ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Jumat, 10 Juni 2011

MENARI DI TENGAH BADAI (Habakuk 3:16-19)


Apakah damai itu? Seringkali kita mengasosiasikannya dengan keadaan yang baik, sukses dan lancar. Atau ketika kita memang harus mengalami kesulitan, maka damai ialah ketika kita menemukan jalan keluar dari kesulitan tersebut. Intinya, damai bagi kita merupakan sebuah keadaan yang ditentukan oleh kondisi. Bila demikian, maka Habakuk sepertinya bukan orang yang bisa merasakan “damai” tersebut.
Nas ini merupakan nas yang menceritakan pergumulan Habakuk mengenai bangsanya. Pergumulan ini sendiri dimulai pada pasal 1:1-4. Di sana ia melihat keadaan-keadaan yang sulit yang sedang terjadi pada bangsanya. Dikatakan bahwa ada penindasan (ay. 2), ada kejahatan (ay. 3) bahkan dikatakan tidak ada keadilan di tengah-tengah bangsanya, sebab hukum kehilangan kekuatan dan keadilan muncul terbalik (ay. 4). Tinggal dalam kondisi demikian tentu bukan hal yang menyenangkan bagi seseorang yang mencintai damai dan keadilan. Bagaimana perasaan kita bila kita tinggal di suatu daerah yang angka kejahatannya sangat tinggi? Suatu daerah yang setiap hari selalu ada pencurian, sering tejadi perampokan dan penjarahan, bahkan tak jarang pula ada pembunuhan? Tentu sulit bagi kita untuk merasa nyaman da tenang. Nah, saya memnayangkan kurang seperti itulah perasaan yang dialami Habakuk.
Sebagai seorang Yehuda yang baik, tentu yang Habakuk harapkan ialah Tuhan menggerakkan bangsanya untuk bertobat. Tetapi menarik sekali jawaban Tuhan membuat Habakuk menjadi terkejut. Ketika Habakuk meminta Allah bekerja, dalam pasal 1: 5-11, Allah malah menjawab bahwa Dia akan menghukum bangsa Yehuda dengan mengirimkan bangsa Kasdim. Masalahnya, bangsa ini merupakan bangsa yang lebih jahat, sehingga mereka pasti merasa bahwa bangsa itu tidak layak untuk menghukum mereka. Penghukuman dengan memakai bangsa Kasdim berarti tidak sedang membuat keadaan bangsa Israel lebih baik, namun lebih buruk. Sederhananya, ketika Habakuk meminta Tuhan mengubah keadaan yang buruk itu menjadi baik, ternyata Tuhan malah menjanjikan penghukuman yang lebih berat bagi bangsanya: Tuhan tidak membuat keadaan buruk itu jadi baik, tetapi malah lebih buruk!
Hal ini tentu bukan hal yang mudah. Ini sama seperti memohon kesembuhan kepada Tuhan tapi malah dijawab dengan kematian. Pergumulan berat ini ternyata dialami oleh Habakuk. Dan tentu saja bukan hal yang mudah untuk bisa menerima hal tersebut. Bagi bangsa Yehuda yang hidupnya bergantung pada pertanian, ayat 17 merupakan situasi yang sangat sulit. Pohon ara, buah-buahan dan minyak merupakan produk-produk pilihan mereka (band. Yoel 1:7; Hos 2:12; Mik 4:4; 6:15; Ul 6:11; 8:8). Lebih daripada itu, ladang yang tidak menghasilkan makanan dan ternak yang musnah menyangkut kebutuhan pokok yang tidak bisa tergantikan. Situasi ini bukan hanya masalah ekonomi. Ketidakadaan komoditas di atas sangat terkait dengan ibadah mereka di bait Allah yang pasti melibatkan minyak, gandum dan kurban bakaran. Lebih jauh, semua komoditas tersebut berhubungan dengan perjanjian antara Allah dan umat-Nya: komoditas tersebut adalah hasil perjanjian (Im 26:3-5, 10; Ul 28:2-14) dan digunakan dalam berbagai hari raya untuk memperingati perjanjian tersebut. Pendeknya, situasi ini secara nalar sulit dihadapi oleh setiap bangsa Yehuda. Situasi ini merupaka situasi yang amat sulit untuk dihadapi.
Tetapi dalam pergumulannya, Habakuk menemukan jawaban mengenai apa itu arti damai Tuhan. Dalam kondisi sulit itu ia bisa merasa bersukacita sebab damai Tuhan merupakan sebuah damai yang tidak dibatasi oleh kondisi. Damai Tuhan bukan didasarkan atas apa yang diberikan Allah tetapi atas Allah sendiri. Damai sejati terjadi bukan ketika kesulitan berubah menjadi kebaikan, tetapi saat Tuhan menjadi kekuatan kita dan menyertai kita mampu menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut (ay. 19); bukan semata saat kita menemukan jalan keluar tetapi saat kita menemukan Tuhan dalam kekacauan itu. Hal ini seharusnya juga mengingatkan kita bahwa damai yang sejati ialah sebuah sukacita yang tidak terbatas oleh kondisi melainkan oleh kehadiran Allah. Karena itu, dalam menghadapi kesuitan-kesulitan sadarlah bahwa kehadiran dan penyertaan Tuhan merupakan penghiburan terbesar dalam mengadapi masa-masa tersulit dalam hidup kita.
Ada sebuah pengalaman hidup John Wesley - seorang pelopor gerakan Metodis yang terkenal - yang sangat menentukan hidupnya, salah satunya adalah perjumpaan John Wesley dengan sekelompok kaum Moravian di sebuah kapal menuju kepulauan Amerika. Waktu itu ia diangkat sebagai pendeta untuk melayani kaum pendatang di Amerika. Kapal yang ia tumpangi dilanda badai di tengah Samudera Atlantik. Semua orang panik, kecuali kelompok Moravian yang tetap memuji Tuhan dengan sukacita. Ketika John Wesley bertanya mengapa mereka begitu tenang dan malah bersukacita, mereka ganti bertanya kepada John Wesley, “Apakah engkau mengenal Yesus Kristus?”, “Apakah Engkau tahu bahwa Ia adalah Anak Allah?”, “Apakah engkau yakin bahwa engkau diselamatkan?” Pengalaman ini turut menuntun John Wesley pada pertobatan yang sejati dengan puncaknya ketika ia mendengar pendahuluan tafsiran Roma yang ditulis Martin Luther. Kesulitan yang dihadapi dengan keyakinan akan penyertaan Tuhan akan membawa kita pada kekuatan dan sukacita yang sejati.
Yohan Cadawasa memberikan sebuah refleksi yang sangat baik bagi kita. Ia menulis demikian:

