ABBA = Ayo Bersama Baca Alkitab

Desiring the Truth! Loving the Truth! Living for the Truth!
Soli Deo Gloria

Rabu, 21 Desember 2011

ABBA 30

1.       Apa yang dimaksud dengan pengertian batu penjuru dalam kehidupan kita dalam Roma 9:33?
Jawab:
Istilah batu penjuru tidak terdapat dalam Rm. 9:33. Tetapi Yesus memang dalam banyak bagian Kitab Suci disebut sebagai Batu Penjuru (Kis. 4:11; Ef. 2:20; 1Pet. 2:6), ungkapan ini merujuk pada fungsi Yesus sebagai dasar dari gereja dan Kekristenan. Seperti pernah dijelaskan, batu penjuru merupakan batu yang penting dalam sebuah bangunan. Batu ini fungsinya menyatukan dan memperkuat sisi-sisi bangunan. Menurut seorang sarjana, beberapa batu penjuru panjangnya sekitar 19 kaki dan lebarnya 7,5 kaki. Batu ini memiliki peran yang penting bagi kekokohan sebuah bangunan (bnd. 1Raj. 5:17; 7:9). Dengan menyebut Yesus sebagai Batu Penjuru, penulis Alkitab sedang menunjukkan bahwa Yesus merupakan hal yang penting dalam Kekristenan, gereja dan bahkan kehidupan kita, sebab Yesus yang membuat Kekristenan, gereja dan kehidupan kita menjadi kokoh. Itulah mengapa dengan yakin Paulus mengatakan, “… dan siapa yang percaya kepada-Nya tidak akan dipermalukan” (Rm. 9:33c).

2.       Roma 8:29-30, orang yang dipilih dari semula untuk diselamatkan, apakah dapat menolak pilihan Tuhan terhadap dirinya? Otoritas Allah terhadap manusia tidak tergantung kepada kehendak/usaha orang (Rm. 9:15-18, 20). Dari hal di atas, dapatkah disimpulkan bahwa manusia hanya sebagai robot-robot kecil yang tidak memunyai kehendak pribadi, khususnya tentang keselamatan.
Jawab:
Ada beberapa hal yang perlu dibahas di sini. Pertama, kata dipilih dalam Rm. 8:29 secara literal berarti “dikenal lebih dulu” (proginosko). Namun, ini bukan berarti bahwa pemilihan Allah didasarkan ada pengenalan lebih dulu dari Allah terhadap seseorang seperti yang diyakini kaum Arminian. Kata “mengenal” di sini tidak berarti pengenalan secara kognitif (akal) tetapi secara relasi. Kata “mengenal” dalam Kitab Suci biasanya kerap berbicara soal relasi yang intim. Ini menunjukkan bahwa pemilihan Allah didasarkan dan dimulai oleh keinginan Allah menjalin relasi yang intim dengan manusia-manusia tertentu, bukan oleh sikap dan usaha manusia.
Kedua, apakah manusia bisa menolak pemilihan itu? Kaum Calvinis bersama dengan Kitab Suci menjawab tidak! Lalu apakah itu bisa disebut pemaksaan? Mungkin dalam taraf tertentu bisa disebut demkian sebab Allah adalah pemilik kita, maka adalah suatu hal yang wajar bila pemilik mempertahankan miliknya. Dalam Yoh. 6:44, Yesus mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada Yesus kalau tidak ditarik oleh Bapa. Beberapa sarjana menggambarkan kata “ditarik” di sana seperti seorang pemilik yang menarik kambing. Kambing tersebut tentu bisa melawan akan tetapi tetap pemiliknya yang akan menang dan lama kelamaan kambing tersebut akan secara sukarela akan mengikuti si pemilik.
Ketiga, apakah lantas kita menjadi robotnya Allah? Tentu tidak, sebab sikap kita menerima keselamatan dan mengikut Tuhan tersebut juga sejalan dengan kehendak kita. Tuhan menjadikan rencana-Nya selaras dengan kehendak kita. Kita tidak merasa dipaksa, kita bebas ketika menerima keselamatan tersebut. Robot tidak memiliki kehendak, kita punya. Robot bukan pribadi, kita pribadi. Robot akan bergerak secara otomatis mengikuti perintah, sedangkan ketika Tuhan menarik kita tidak secara otomatis kita langsung mengikut Tuhan. Kadang akan ada pemberontakan-pemberontakan yang kita lakukan, meski pada akhirnya kita akan dengan sukarela mengikut Dia.
Tindakan Allah yang memberi anugerah tak bisa ditolak tersebut sebenarnya merupakan yang bagi saya sangat wajar. Bila manusia bisa menolak anugerah Allah, di satu sisi, itu berarti bahwa Allah tidak lebih hebat daripada manusia. Selain itu, Allah telah membayar kita dengan lunas, maka hal yang wajar bila Ia mempertahankan kita. Bila kita pergi ke sebuah supermarket untuk membeli sebuah pulpen yang harganya Rp. 2000, maka kita menemukan banyak pilihan pulpen di sana. Dari puluhan pulpen tentu kita tidak membeli semua, kita pasti memilih salah satu atau beberapa buah pulpen. Pertanyaannya, ketika kita sudah membayar pulpen yang kita pilih tersebut, bersediakah kita bila si penjual dengan begitu saja meminta kembali pulpen tersebut? Saya yakin tentu tidak, sebab kita sudah membelinya dengan lunas. Nah, bila untuk pulpen yang murah saja kita berusaha mempertahankannya, bagaimana dengan Allah yang ketika membeli kita dari dosa, harus membayar dengan harga begitu mahal, yakni dengan darah Anak-Nya sendiri (1Pet. 1:18-19)? Maka adalah hal yang lumrah jika Allah memelihara dan terus menarik orang-orang pilihan yang telah lunas dibelinya dengan harga yang teramat mahal itu.

3.       Kalau keselamatan itu dianugerahkan Tuhan kepada orang pilihan-Nya, berarti penginjilan menjadi “tidak mutlak” apalagi saat ini Alkitab sudah beredar dimana-mana, Tuhan yang menggerakkan pembacanya untuk menerima Injil. Bagaimana pendapat saudara?
Jawab:
Tidak, penginjilan tetap menjadi hal yang penting kita lakukan sebab penginjilan ialah perintah Tuhan. Satu hal yang penting, yang harus selalu kita ingat ialah bahwa patokan hidup dan tindakan kita bukanlah ketetapan Tuhan tetapi firman Tuhan, dalam hal ini bukan ketetapan Tuhan tentang siapa yang selamat atau tidak tetapi perintah Tuhan untuk memberitakan Injil Keselamatan. Ketetapan Tuhan ialah rahasia Tuhan, tetapi perintah-Nya ialah bagi kita (Ul. 29:29). Lagipula, walaupun Tuhan memang menetapkan ada orang-orang pilihan-Nya yang pasti selamat, kita tidak tahu siapa orang-orang tersebut. Sehingga, dalam hal inilah tugas penginjilan menjadi sangat signifkan. Dengan tidak mau menginjili karena alasan demikian, maka sadar atau tidak, kita sedang “merampok” Tuhan, karena kita berusaha mengambil bagian yang hanya boleh dimiliki Tuhan. Sebuah buku yang sangat baik mengenai topik ini telah ditulis oleh J.I. Packer, dengan judul “Evangelism and Sovereignity of God” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Momentum dengan judul “Penginjilan dan Kedaulatan Allah.”

4.       Bagaimana pendapat saudara tentang orang Kristen turunan/sejak kecil yang tidak jelas saat kapan ia percaya Tuhan Yesus. Apakah ada langkah-langkah yang harus dilakukan yang bersangkutan supaya timbul ketetapan imannya?
Jawab:
Pertama, orang tersebut harus menyadari bahwa imannya kepada Yesus bukanlah “titipan” orang tua melainkan pergumulan dan keputusan pribadinya, sehingga ia tidak merasa puas dengan keadaannya sebagai “Kristen Turunan.” Ia juga harus terus bertanya tentang Kekristenan sehingga ia terdorong untuk memahami dengan baik dasar-dasar kebenaran iman Kristen dan lantas menghidupinya. Ia juga sebaiknya mendisiplin diri agar memiliki kehidupan rohani yang baik dan pengalaman bersama dengan Tuhan. Salah satu tantangan besar yang dihadapi “Kristen Turunan” ialah hidup Kristen yang rutinitas dan kering karena belum mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Karena itu, “Kristen Turunan” juga harus berdoa agar Tuhan berkenan memberikan pengalaman rohani dalam kehidupannya sehingga ia makin diyakinkan bahwa Kristus itu sungguh nyata. Ingat, Kekristenan bukan soal teori Alkitab yang solid tetapi juga tentang pengalaman nyata berjaan bersama dengan Tuhan. Pengalaman rohani memang bukan yang terutama di dalam Kekristenan, tetapi tanpa pengalaman rohani maka hal-hal penting dalam Kekristenan menjadi sia-sia. Yang tak kalah penting ia juga harus memiliki komuitas rohani, tempat dimana ia bertumbuh, dikuatkan dan saling menguatkan. Last but not least, ia juga harus menyaksikan Injil Tuhan pada sesamanya. Hidup yang bersaksi dan mengalirkan kasih Tuhan akan menjadikan hidup seorang Kristen lebih bergairah, sedangkan hidup Kristen yang tidak bersaksi akan menjadi hidup yang mengendap dan perlahan “membusuk.”

5.       Keselamatan tidak didasarkan pada perbuatan baik, tapi perbuatan baik mengikutinya. Banyak orang Kristen yang tidak nampak perbuatan baiknya bahkan cenderung bermain-main dengan dosa, jatuh bangun pada masalah yang sepele. Apakah keselamatannya itu patut diragukan?
Jawab:
Bisa jadi. Akan tetapi, penting diingat bahwa keselamatan ialah pergumulan pribadi seseorang. Tidak ada seorangpun yang mengetahui keselamatan seseorang kecuali Tuhan. Saat ini mungkin saja seseorang hidup dalam gaya hidup yang kurang baik meskipun dengan mulutnya ia mengaku percaya Tuhan, tetapi ini bukan berarti lantas kita menghakimi bahwa orang itu tidak selamat. Bisa jadi menjelang akhir hidupnya ia menjadi bersungguh-sungguh pada Tuhan; bisa jadi hal itu memang “duri” yang Tuhan taruh dalam hidupnya untuk ia gumulkan, dan sebagainya. Yang jelas orang yang selamat tidak akan menikmati keberdosaannya, meski ia berulang kali jatuh tetapi ia selalu memliki niat dan usaha untuk bangkit dari dosa tersebut. Yang jelas, orang tersebut pasti juga memiliki perubahan hidup, sebab perubahan hidup ialah konsekuensi logis dari keselamatan seseorang (perubahan ini mungkin dia rasakan mungkin tidak, tetapi umumnya, perubahan ini pasti dirasakan oleh orang lain. Bisa sifatnya drastis atau perlahan). Namun, bila sampai akhir hidupnya seseorang tidak menampakkan tanda-tanda keselamatan, bisa jadi itu karena ia memang tidak pernah sungguh-sungguh selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar