukas mencatat silsilah yang aktual. Perbedaan yang ada kemungkinan dikarenakan adanya perkawinan Levirat yang terjadi pada salah satu generasi (Levirat adalah perkawinan penerus, maksudnya jika seorang pria (A) menikah dengan seorang wanita (B) dan pria tersebut mati tanpa anak, maka saudara terdekat pria tersebut (C) harus menikahi wanita tersebut (B) dan anak pertama dari perkawianan saudara terdekat pria tersebut (C) dan wanita itu (B) akan dianggap sebagai anak pria tadi (A; bnd. Mat. 22:24-28).


5.     Kelahiran Yesus di Betlehem membawa akibat kesedihan bagi orang tua yang mempunyai anak laki-kali di bawah dua tahun akibat perintah raja Herodes. Bagaimana ini bisa dijelaskan, bahwa kelahiran seorang Mesias membawa “korban” banyak anak-anak?
Jawab:
Kita perlu melihat peristiwa ini dalam kerangka yang lebih utuh. Pernyataan kebenaran memang akan selalu dibarengi dengan ketidakpuasan oleh orang-orang yang membenci kebenaran. Dalam kerangka pemikiran yang kosmis atau supranatural, Alkitab menceritakan bahwa selalu ada peperangan antara Allah dan Iblis di sepanjang masa. Ide ini selalu muncul dalam kisah-kisah Kitab Suci, dan sangat jelas diuraikan dalam Kitab Wahyu. Ketika Allah sedang mewujudkan rencana-Nya, maka iblis akan selalu ada di sisi satunya untuk menggagalkan rencana tersebut. Termasuk dalam kisah kelahiran Yesus, yang salah satunya merupakan langkah awal dari realisasi penghukuman iblis (bnd. Kej. 3:15), tentu iblis tidak akan tinggal diam melihat realisasi penghukumannya dimulai. Jadi, pembunuhan anak-anak tersebut merupakan langkah iblis untuk menggagalkan rencana keselamatan Allah dan juga penghukuman atas dirinya, dengan menggunakan Herodes sebagai alatnya.
Apakah anak-anak yang dibunuh itu anak yang malang? Bila dikaitkan dengan konsep teologi Reformed Modern mengenai kematian bayi ternyata tidak. Teologi Reformed Modern meyakini bahwa semua bayi yang mati merupakan orang-orang yang secara otomatis menerima keselamatan. Dengan demikian, meskipun bayi-bayi tersebut tidak memiliki kesempatan untuk hidup tetapi mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga, anugerah keselamatan. Untuk pembahasan yang sangat baik mengenai kematian bayi, bisa dibaca dalam buku karangan Ronald Nash, “Keselamatan di balik Kematian Bayi” (terbitan Momentum Surabaya , 2003) atau lihat juga pembahasan seklias di page ini, pertanyaan nomor 7.


6.    Yesus datang ke Sungai Yordan dan minta dibaptis oleh Yohanes. Bandingkan dengan Mat. 3:1-2, 5-6; Yohanes berkotbah minta mereka bertobat, dan setelah penduduk mengaku dosa mereka dibaptis. Apa yang menejadi relevansinya Yesus dibaptis? Apa perlunya Yesus dibaptis (Dia tidak berdosa), kalau dikaitkan dengan manusia biasa sebagai tanda pertobatan (Mat. 3:11)?
Jawab:
Untuk membaca kisah pembaptisan Yesus dalam Mat. 3:13-17, kita perlu melihat pada bagian sebelumnya. Dalam ay. 11-12, dikatakan bahwa Yohanes hanya membaptis dengan air, tetapi Mesias yang akan datang akan membaptis dengan api dan roh. Matius meletakkan ucapan ini tepat sebelum Yesus datang, tujuannya untuk menunjukkan bahwa Yesus lah Mesias yang dimaksud. Ini makin jelas sebab dalam ay. 14, Yohanes menyadari bahwa Yesus lah Mesias itu, yang seharusnya membaptis dia bukan sebaliknya. Lalu mengapa Yesus dibaptis? Alasannya jelas, dalam ay. 15: “Biarlah itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.”
Mesias yang dijanjikan, menurut Kitab Suci, datang dari kalangan orang Yahudi, sebab Ia disebut Anak Daud. Mesias itu juga akan menjadi penegak hukum Allah. Nah, dengan membiarkan diri-Nya dibaptis, Yesus sedang menyatakan bahwa Ia memenuhi kedua syarat itu: Ia sedang menyatakan kemesiasan-Nya. Dengan dibaptis, Ia menyatakan bahwa Ia orang Yahudi. Sebab salah satu tanda keyahudian ialah adanya ritual pembasuhan (baptis). Dengan dibaptis, Yesus juga menyatakan bahwa Ia berasal dari Allah, sebab Ia taat dan menegakkan hukum Allah (soal pembasuhan) bukan meniadakannya. Jadi, pembaptisan Yesus bukan terkait dengan pertobatan tapi klaimnya sebagai Mesias dari Allah dan ketaatan-Nya kepada rencana Allah. Nantinya ini juga dipertegas oleh Bapa sendiri dalam ayat 17: Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Yesus diperkenan sebab Ia tunduk dan menegakkan hukum Allah.


7.    Apa arti baptisan Roh Kudus (Mat. 3:11), Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.
Jawab:
Ungkapan baptisan Roh Kudus dan api sebenarnya merujuk pada hal yang sama. Baptisan Roh Kudus merujuk pada karya Yesus yang nampaknya digenapi pada peristiwa Pentakosta (bnd. Kis. 1:5), sementara api merujuk pada penyucian. Sehingga baptisan Roh Kudus dan Api kurang lebih berarti karya Yesus mengirimkan Roh Kudus yang menyucikan dan membersihkan seseorang. Baptisan ini sebenarnya juga menjadi tanda kemesiasan Yesus, sebab orang Yahudi pada masa itu beranggapan bahwa Roh Kudus telah “ditarik” Allah sampai dengan zaman datangnya Mesias. Dengan mengumumkan Yesus sebagai pembaptis Roh Kudus dan Api, Yohanes secara tegas sedang menyatakan kemesiasan Yesus.


8.    Mat. 5:17, apa yang dimaksud dengan Hukum Taurat? Apa artinya Yesus datang bukan untuk meniadakan Hukum Taurat melainkan untuk menggenapinya? Hukum Taurat juga datangnya dari Allah.
Jawab:
Memang benar bahwa Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi (atau sederhananya, Kitab Suci) berasal dari Allah. Maka dari itu, Yesus datang bukan untuk membawa sebuah ajaran baru yang sama sekali berbeda dari Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi melainkan untuk menggenapi (atau menegaskan) Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi tersebut. Yesus memahami dan menegaskan bahwa hidup dan karya-Nya bukan sebagai lawan dari Perjanjian Lama tetapi justru membawa perkembangan baginya. Ayat 18 semakin menunjukkan bahwa Tuhan Yesus memiliki penghargaan yang sangat tinggi terhadap Kitab Suci, sebuah dasar dimana Ia dan orang Yahudi memulai ajaran. Ia mengatakan bahwa “satu iota” pun tidak akan ditiadakan dari Hukum Taurat (Iota di sini merujuk pada huruf terkecil dalam abjad Ibrani, yod) sebelum semuanya terjadi. Dengan demikian, Yesus menegaskan bahwa Kitab Suci tidak berisi hanya sebagian kebenaran atau hanya benar dalam waktu tertentu saja; Yesus justru sedang menegaskan bahwa seluruh Kitab Suci sungguh-sungguh benar dan dapat dipercaya, oleh karena itulah Ia mendasarkan misi dan karya-Nya pada Kitab Suci.


9.  Mat. 5:19, pelanggaran terhadap Hukum Taurat atau sebaliknya melakukan Hukum Taurat berkaitan langsung dengan posisi orang tersebut di Kerajaan Sorga?
Jawab:
Ya, memang nas ini menunjukkan bahwa adanya pembedaan kedudukan di sorga. Ide mengenai tingkatan kehormatan atau ketidakhormatan dalam kerajaan memang muncul dalam banyak nas di Injil Sinoptik (Mat. 20:20-28; Luk. 12:47-48). Nas ini menjelaskan bahwa pembedaan ini dibuat tidak hanya berdasarkan ukuran apakah seseorang “menjaga hukum terkecil” tetapi juga berdasarkan kesetiaan seseorang dalam mengajarkannya.


10. Mat. 5:23-32. Pengertian: tinggalah persembahanmu, pergilah … , cungkil dan buanglah mata … , penggal dan buanglah tangan … , semua ini tentu dalam pengertian kiasan, bukankah kita bisa minta ampun atas semua kesalahan dan dosa kita?
Jawab:
Ya, memang nas ini tidak untuk diartikan secara literal. Poin yang Yesus ingin sampaikan yakni supaya kita tidak menikmati hidup dalam dosa dan membiarkan tubuh kita menjadi alat dosa. Meminjam bahasa Paulus, yang Yesus maksudkan ialah “matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala” (Kol. 3:5). Menariknya, seorang Bapa Gereja bernama Origen, menafsirkan nas ini secara literal sehingga dia mengebiri dirinya supaya tidak tergoda oleh dosa. Penafisran demikian tentu penafsiran yang keliru dan bukan apa yang Yesus maksudkan. Apakah Allah mengampuni dosa kita? Tentu saja, Allah telah mengampuni semua dosa kita, yang sudah, sedang dan akan diperbuat. Namun, itu tidak berarti kita lantas hidup bermain-main dengan dosa. Paulus dalam Roma 6 telah menjelaskannya bagi kita, bahwa pengampunan dan anugerah Allah seharusnya tidak boleh membuat kita makin terbenam dalam dosa.

Jumat, 10 Juni 2011

MENARI DI TENGAH BADAI (Habakuk 3:16-19)


Apakah damai itu? Seringkali kita mengasosiasikannya dengan keadaan yang baik, sukses dan lancar. Atau ketika kita memang harus mengalami kesulitan, maka damai ialah ketika kita menemukan jalan keluar dari kesulitan tersebut. Intinya, damai bagi kita merupakan sebuah keadaan yang ditentukan oleh kondisi. Bila demikian, maka Habakuk sepertinya bukan orang yang bisa merasakan “damai” tersebut.
Nas ini merupakan nas yang menceritakan pergumulan Habakuk mengenai bangsanya. Pergumulan ini sendiri dimulai pada pasal 1:1-4. Di sana ia melihat keadaan-keadaan yang sulit yang sedang terjadi pada bangsanya. Dikatakan bahwa ada penindasan (ay. 2), ada kejahatan (ay. 3) bahkan dikatakan tidak ada keadilan di tengah-tengah bangsanya, sebab hukum kehilangan kekuatan dan keadilan muncul terbalik (ay. 4). Tinggal dalam kondisi demikian tentu bukan hal yang menyenangkan bagi seseorang yang mencintai damai dan keadilan. Bagaimana perasaan kita bila kita tinggal di suatu daerah yang angka kejahatannya sangat tinggi? Suatu daerah yang setiap hari selalu ada pencurian, sering tejadi perampokan dan penjarahan, bahkan tak jarang pula ada pembunuhan? Tentu sulit bagi kita untuk merasa nyaman da tenang. Nah, saya memnayangkan kurang seperti itulah perasaan yang dialami Habakuk.
Sebagai seorang Yehuda yang baik, tentu yang Habakuk harapkan ialah Tuhan menggerakkan bangsanya untuk bertobat. Tetapi menarik sekali jawaban Tuhan membuat Habakuk menjadi terkejut. Ketika Habakuk meminta Allah bekerja, dalam pasal 1: 5-11, Allah malah menjawab bahwa Dia akan menghukum bangsa Yehuda dengan mengirimkan bangsa Kasdim. Masalahnya, bangsa ini merupakan bangsa yang lebih jahat, sehingga mereka pasti merasa bahwa bangsa itu tidak layak untuk menghukum mereka. Penghukuman dengan memakai bangsa Kasdim berarti tidak sedang membuat keadaan bangsa Israel lebih baik, namun lebih buruk. Sederhananya, ketika Habakuk meminta Tuhan mengubah keadaan yang buruk itu menjadi baik, ternyata Tuhan malah menjanjikan penghukuman yang lebih berat bagi bangsanya: Tuhan tidak membuat keadaan buruk itu jadi baik, tetapi malah lebih buruk!
Hal ini tentu bukan hal yang mudah. Ini sama seperti memohon kesembuhan kepada Tuhan tapi malah dijawab dengan kematian. Pergumulan berat ini ternyata dialami oleh Habakuk. Dan tentu saja bukan hal yang mudah untuk bisa menerima hal tersebut. Bagi bangsa Yehuda yang hidupnya bergantung pada pertanian, ayat 17 merupakan situasi yang sangat sulit. Pohon ara, buah-buahan dan minyak merupakan produk-produk pilihan mereka (band. Yoel 1:7; Hos 2:12; Mik 4:4; 6:15; Ul 6:11; 8:8). Lebih daripada itu, ladang yang tidak menghasilkan makanan dan ternak yang musnah menyangkut kebutuhan pokok yang tidak bisa tergantikan. Situasi ini bukan hanya masalah ekonomi. Ketidakadaan komoditas di atas sangat terkait dengan ibadah mereka di bait Allah yang pasti melibatkan minyak, gandum dan kurban bakaran. Lebih jauh, semua komoditas tersebut berhubungan dengan perjanjian antara Allah dan umat-Nya: komoditas tersebut adalah hasil perjanjian (Im 26:3-5, 10; Ul 28:2-14) dan digunakan dalam berbagai hari raya untuk memperingati perjanjian tersebut. Pendeknya, situasi ini secara nalar sulit dihadapi oleh setiap bangsa Yehuda. Situasi ini merupaka situasi yang amat sulit untuk dihadapi.
Tetapi dalam pergumulannya, Habakuk menemukan jawaban mengenai apa itu arti damai Tuhan. Dalam kondisi sulit itu ia bisa merasa bersukacita sebab damai Tuhan merupakan sebuah damai yang tidak dibatasi oleh kondisi. Damai Tuhan bukan didasarkan atas apa yang diberikan Allah tetapi atas Allah sendiri. Damai sejati terjadi bukan ketika kesulitan berubah menjadi kebaikan, tetapi saat Tuhan menjadi kekuatan kita dan menyertai kita mampu menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut (ay. 19); bukan semata saat kita menemukan jalan keluar tetapi saat kita menemukan Tuhan dalam kekacauan itu. Hal ini seharusnya juga mengingatkan kita bahwa damai yang sejati ialah sebuah sukacita yang tidak terbatas oleh kondisi melainkan oleh kehadiran Allah. Karena itu, dalam menghadapi kesuitan-kesulitan sadarlah bahwa kehadiran dan penyertaan Tuhan merupakan penghiburan terbesar dalam mengadapi masa-masa tersulit dalam hidup kita.
Ada sebuah pengalaman hidup John Wesley - seorang pelopor gerakan Metodis yang terkenal - yang sangat menentukan hidupnya, salah satunya adalah perjumpaan John Wesley dengan sekelompok kaum Moravian di sebuah kapal menuju kepulauan Amerika. Waktu itu ia diangkat sebagai pendeta untuk melayani kaum pendatang di Amerika. Kapal yang ia tumpangi dilanda badai di tengah Samudera Atlantik. Semua orang panik, kecuali kelompok Moravian yang tetap memuji Tuhan dengan sukacita. Ketika John Wesley bertanya mengapa mereka begitu tenang dan malah bersukacita, mereka ganti bertanya kepada John Wesley, “Apakah engkau mengenal Yesus Kristus?”, “Apakah Engkau tahu bahwa Ia adalah Anak Allah?”, “Apakah engkau yakin bahwa engkau diselamatkan?” Pengalaman ini turut menuntun John Wesley pada pertobatan yang sejati dengan puncaknya ketika ia mendengar pendahuluan tafsiran Roma yang ditulis Martin Luther. Kesulitan yang dihadapi dengan keyakinan akan penyertaan Tuhan akan membawa kita pada kekuatan dan sukacita yang sejati.
Yohan Cadawasa memberikan sebuah refleksi yang sangat baik bagi kita. Ia menulis demikian:

“Ketika kita sakit, apakah penyakit itu mendorong kita mencari kesembuhan atau penyembuh; ketika kita miskin, kita didorong mencari kekayaan atau Pemberi kekayaan? Umumya jawaban pertamalah yang kita pilih. Maka setelah mendapatkannya kita tidak lagi peduli pada pemberinya dan pergi meninggalkan-Nya. Karena kita tidak membutuhkan Tuhan dalam kelancaran kita, padahal sesungguhnya kita harus datang dan mendapatkan Sang penyembuh, sang Pemberi itu sendiri
Luka seharusnya mengingatkan kita bukan pada kebutuhan akan kesembuhan tetapi pada Penyembuh. Kemiskinan seharusnya menarik kita bukan pada kekayaan tetapi pada Allah Pncipta langit dan bumi. Kesedihan seharusnya tidak membawa kita kepada hiburan tetapi Pengibur. Kecelakaan seharusnya membuat kita bukan mencari keselamatan tetapi penyelamat.
Itu berati Allah sendiri sebagai tujuan. Karena sesungguhnya Dia tidak memberi damai, Dia adalah damai itu sendiri. Dia tidak memberi hikmat, Dia adalah hikmat itu sendiri. Dia tidak memberi kasih, Dia adalah kasih itu sendiri. Dia tidak memberi kekuatan, tetapi adalah kekuatan itu sendiri. Dia tidak memberi warisan, tetapi adalah warisan itu sendiri. Dia tidak memberi sukacita, tetapi adalah sukacita itu sendiri. Dia tidak memberi kelegaan juga bukan alat untuk mengubah situasi agar kita menjadi lega, tetapi Dia sendirilah kelegaan itu.”

Kenyataan ini seharusnya membuat kita makin mendekat kepada Tuhan, menjadikan Dia sebagai yang terutama selama-lamanya, sebab hanya di dalam Dialah ada damai yang sejati. Damai yang sejati bukan ditentukan dari keadaan kita tapi dari kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Dan ketika menyadari bahwa Ia selalu besera kita, maka seharusnya selalu ada damai dalam hidup kita. Keyakinan akan penyertaan Tuhan ialah kunci yang membuat Habakuk bisa bersukacita di tengah kesulitan yang ia alami, penyertaan inilah yang membuat kaum Moroavian tadi bisa bernyanyi di tengah badai, dan penyeraan ini juga lah yang akan memampukan kita tetap tegar di tengah terjangan hidup. Amin.