“Ketika kita sakit, apakah penyakit itu mendorong kita mencari kesembuhan atau penyembuh; ketika kita miskin, kita didorong mencari kekayaan atau Pemberi kekayaan? Umumya jawaban pertamalah yang kita pilih. Maka setelah mendapatkannya kita tidak lagi peduli pada pemberinya dan pergi meninggalkan-Nya. Karena kita tidak membutuhkan Tuhan dalam kelancaran kita, padahal sesungguhnya kita harus datang dan mendapatkan Sang penyembuh, sang Pemberi itu sendiri
Luka seharusnya mengingatkan kita bukan pada kebutuhan akan kesembuhan tetapi pada Penyembuh. Kemiskinan seharusnya menarik kita bukan pada kekayaan tetapi pada Allah Pncipta langit dan bumi. Kesedihan seharusnya tidak membawa kita kepada hiburan tetapi Pengibur. Kecelakaan seharusnya membuat kita bukan mencari keselamatan tetapi penyelamat.
Itu berati Allah sendiri sebagai tujuan. Karena sesungguhnya Dia tidak memberi damai, Dia adalah damai itu sendiri. Dia tidak memberi hikmat, Dia adalah hikmat itu sendiri. Dia tidak memberi kasih, Dia adalah kasih itu sendiri. Dia tidak memberi kekuatan, tetapi adalah kekuatan itu sendiri. Dia tidak memberi warisan, tetapi adalah warisan itu sendiri. Dia tidak memberi sukacita, tetapi adalah sukacita itu sendiri. Dia tidak memberi kelegaan juga bukan alat untuk mengubah situasi agar kita menjadi lega, tetapi Dia sendirilah kelegaan itu.”

Kenyataan ini seharusnya membuat kita makin mendekat kepada Tuhan, menjadikan Dia sebagai yang terutama selama-lamanya, sebab hanya di dalam Dialah ada damai yang sejati. Damai yang sejati bukan ditentukan dari keadaan kita tapi dari kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Dan ketika menyadari bahwa Ia selalu besera kita, maka seharusnya selalu ada damai dalam hidup kita. Keyakinan akan penyertaan Tuhan ialah kunci yang membuat Habakuk bisa bersukacita di tengah kesulitan yang ia alami, penyertaan inilah yang membuat kaum Moroavian tadi bisa bernyanyi di tengah badai, dan penyeraan ini juga lah yang akan memampukan kita tetap tegar di tengah terjangan hidup. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar