ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Kamis, 23 Juni 2011

ABBA 22

1.    Dan. 5:25, dalam mimpi Belsyazar, ada tulisan “mene, mene, tekel ufarsin,” tetapi Daniel lalu mengartikan kata-kata: mene, tekel, dan peres. Mengapa demikian?
Jawab:
Ungkapan “mene, mene, tekel ufarsin” merupakan ungkapan dalam bahasa Aram, yang memang terdiri dari tiga kata: “mene” artinya menghitung,” “tekel”  artinya “menimbang,” dan “peres” artinya “membagi.” Kata “ufarsin” terdiri awalan “u” artinya “dan” dan kata “peres” artinya “membagi.” Mungkin ada yang berpikir, mengapa kata yang terakhir tidak menjadi “uperes”? Nah, ini terjadi sebab penyesuaian pengucapan dalam bahasa Ibrani. Ini sama seperti ketika kita menambahakan awalan “me-“ pada kata “timbang,” misalnya. Kita tidak mengucapkannya “metimbang” tetapi “menimbang,” dimana ini disebabkan oleh karena penyesuaian saja. Di dalam bahasa aslinya, yang tidak memakai vokalisasi, akar kata ini sebenarnya masih bisa dideteksi (wprsyn dari kata prs), walaupun bagi kita yang tidak memahami Bahasa Ibrani, kaitan ini tidak bisa terlihat.
Terjemahan Alkitab kita (TB-LAI) memilih tidak menerjemahkan ungkapan ini, namun tetap mempertahankan istilah Aram tersebut. Terjemahan Alkitab Bahasa Inggris bervariasi dalam menerjemahkannya. Beberapa terjemahan Alkitab seperti King James Version (KJV), Geneva Bible, New American Standard Bible (NASB), sama seperti TB-LAI juga mempertahankan istilah tersebut. Sementara beberapa terjemahan lain (English Standard Version (ESV), Revised Standard Version (RSV), dan Jerusalem Bible), mempertahankan istilah tersebut namun langsung menerjemahkan “u” sebagai “dan” (Mene, mene, tekel and parsin), walaupun ada juga yang justru menghilangkan awalan “u” tersebut dalam terjemahan (mene, mene, tekel, parsin; misalnya New International Version dan New Living Traslation). Sementara Young Literal Translation dan Terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan langsung istilah tersebut (numbered, numbered, weighed and divided; dihitung, dihitung, ditimbang, dibagi).


2.   Pada Hagai 1:14, kemudian disambung ayat berikutnya 2:1a, permulaan ayat 2:1a adalah pada tengah tengah kalimat. Lalu ada judul pasal 2, dan disambung dengan 2:1b. Mengapa pemberian nomor ayat atau pemenggalan kalimat terasa janggal? (Mestinya nomor ayat tersebut bisa diletakkan dengan enak atau rapi)
Jawab:
Penting diingat bahwa pembagian nas dan perikop merupakan sebuah hal yang tentatif (dugaan sementara) dan bukan konklusif (pasti). Ingat bahwa naskah asli Kitab Suci ditulis tanpa ada pembagian pasal dan ayat seperti kita hari ini. Usaha membagi pasal dan ayat Alkitab ini dimulai oleh usaha seorang Uskup Agung Canterbury bernama Stephen Langton (kurang lebih 1150–9 July 1228), tujuannya untuk mempermudah seseorang dalam mengingat rujukan teks Alkitab. Usaha ini sendiri sebenarnya bukan usaha yang mudah, bahkan luar biasa sulit, sebab naskah Kitab Suci ditulis tanpa tanda baca (bahkan mayoritas tanpa spasi) sehingga terkadang untuk memutuskan panjang sebuah kalimat atau menentukan jenis sebuah kalimat butuh pendalaman yang sangat lama. Akibatnya, pembagian Kitab Suci ini kadang tidak sama antar Kitab Suci, misalnya pembagian pasal dan ayat dalam Kitab Mazmur, antara Septuaginta (Terjemahan Perjanjian Lama dalam Bahasa Ibrani) dan naskah Masoret (naskah Ibrani standar) juga tidak sama dalam beberapa nomor. Untuk memperjelas, saya memberi contoh pembanding sederhana. Misalnya, kita menemukan sebuah kumpulan huruf BETWOMAN, maka bisa jadi ada orang yang mengartikannya BET WOMAN, tapi bisa juga diartikan BE TWO MAN. Lalu manakah yang benar? Dalam hal ini, konteks menjadi penentu dan pembagi kalimat yang paling adil.
Dalam nas Hagai ini pun ternyata pembagian nas bahasa Indonesia berbeda dengan terjemahan bahasa Inggris. Terjemahan bahasa Indonesia menganggap kalimat “pada hari yang kedua puluh empat dalam bulan yang keenam” masih terkait dengan bagian sebelumnya, soal kedatangan beberapa orang untuk mulai mengerjakan pembangunan Rumah Allah: itu mengapa kalimat ini masih disertakan dalam pasal 1. Sedangkan kalimat “pada tahun yang kedua zaman raja Darius,” dianggap sebagai keterangan waktu datangnya firman Tuhan kepada Hagai, itu mengapa kalimat ini dimasukkan sebagai pembuka pasal 2.
Sedangkan mayoritas terjemahan bahasa Inggris memasukkan keseluruhan kalimat tersebut sebagai bagian dari pasal 1, dan menjadikannya sebagai ayat 15 dari pasal 1. Menilik dari konteks Kitab Hagai, nampaknya pembagian terjemahan bahasa Inggris nampak lebih tepat. Meletakkan kalimat “pada hari yang kedua puluh empat dalam bulan yang keenam” sebagai bagian penutup dari pasal 1 akan sebuah inkusio (kesejajaran di awal dan akhir).  Bagian ini dimulai dengan keterangan waktu “pada tahun yang kedua zaman raja Darius” dan ditutup dengan keterangan waktu yang sama pula.


3.       Mengapa ada banyak kesamaan kisah di Matius, Markus dan Lukas?
Jawab:
Memang ketika kita membandingkan ketiga Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) kita akan menemukan banyak kesamaan di antara ketiganya. Kesamaan ini meliputi beberapa hal, pertama, kesamaan alur kisah: ketiganya mempunyai alur kisah yang sama:  pelayanan di Galilea – penarikan diri ke daerah utara (dengan pengakuan Petrus sebagai puncaknya dan poin transisinya) – pelayanan di Yudea dan Berea, dalam perjalanan menuju Yerusalem – pelayanan akhir di Yerusalem. Kedua, kesamaan ini juga mencakup kesamaan isi, ketiganya berfokus pada kisah yang sama, yakni penyembuhan Yesus, pengusiran setan oleh Yesus, dan pengajaran Yesus dalam perumpamaan. Ketiga, kesamaan ini juga mencakup soal pemilihan dan penggunaan kata. Dan keempat, kesamaan ini juga mencakup soal sintaksis (susunan kalimat) dan parenthetical material (materi tambahan/sisipan). Kesamaan-kesamaan ini, terutama kesamaan keempat, menunjukkan adanya ketergantungan sastra di antara ketiga Injil tersebut.
Di dalam bahasa Yunani, seseorang bisa membuat sebuah kalimat pendek dengan bermacam cara. Ini menjadi makin rumit sebab bahasa Yunani tidak mengenal susunan SPOK (subyek-predikat-obyek-keterangan) seperti kita. Letak suatu kata dalam sebuah kalimat bisa dimana saja karena fungsi sebuah kata tidak ditentukan oleh letaknya tapi oleh jenis/kasusnya. Contohnya untuk membuat sebuah kalimat “Paulus mencintai Allah” ada bermacam cara dalam bahasa Yunaninya. Bisa paulos agapei theon, bisa pauolos theon agapei, bisa agapei paulos theon, bisa agapei theon paulos, bisa theon agapei paulos, bisa theon paulos agapei, bisa ho paulos agapei ton theon, bisa juga kata mencintainya tidak memakai agapei tetapi memakai filei, dan seterusnya, dan seterunya. Sehingga, setidaknya bisa ada puluhan pilihan dalam bahasa Yunani untuk membuat kalimat yang artinya “Paulus mencintai Allah.” Nah, bila ada banyak pilihan tetapi ada tiga orang menulis kalimat dengan cara yang sama, berarti jelas ada ketergantungan sastra di antara ketiganya (atau bisa juga disebut saling salin atau saling “contek”).
Ketergantungan sastra ini makin jelas karena adanya komentar yang sama terhadap sebuah kalimat. Contoh yang paling jelas misalnya bandingkan komentar dalam Mat. 24:15b-16 dengan Mrk. 13:14b, ada kalimat yang sangat identik di sana “para pembaca hendaklah memperhatikannya maka orang-orang yang di Yudea haruslah melarikan diri ke pegunungan.” Walaupun memang tetap ada perbedaan-perbedaan tetapi kesamaan-kesamaan ini menjadi bukti yang kuat bahwa ada ketergantungan sastra di antara ketiganya.
Para sarjana Alkitab kemudian merusmuskan ketergantungan ini sebagai berikut:

 
Markus adalah Injil yang tertua dan pertama kali ditulis di antara ketiga Injil ini. Injil ini disalin dan diredaksi (diubah dan disesuaikan) baik oleh Matius dan Lukas. Bila dalam satu bagian Matius, Markus dan Lukas memiliki kisah yang sama, bagian itu merupakan bagian yang bersumber dari Markus, yang diredaksi oleh Matius dan Lukas. Namun, ada juga bagian-bagian yang ada dalam Matius dan Lukas tetapi tidak ada dalam Markus. Bagian itu diambil dari sebuah sumber (Q=Quelle, Jerman; artinya “sumber”) yang dipakai bersama oleh Matius dan Lukas tetapi terpisah dari Markus. Namun ada juga bagian-bagian yang hanya ada dalam Matius. Bagian itu diambil dari sumber independen Matius yang biasa dinamakan “M.” sedangkan bagian-bagian yang khas Lukas diperoleh dari sumbernya yang biasa disebut “L.” Jadi, mengapa ada banyak kesamaan dalam ketiga Injil Sinoptik? Sebab memang ada ketergantungan sastra di antara ketiga Injil tersebut.


4.       Tolong jelaskan lagi perbedaan silsilah Tuhan Yesus dalam Mat. 1:1-17 dan Luk. 3:25-38?
Jawab:
Silsilah Yesus dalam kedua Injil ini memang berbeda, dan beragam solusi telah ditawarkan untuk menjelaskan perbedaan tersebut. Salah satu yang cukup populer ialah bahwa Matius mencatat silsilah dari garis Yusuf sedangkan Lukas mencatat dari garis Maria. Namun, kini solusi itu mulai banyak ditinggalkan. Mayoritas sarjana hari ini meyakini bahwa Matius mencatat silsilah Yesus dari sisi suksesi kerajaan sementara Lukas mencatat silsilah yang aktual. Perbedaan yang ada kemungkinan dikarenakan adanya perkawinan Levirat yang terjadi pada salah satu generasi (Levirat adalah perkawinan penerus, maksudnya jika seorang pria (A) menikah dengan seorang wanita (B) dan pria tersebut mati tanpa anak, maka saudara terdekat pria tersebut (C) harus menikahi wanita tersebut (B) dan anak pertama dari perkawianan saudara terdekat pria tersebut (C) dan wanita itu (B) akan dianggap sebagai anak pria tadi (A; bnd. Mat. 22:24-28).


5.     Kelahiran Yesus di Betlehem membawa akibat kesedihan bagi orang tua yang mempunyai anak laki-kali di bawah dua tahun akibat perintah raja Herodes. Bagaimana ini bisa dijelaskan, bahwa kelahiran seorang Mesias membawa “korban” banyak anak-anak?
Jawab:
Kita perlu melihat peristiwa ini dalam kerangka yang lebih utuh. Pernyataan kebenaran memang akan selalu dibarengi dengan ketidakpuasan oleh orang-orang yang membenci kebenaran. Dalam kerangka pemikiran yang kosmis atau supranatural, Alkitab menceritakan bahwa selalu ada peperangan antara Allah dan Iblis di sepanjang masa. Ide ini selalu muncul dalam kisah-kisah Kitab Suci, dan sangat jelas diuraikan dalam Kitab Wahyu. Ketika Allah sedang mewujudkan rencana-Nya, maka iblis akan selalu ada di sisi satunya untuk menggagalkan rencana tersebut. Termasuk dalam kisah kelahiran Yesus, yang salah satunya merupakan langkah awal dari realisasi penghukuman iblis (bnd. Kej. 3:15), tentu iblis tidak akan tinggal diam melihat realisasi penghukumannya dimulai. Jadi, pembunuhan anak-anak tersebut merupakan langkah iblis untuk menggagalkan rencana keselamatan Allah dan juga penghukuman atas dirinya, dengan menggunakan Herodes sebagai alatnya.
Apakah anak-anak yang dibunuh itu anak yang malang? Bila dikaitkan dengan konsep teologi Reformed Modern mengenai kematian bayi ternyata tidak. Teologi Reformed Modern meyakini bahwa semua bayi yang mati merupakan orang-orang yang secara otomatis menerima keselamatan. Dengan demikian, meskipun bayi-bayi tersebut tidak memiliki kesempatan untuk hidup tetapi mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga, anugerah keselamatan. Untuk pembahasan yang sangat baik mengenai kematian bayi, bisa dibaca dalam buku karangan Ronald Nash, “Keselamatan di balik Kematian Bayi” (terbitan Momentum Surabaya , 2003) atau lihat juga pembahasan seklias di page ini, pertanyaan nomor 7.


6.    Yesus datang ke Sungai Yordan dan minta dibaptis oleh Yohanes. Bandingkan dengan Mat. 3:1-2, 5-6; Yohanes berkotbah minta mereka bertobat, dan setelah penduduk mengaku dosa mereka dibaptis. Apa yang menejadi relevansinya Yesus dibaptis? Apa perlunya Yesus dibaptis (Dia tidak berdosa), kalau dikaitkan dengan manusia biasa sebagai tanda pertobatan (Mat. 3:11)?
Jawab:
Untuk membaca kisah pembaptisan Yesus dalam Mat. 3:13-17, kita perlu melihat pada bagian sebelumnya. Dalam ay. 11-12, dikatakan bahwa Yohanes hanya membaptis dengan air, tetapi Mesias yang akan datang akan membaptis dengan api dan roh. Matius meletakkan ucapan ini tepat sebelum Yesus datang, tujuannya untuk menunjukkan bahwa Yesus lah Mesias yang dimaksud. Ini makin jelas sebab dalam ay. 14, Yohanes menyadari bahwa Yesus lah Mesias itu, yang seharusnya membaptis dia bukan sebaliknya. Lalu mengapa Yesus dibaptis? Alasannya jelas, dalam ay. 15: “Biarlah itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.”
Mesias yang dijanjikan, menurut Kitab Suci, datang dari kalangan orang Yahudi, sebab Ia disebut Anak Daud. Mesias itu juga akan menjadi penegak hukum Allah. Nah, dengan membiarkan diri-Nya dibaptis, Yesus sedang menyatakan bahwa Ia memenuhi kedua syarat itu: Ia sedang menyatakan kemesiasan-Nya. Dengan dibaptis, Ia menyatakan bahwa Ia orang Yahudi. Sebab salah satu tanda keyahudian ialah adanya ritual pembasuhan (baptis). Dengan dibaptis, Yesus juga menyatakan bahwa Ia berasal dari Allah, sebab Ia taat dan menegakkan hukum Allah (soal pembasuhan) bukan meniadakannya. Jadi, pembaptisan Yesus bukan terkait dengan pertobatan tapi klaimnya sebagai Mesias dari Allah dan ketaatan-Nya kepada rencana Allah. Nantinya ini juga dipertegas oleh Bapa sendiri dalam ayat 17: Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Yesus diperkenan sebab Ia tunduk dan menegakkan hukum Allah.


7.    Apa arti baptisan Roh Kudus (Mat. 3:11), Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.
Jawab:
Ungkapan baptisan Roh Kudus dan api sebenarnya merujuk pada hal yang sama. Baptisan Roh Kudus merujuk pada karya Yesus yang nampaknya digenapi pada peristiwa Pentakosta (bnd. Kis. 1:5), sementara api merujuk pada penyucian. Sehingga baptisan Roh Kudus dan Api kurang lebih berarti karya Yesus mengirimkan Roh Kudus yang menyucikan dan membersihkan seseorang. Baptisan ini sebenarnya juga menjadi tanda kemesiasan Yesus, sebab orang Yahudi pada masa itu beranggapan bahwa Roh Kudus telah “ditarik” Allah sampai dengan zaman datangnya Mesias. Dengan mengumumkan Yesus sebagai pembaptis Roh Kudus dan Api, Yohanes secara tegas sedang menyatakan kemesiasan Yesus.


8.    Mat. 5:17, apa yang dimaksud dengan Hukum Taurat? Apa artinya Yesus datang bukan untuk meniadakan Hukum Taurat melainkan untuk menggenapinya? Hukum Taurat juga datangnya dari Allah.
Jawab:
Memang benar bahwa Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi (atau sederhananya, Kitab Suci) berasal dari Allah. Maka dari itu, Yesus datang bukan untuk membawa sebuah ajaran baru yang sama sekali berbeda dari Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi melainkan untuk menggenapi (atau menegaskan) Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi tersebut. Yesus memahami dan menegaskan bahwa hidup dan karya-Nya bukan sebagai lawan dari Perjanjian Lama tetapi justru membawa perkembangan baginya. Ayat 18 semakin menunjukkan bahwa Tuhan Yesus memiliki penghargaan yang sangat tinggi terhadap Kitab Suci, sebuah dasar dimana Ia dan orang Yahudi memulai ajaran. Ia mengatakan bahwa “satu iota” pun tidak akan ditiadakan dari Hukum Taurat (Iota di sini merujuk pada huruf terkecil dalam abjad Ibrani, yod) sebelum semuanya terjadi. Dengan demikian, Yesus menegaskan bahwa Kitab Suci tidak berisi hanya sebagian kebenaran atau hanya benar dalam waktu tertentu saja; Yesus justru sedang menegaskan bahwa seluruh Kitab Suci sungguh-sungguh benar dan dapat dipercaya, oleh karena itulah Ia mendasarkan misi dan karya-Nya pada Kitab Suci.


9.  Mat. 5:19, pelanggaran terhadap Hukum Taurat atau sebaliknya melakukan Hukum Taurat berkaitan langsung dengan posisi orang tersebut di Kerajaan Sorga?
Jawab:
Ya, memang nas ini menunjukkan bahwa adanya pembedaan kedudukan di sorga. Ide mengenai tingkatan kehormatan atau ketidakhormatan dalam kerajaan memang muncul dalam banyak nas di Injil Sinoptik (Mat. 20:20-28; Luk. 12:47-48). Nas ini menjelaskan bahwa pembedaan ini dibuat tidak hanya berdasarkan ukuran apakah seseorang “menjaga hukum terkecil” tetapi juga berdasarkan kesetiaan seseorang dalam mengajarkannya.


10. Mat. 5:23-32. Pengertian: tinggalah persembahanmu, pergilah … , cungkil dan buanglah mata … , penggal dan buanglah tangan … , semua ini tentu dalam pengertian kiasan, bukankah kita bisa minta ampun atas semua kesalahan dan dosa kita?
Jawab:
Ya, memang nas ini tidak untuk diartikan secara literal. Poin yang Yesus ingin sampaikan yakni supaya kita tidak menikmati hidup dalam dosa dan membiarkan tubuh kita menjadi alat dosa. Meminjam bahasa Paulus, yang Yesus maksudkan ialah “matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala” (Kol. 3:5). Menariknya, seorang Bapa Gereja bernama Origen, menafsirkan nas ini secara literal sehingga dia mengebiri dirinya supaya tidak tergoda oleh dosa. Penafisran demikian tentu penafsiran yang keliru dan bukan apa yang Yesus maksudkan. Apakah Allah mengampuni dosa kita? Tentu saja, Allah telah mengampuni semua dosa kita, yang sudah, sedang dan akan diperbuat. Namun, itu tidak berarti kita lantas hidup bermain-main dengan dosa. Paulus dalam Roma 6 telah menjelaskannya bagi kita, bahwa pengampunan dan anugerah Allah seharusnya tidak boleh membuat kita makin terbenam dalam dosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar